MENGGALI KONSEP KEMAKMURAN DARI AL-QUR’AN

MENGGALI KONSEP KEMAKMURAN DARI AL-QUR’AN
Yuhka Sundaya
Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
yuhkas@yahoo.com; www.sundaya.blogspot.com
2009

Istilah “kemakmuran” seringkali digunakan dalam tata kehidupan sehari-hari, tapi perlu diakui belum ada konsep yang memenuhi banyak pihak. Artikel ini coba menggali konsep kemakmuran dari Al-Qur’an sebagai sumber hokum bagi ummat muslim.

Kemakmuran dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “wealth”. Dalam sejarah pemikiran ekonomi, istilah tersebut ditafsirkan berbeda dari satu aliran pemikiran ke aliran pemikiran lainnya. Pada masa merkantilisme, kemakmuran dicirikan oleh banyaknya logam emas dan perak yang dihasilkan dari kegiatan niaga. Berikutnya, Physiokrat memandang bahwa sumber kemakmuran berada di sector pertanian sebagai satu-satunya sector ekonomi yang produktif. Kemudian, Smith dalam dua bukunya memandang kemakmuran sebagai sebuah kebebasan bertindak. Berikutnya, pengertian kemakmuran juga terus berkembang dan berbeda-beda baik di setiap Negara maupun kelompok sosial. Sehingga tidak jarang istilah kemakmuran membawa pemikiran pada tingkat yang sangat abstrak. Ini menjadi masalah ketika tujuan hidup kita berorientasi untuk mencapai kemakmuran. Bagaimana konsepnya dan apa indikatornya ?

Bagaimana ummat muslim memandang dan mendefinisikan kemakmuran ?

Menurut Khan (1994), dalam Al-Qur’an, istilah kemakmuran sepadan dengan istilah “falāh”. Falāh (aflah, yuflihu) memiliki arti menyuburkan, membuat bahagia, mencapai kesuksesan atau keberhasilan. Dalam hidup di dunia ini, kata tersebut merepresentasikan tiga hal : baqa (survival), Ghana (merdeka dari keinginan), dan ‘izz (kekuatan dan penghargaan).

Khan (1994) coba mengurai istilah falāh menjadi beberapa komponen dan ukuran, sebagaimana tersaji pada Tabel 1.

Table 1. Konsep Falāh (Kemakmuran)
Komponen Tingkat Mikro Tingkat Makro
Kelangsungan hidup, Kelangsungan hidup biologis, contohnya kesehatan fisik, bebas dari penyakit Keseimbangan ekologis, lingkungan yang higienis, bantuan pengobatan
Kelangsungan hidup ekonomi, contohnya memiliki alat untuk mata pencaharian Pengelolaan sumber daya alam untuk mengungkit kesempatan kerja bagi keseluruhan penduduk
Kelangsungan hidup social, contohnya persaudaraan dan hubungan interpersonal yang harmonis Keterpaduan (kohesi) social : tidak ada konflik diantara kelompok
Kelangsungan hidup politik, contohnya kemerdakaan dan partisipasi dalam urusan kenegaraan Merdeka dan menentukan sendiri sebagai suatu kesatuan
Bebas dari keinginan Mengurangi kemiskinan Bantuan untuk seluruh penduduk
Percaya diri (self-reliance), contohnya bekerja disbanding jadi parasit Memanfaatkan sumber daya untuk generasi berikutnya
Kekuatan dan Kehormatan Self-respect Kekuatan ekonomi dan bebas hutang
Kebebasan perseorangan, melindungi kehormatan dan hidup Kekuatan militer
Sumber : Khan (1994)
Falāh merupakan konsep yang komprehensif dan mencakup keseluruhan segi hidup manusia. Al Qur’an, menurut Khan (1994), telah menekankan kondisi positif dan negative untuk mencapai falāh. Terdapat 40 tempat kata falāh dan turunannya dalam Al Qur’an. Ayat-ayat tersebut mengarahkan kita untuk menentukan kondisi falāh pada beberapa tingkat.

Kondisi Falāh
Kondisi falāh dapat digolongan sebagai berikut :
a. Spiritual
b. Ekonomi
c. Kultural, dan
d. Politik
Penjelasannya masing-masing kondisi tersebut diuraikan sebagai berikut.
(a) Kondisi spiritual untuk mencapai Falāh
a. Rendah hati dalam beribadah (khusyu);
b. Sadar ketuhanan (taqwa);
c. Mengingat tuhan (zikir);
d. Tobat untuk dosa (taubah); dan
e. Menyucikan diri (tazkiyah)
(b) Kondisi ekonomi untuk mencapai Falāh
a. Infaq. Infaq diartikan sempit sebagai bentuk pengeluaran bagi orang lain dan bagi kebutuhan social untuk memperoleh keridhoan tuhan. Istilah lain yang sepadan dengan infaq adalah charity. Infaq merupakan kondisi untuk mencapai falāh. Zakat merupakan bagian dari konsep umum infaq.
b. Bebas bunga
c. Memenuhi janji dan kepercayaan
d. Keadilan. Dalam Al Qur’an antonimnya adalah zulm (ketimpangan). Pihak yang melakukan kezaliman dapat menghambat falāh.
e. Melakukan usaha
(c) Kondisi Budaya untuk mencapai Falāh
a. Organisasi social yang aktif dan harmonis
b. Ilmu pengetahuan
c. Keluarga yang harmonis
d. Menghindari penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang
e. Mensucikan lingkungan untuk menjamin kesucian diri
f. Kontrol social yang tinggi (mendorong kebaikan, melarang kejahatan)
g. Memanfaatkan sumber daya waktu sebaik mungkin
(d) Kondisi Politik untuk mencapai Falāh
a. Berani mengeluarkan seluruh potensi terbaik yang dimiliki;
b. Peran Negara. Pemerintah menyediakan kebutuhan dasar hidup bagi penduduk, melindungi hidup, melindungi hak milik warga, membuka partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan.

2 komentar:

  1. keberadaan Falah(kesejahteraan)apakah sebuah tujuan?

    khususnya dalam kontek ekonomi islam keberadaan falah ini menjadi sebuah prinsip dasar, namun kalau hal itu menjadi tujuan maka akan timbul menjadi sebuah penegasian.

    hemat kami falah bukanlah suatu tujuan namun falah merupakan salah satu instrumen yang perlu untuk mencapai tujuan. tujuannya yaitu mardotillah. sehingga jelas bahwa manusia itu rakhmatan lil alamin yang mampu bercirikan akhlaqul karimah dengan muara insan kamil.

    dalam kegiatan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hal lainnya keberadaan falah ini terkadang hanya dilihat dari sisi material saja, hal ini menjadi paradoks ketika misalnya seorang manusia berbahagia akibat kesengsaraan yang di deritanya. namun jelas dalam hal ini tidak ada manusia yang menginginkan kesengsaraan makanya diharuskan untuk berusaha.

    kalau kita kaji lebih lanjut, terkait dengan masalah falah ini sebenarnya Tuhan sudah memberikan Falah yang tidak terhitung banyknya oleh si manusia; misalnya apakah jika kita lihat dari sisi makhluk bahwa setiap makhluk itu adalah ciptaan Tuhan dan jika Tuhan menghendaki maka kita bisa saja dilahirkan jadi seekor cacing, namun kenapa kita dilahirkan menjadi seorang manusia dengan beragam kesempurnaan dan potensi itulah yang kadang kita lupakan bahwa sebetulnya setiap manusia itu sudah diberikan Falah (kesejahteraan) sesuai dengan kadar dan ukurannya, tinggal bersyukur. dan usaha itu juga adalah bagian dari wujud syukur.

    BalasHapus
  2. Artikel yang saya tulis adalah tentang penurunan "konsep" falah. Dalam sehari, lima kali kita dipanggil menuju falah. "Haya'alal falaah" atau "mari menuju kebahagiaan". Ajakan muadzin tersebut berarti panggilan menuju suatu maqam, yaitu maqam yang membuat kita bahagian. Karena itu tepatnya disebut dengan "capaian". Kata "tujuan" memang seringkali menimbulkan kesulitan secara semantik. Bisa jadi apa yang harus dikerjakan, dan bisa jadi apa yang akan dicapai. Tergantung konteksnya ada dimana.

    Tapi, saya tidak paham bagaimana argumen Kang Hozin yang menempatkan falah sebagai "prisip dasar". Bukankah prinsip itu sesuatu yang mendasar, sehingga tidak perlu dipertegas lagi dengan kata "dasar". Maaf ya, kadang-kadang persoalan kata dan kalimat berujung pada kesulitan pemahaman karena etika dalam semantika. Tapi setidaknya, bagaimana argumentasinya sehingga falah dikategorikan sebafai sesuatu yang "prinsip". Bukankah itu menampilkan sebagai pencapaian, dan tentunya, melalu serangkaian usaha. Contoh, "Ketika bahagia, maka kita bisa makan" ataukah "Ketika kita bisa makan, maka kita akan bahagia".
    Ini baru respon terhadap komentar pertama saja yg segera membuat logika saya bingung.
    Trims, salah hangat :)

    BalasHapus

Verifikasi Google

  google-site-verification: google67145768451a2970.html