EKSPOR BERAS, KELEMBAGAAN DAN NASIB EKONOMI PETANI PADI
Yuhka Sundaya
Ketua Penelitian & Pengembangan Ikatan Alumni Universitas Islam Bandung
Indonesia mengekspor beras. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian kita mengalami kemajuan karena mampu bersaing di pasar internasional. Dan bahkan menjadi petunjuk bahwa negara kita sudah mampu memenuhi kebutuhan domestik yang disebut dengan swasembada beras. Mustafa, Direktur Bulog, memandang bahwa upaya Bulog untuk mengekspor beras menjadi stimulus bagi peningkatan kesejahteraan petani. Petani diharapkan terangsang untuk menanam padi varietas ekspor yang menawarkan harga lebih tinggi dibandingkan dengan harga domestik, bahkan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan produksinya. Apakah harapan ini bisa terjadi ? Apa kemudian yang menjaminnya ?
Tentu saja jesejahteraan yang lebih baik menjadi penantian bagi petani kita. Petani padi merupakan sentral dalam mewujudkan impian pemerintah untuk dapat bersaing di pasar beras internasional. Tanpa petani, tidak ada pihak yang memproduksi gabah dan akhirnya tidak ada beras yang bisa diekspor. Karena itu, kesejahteraan petani harus diprioritaskan agar mereka semakin sehat dan semakin produktif dalam usahanya.
Perkembangan Ekspor Beras Indonesia
Bila mengkaji data perkembangan ekspor beras, sebagaimana ditampilkan pada Tabel, nampak bahwa ekspor beras Indonesia mengalami pasang surut. Volume ekspor dan nilai devisa yang terbesarnya terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 44,9 juta ton dengan nilai devisa sebesar 9,1 juta ton. Tapi setelah itu mengalami penurunan yang sangat tajam. Prestasi Bulog yang lebih baik tentu akan diperoleh bila volume ekspor beras tahun ini sekurang-kurangnya sama dengan volume ekspor di tahun 2005 tersebut.Pasang surutnya ekspor beras tersebut terkait dengan permintaan domestik dan persaingan dalam pasar beras internasional baik dari sisi harga maupun kualitas. Permintaan beras domestik yang tinggi pada saat stok di Bulog terbatas, tentu akan mengurangi volume ekspor. Dan bila negara produsen beras saingan Indonesia menawarkan harga yang lebih murah disertai oleh kualitas yang lebih bagus, itupun berpotensi untuk mengurangi ekspor beras Indonesia.
Tabel. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Beras, Indonesia, 2002 – 2007
Tahun Volume (Kg) Nilai (US$)
2002 1.488.765 239.768
2003 501.038 227.177
2004 1.329.775 821.346
2005 44.914.081 9.087.080
2006 1.177.152 625.854
2007 2.482.687 588.251
Sumber : www.deptan.go.id
Dari tahun 2002 hingga 20007, tercatat bahwa Indonesia melakukan transaksi dengan 28 negara. Dari jumlah itu, sebagian menjadi pelanggan dan ada yang keluar masuk atau jarang-jarang. Negara pelanggan beras hingga tahun 2007 adalah Singapura, Hong Kong, Malaysia, Jepang, Taiwan, Maldives, Australia dan Amerika.
Aspek Kelembagaan Tingkat Petani
Beras dan padi (gabah kering) adalah dua komoditi yang berbeda. Beras merupakan produk setengah jadi yang siap dikonsumsi, sedangkan padi atau gabah adalah bahan baku untuk menghasilkan beras. Beras dihasilkan oleh kelompok pengolah, dan tidak jarang dimiliki oleh pengumpul padi, atau pengusaha yang memiliki mesin heuleur, sedangkan padi dihasilkan oleh kelompok petani. Kelompok pengumpul membeli gabah kering dari petani dengan harga tertentu. Kemudian beberapa kelompok pengumpul ada yang memiliki kemampuan untuk mendistribusikan langsung kepada konsumen, dan kelompok lainnya dalam posisi sebagai mitra Bulog. Bila populasi kelompok kedua ini besar dan memiliki kapasitas untuk mengumpulkan (stocking) gabah dari petani yang lebih besar dari kelompok pertama, maka Bulog akan memiliki potensi besar dalam mengungkit nasib petani. Ini baru menjadi syarat perlu (necessary condition). Syarat yang mencukupinya (sufficient condition), yang secara berarti menjamin perbaikan nasib ekonomi petani adalah aspek kelembagaan ekonomi yang berlaku diantara pihak pengumpul (juragan) dengan petaninya sendiri. Istilah kelembagaan dalam hal ini adalah aturan transaksi yang berlaku dan mengikat pihak pengumpul dengan petani secara tradisional. Ini perlu diamati.
Fenomena yang penulis temukan dari beragam kegiatan penelitian menunjukkan bahwa diantara pihak pengumpul dan petani diikat oleh hutang piutang. Hubungan ini kemudian menjadi sebuah atmosfer yang menentukan posisi tawar kedua belah pihak. Tidak jarang ditemukan, bahwa hubungan ekonomi tersebut kemudian mempromosikan kekuatan monopolis kepada pihak pengumpul di atas petani. Apa artinya ? Pihak pengumpul dalam hal ini memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menentukan harga padi dibandingkan petani. Dengan demikian, meski pasar beras internasional berada di bawah skema pasar yang semakin bebas, akan tetapi bijaksananya mekanisme pasar tersebut jauh dari sentuhan petani, karena struktur pasar monopoli masih membayangi petani. Atmosfer ekonomi ini berpotensi untuk menghambat volume produksi.
Lebih dari itu, hubungan hutang piutang dan unsur ketidakpastian dalam hal produksi padi, telah sekian lama mendasari terbentuknya sistem bagi-hasil (sharecropping) diantara pihak pengumpul dan petani. Dengan posisi tawar sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pihak pengumpul nampak berada dalam posisi prinsipil atau yang menentukan, dan petani berada dalam posisi agen mereka atau pihak yang dikendalikan pengumpul. Sistem bagi hasil diantara mereka bukan tanpa masalah. Hubungan hutang piutang diantara mereka seringkali membentuk pola bagi hasil dengan memberikan share atau proporsi pembagian hasil panen yang secara relatif lebih besar kepada pihak pengumpul. Dengan demikian, tekanan ekonomi terhadap petani tidak hanya bersumber dari aspek harga, lebih dari itu tertekan dalam aspek kuantitas hasil panen. Pemerintah seolah tidak memiliki kekuatan untuk menyentuh aspek kelembagaan pada tingkat petani ini.
Mengacu pada gambaran kelembagaan pada tingkat petani tersebut, karena itu prediksi bahwa daya pikat ekspor beras untuk mengubah nasib petani ke arah yang lebih baik menjadi pesimis tercapai. Ini kemudian dikhawatirkan menimbulkan ketimpangan ekonomi antara sektor hulu dengan sektor hilir dalam dunia perberasan. Dengan perkataan lain makmurnya sektor hilir, tidak menjamin makmurnya sektor hilir.
Karakteristik Usaha Petani dan Efek Perubahan Harga
Perubahan harga padi diperkirakan tidak akan membawa pengaruh yang berarti (significant) bagi nasib petani. Ini berlaku bagi petani gurem, atau petani padi dengan lahan yang tidak memadai. "Permasalahan paling besar yang dialami bangsa Indonesia saat ini terletak pada sektor pertanahan dimana kondisi negara sekarang memiliki keterbatasan sumberdaya lahan yang cocok untuk dikembangkan dan sempitnya rata-rata penguasaan lahan pertanian per kapita penduduk Indonesia" ungkap Menteri Pertanian, Anton Apriantono dalam acara Semiloka Kebijakan Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi di Makassar akhir tahun 2007.
Sebagaimana diketahui, karakteristik usaha petani berbeda dalam beberapa hal dengan usaha lainnya. Mayoritas adalah usaha rumahtangga yang semi komersil. Sifat komersil tidak sepenuhnya menempel pada rumahtangg petani padi. Tidak semua hasil panen mereka jual ke pasar. Sebagian mereka konsumsi untuk keluarganya. Dengan demikian, mereka berada dalam posisi sebagai produsen sekaligus konsumen produknya sendiri.Ini punya makna berarti di dalam melihat nasib ekonomi petani dari sebuah perubahan harga. Menurut hasil penelitian penulis, produksi petani tanaman pangan, termasuk padi, tidak peka terhadap perubahan harga padinya. Hal ini menunjukkan bahwa petani berlahan sempit akan sangat sulit untuk melepaskan bagian produksinya ke pasar. Implikasinya, kebijakan ekonomi melalui pengendalian instrumen harga produk pertanian sangat sulit untuk mendorong petani dalam meningkatkan produksi tanaman pangan. Komersialisasi pertanian yang dioperasionalisasikan oleh peningkatan akses pasar dan informasinya bagi petani dikhawatirkan tidak mendorong kenaikan produksi, karena keterbatasan pemilikan lahan.
Jaminan Nasib Ekonomi Petani
Kesejahteraan petani yang tercermin melalui perbaikan pendapatannya sangat berarti dalam menunjang kepentingan pemerintah mengenai program swasembada beras dan peningkatan daya saing komoditi beras di pasar internasional. Karena itu, instrumen harga yang dimainkan oleh Bulog belum cukup menjamin perbaikan nasib ekonomi petani. Syarat kecukupan pertama, populasi petani gurem harus dikurangi secara berarti. Efek pengendalian harga oleh Bulog terhadap kelompok petani ini tidak cukup peka untuk merangsang perubahan produksinya. Bahkan menurut Sastraatmaja (2007), kepemilikan lahan sawah rata-rata 0,5 hektar bahkan kurang, bukanlah kondisi ideal bagi seseorang yang memilih jalan hidup untuk menjadi petani. “Dalam suasana hidup sekarang, seorang petani akan disebut layak hidup jika memiliki lahan sawah di atas 2 hektar”, tutur Sastraatmaja (2007). Karena itu, kebijakan terbaik pertamanya adalah implementasikan reformasi lahan (land reform). Ini memang membutuhkan keberanian Pemerintah (eksekutif dan legislatif). Syarat kecukupan kedua, perlu dibuat payung hukum yang mengatur hubungan share bagi hasil antara juragan (pemilik modal) dengan petani. Bagi hasil bukan tanpa masalah pada prakteknya. Sebagaimana dianalisa oleh penulis, skema bagi hasil yang tidak mempertimbangkan kendala partisipasi dan kendala insentif akan memberikan hasil produksi yang tidak optimal. Syarat kecukupan ini sekurang-kurangya bisa mengantisipasi timbulnya ketimpangan sektor hulu dengan sektor hilir dalam hal perberasan. Dan bagaimanapun, sektor hilir yakni mereka para penjual beras akan sangat bergantung pada kinerja sektor hulunya, yang dalam hal ini adalah petaninya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Verifikasi Google
google-site-verification: google67145768451a2970.html
-
Masyarakat Adat di Kota Cimahi Yuhka Sundaya Departemen Ekonomi Pembangunan Unisba 2020 Prolog Rencana ‘momotoran’ di Kota Cimahi ...
-
SISTEM EKONOMI PASAR dan LAPTOP SI UNYIL Yuhka Sundaya Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung yuhkas@yahoo.com 2009 “Ada-ada s...
-
Alasan dibalik Pengurangan Subsidi BBM Yuhka Sundaya Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung (UNISBA) Kekuatan mahasiswa ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar