Alasan dibalik Pengurangan Subsidi बबम : Pendugaan

Alasan dibalik Pengurangan Subsidi BBM

Yuhka Sundaya
Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung (UNISBA)

Kekuatan mahasiswa dan organisasi masyarakat (Ormas) bersatu melawan kebijakan pemerintah yang telah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Mereka berjuang untuk membela orang-orang miskin. Praktisnya, pengurangan subsidi BBM secara langsung dapat meningkatkan harga BBM hingga 28,7 persen, lebih rendah dari tahun 2005. Secara historis, mereka memandang bahwa kenaikan harga BBM selalu memicu inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Inflasi ini kemudian menekan daya beli orang-orang miskin, karena pada saat yang bersamaan orang miskin tidak mungkin memacu pendapatannya secepat inflasi.
Bukan hanya mahasiswa dan ormas yang miris dengan kebijakan pemerintah itu, lebih dari itu melalui beragam media, beberapa ahli ekonomi turut menjustifikasi alasan penolakan atas kebijakan pemerintah tersebut. Sehingga tidak menutup kemungkinan, argumentasi mereka semakin memacu jantung mahasiswa dan ormas untuk bersemangat menolak kenaikan harga BBM.
Uniknya, kebijakan pemerintah juga diarahkan untuk menyelamatkan orang-orang miskin. Jadi, pemerintah dan pihak-pihak yang menolaknya sama-sama pro terhadap orang miskin. Bedanya, kekuatan mahasiswa dan ormas lebih heorik dibandingkan tindakan pemerintah. Melalui Andi Malarangen di televisi, jargon yang dimunculkan pemerintah adalah “Saatnya merubah, dari subsidi barang menjadi subsidi orang”. Jargon atau istilah khusus ini tentu saja merangkum alasan pemerintah yang demikian kompleks.
Persoalan ini, bagaimanapun perlu dijelaskan. Hingga saat ini, penulis belum pernah membaca argumentasi beberapa ahli ekonomi di media yang menggunakan kerangka kerja (framework) yang “pas”. Evaluasi penulis, argumentasi yang mengemuka di media berdasarkan pada kekhawatiran deduktif dan, mohon maaf, terkesan a priori. Bagaimanapun, argumentasi tersebut berbahaya sekali bila dicerna oleh masyarakat, terlebih oleh pihak yang memiliki kekuatan untuk menggalang massa dan terkadang menggunakan kekuatan agama.
Kita harus bisa menangkap beberapa signal ekonomi. Sekurang-kurangnya ada dua signal, yaitu perkembangan harga minyak dunia dan defisit APBN 2008 (bagi pihak yang percaya). Bila signal kedua tidak dipercayai oleh masyarakat, maka sikap dan argumentasinya dipastikan bersifat politis.
Bahaya dibalik kenaikan harga minyak dunia
Bagi orang awam, boleh jadi muncul pertanyaan mengapa perkembangan harga minyak dunia menimbulkan kerisauan bagi pemerintah. Sempat penulis berdiskusi dengan Hady Sutjipto, SE., M.Si yang seringkali berargumentasi di Harian Umum Pikiran Rakyat. “Mengapa pemerintah tidak menghentikan ekspor minyak saja demi memenuhi kebutuhan minyak domestik ?”, tanya beliau kepada penulis hari Jum’at pagi minggu yang lalu.
Dalam konteks ini yang perlu dipahami adalah efek ganda dari kenaikan harga minyak dunia. Efek yang pertama terkait dengan biaya untuk memproduksi minyak, yaitu dari minyak mentah menjadi premium, solar, minyak tanah, avtur dan avgas, dan efek yang kedua terkait dengan potensi bermain spekulan BBM.
Pertama, dalam memproduksi BBM, Pertamina menggunakan minyak juga sebagai bahan bakunya. Dan sebagian input minyak tersebut mesti diimpor. Mengacu pada buku Ekonomi Energi yang ditulis oleh Menteri Pertambangan dan Energi kita, impor minyak mentah dan impor BBM termasuk ke dalam pos biaya pengadaan minyak mentah dan produknya. Bila keduanya digabungkan, maka kita bisa melihat bahwa sekitar 43,2 persen biaya produksi dialokasikan untuk minyak dan BBM impor. Harapannya, bisa dimengerti bahwa ketika harga minyak dunia meningkat, maka secara langsung akan meningkatkan biaya produksi BBM kita. Dan ini, praktisnya akan meningkatkan harga pokok penjualan (HPP) BBM. Bila harga BBM kita harus tetap, maka pemerintah harus menambah alokasi APBN untuk subsidi BBM. Ada juga alternatif lain yang nampak lucu, yaitu menegoisasi harga minyak dunia untuk tidak naik. Pertanyaannya, sekuat apa pemerintah melakukan negosiasi itu, ketika hampir separuh lebih produksi minyak OPEC berasal dari negara lain dan negara produsen non OPEC.
Dengan demikian bila muncul argumentasi mengapa kita tidak menutup keran ekspor minyak, maka tunggu saja kebangkrutan Pertamina beberapa saat lagi, dan pos penerimaan pemerintah dari laba Pertamina dalam BUMN dalam APBN tidak menutup kemungkinan untuk hilang dari pembukuan. Artinya, bila ekspor minyak dihentikan pada saat harga minyak dunia meningkat, maka kita akan kehilangan pangsa pasar dan tidak ada devisa yang masuk sebagai sumber pembiayaan pembangunan negeri ini. Argumentasi itu bisa menjebak kita ke dalam persoalan ekonomi yang lebih rumit ke depan, siapapun presidennya.
Kedua, bila harga BBM tetap, sementara harga minyak dunia meningkat, sekuat apa pemerintah kita untuk mengantisipasi tindakan penjualan BBM secara gelap ke luar Indonesia oleh para spekulan. Bila kita punya uang banyak dan punya akses dengan para oknum di pertamina atau lini distribusinya, kita bisa beli BBM yang masih murah karena subsidi, kemudian menjualnya ke negara lain yang secara relatif harganya lebih mahal dari BBM kita. Bisa saja BBM tidak meningkat harganya, tapi berapa besar ongkos yang diperlukan untuk mengendalikan tindakan spekulan minyak ini. Jadi APBN akan dialokasikan untuk membiaya pengeluaran inteligen dan polisi hanya untuk mencegah tindakan spekulan tersebut. Siapa yang punyak manfaat dari ini ?. Karena itulah, dugaan kuat penulis memandang bahwa pemerintah memilih alternatif kekuatan pasar untuk meredam tindakan spekulan tersebut. Ekstrimnya, bila harga BBM kita sama dengan harga BBM dunia, maka para spekulan BBM akan berpikir mendalam untuk memperoleh keuntungan dengan cara menjual BBM kita ke negara lain, dan APBN kita masih bisa diselamatkan untuk pembiayaan program-program yang punya manfaat langsung bagi orang miskin.
Kekhawatiran yang berlebihan
Secara teoritis, kenaikan harga BBM dikategorikan sebagai salah satu kekuatan yang mengguncang sisi penawaran barang dan jasa secara keseluruhan. Guncangan penawaran lainnya yang serupa adalah kegagalan panen komoditi tanaman pangan dan kenaikan pajak akibat otonomi daerah. Kekhawatiran dari kenaikan harga BBM tersebut adalah timbulnya penyakit resesi-stagnasi dan inflasi. Dalam jangka pendek, kenaikan harga BBM menimbulkan inflasi, karena stok barang tidak bisa dipacu produksinya lebih cepat dalam jangka pendek, sementara permintaan barang dan jasa variabilitasnya cukup tinggi. Dalam jangka panjang, inflasi akan menimbulkan resesi, sebuah kondisi yang memprediksi bahwa para produsen akan mengurangi produksi dan pasokan barang dan jasanya karena kenaikan biaya produksi yang dipicu oleh kenaikan harga BBM. Indikatornya adalah perubahan produk domestik bruto (PDB). Ketika pemerintah mengantisiasi gejala resesinya dengan upaya untuk meningkatkan permintaan masyarakat, misalnya dengan kebijakan fiskal ekspansioner (menambah pengeluaran pemerintah), maka kebijakan ini diprediksi akan mendorong permintaan masyarakat. Hasil akhir dari kebijakan ini adalah stagnasi ekonomi, sebuah kondisi dimana tingkat produksi nasional akan sama dengan tingkat produksi ketika pemerintah belum mengurangi subsidi BBM. Bila ditaksir, suatu saat nanti nilai PDB kita sama dengan nilai PDB sebelum bulan Mei 2008. Begitulah, resesi-stagnasi dan inflasi menjadi kekhawatiran deduktif bagi ahli ekonomi dan masyarakat.
Pertanyaan yang muncul dengan segera adalah apakah resesi dan inflasi itu terjadi ? Untuk menjelaskannya, mari kita lihat sejarah kenaikan harga BBM. Kebijakan pengurangan subsidi BBM bukan kali ini saja. Kita lihat misalnya fenomena tahun 1982 – 1984, 1990 – 1991, 1993, 1998, 2000 – 2003, dan awal tahun 2005. Ternyata, resesi ekonomi terjadi pada tahun 1982 dan 1998. Tahun 1982, ketika harga BBM rata-rata meningkat 60 persen, terjadi penurunan LPE sebesar 0,3 persen, dan tahun 1998, ketika harga premium, solar dan minyak diesel masing-masing meningkat sebesar 43, 45 dan 49 persen, LPE turun 13,01 persen. Penurunan LPE tahun 1998 tidak hanya dipicu oleh kenaikan harga BBM, tapi lebih besar dipicu oleh gejolak moneter : depresiasi kurs yang tajam yang kemudian diikuti oleh krisis perbankan yang memperparah kegiatan transaksi sektor riil. Resesi pada tahun 1982 tidak terlalu lama, tahun berikutnya LPE malah meningkat drastis sebesar 8 persen. Sedangkan resesi pada tahun 1998 terjadi selama dua tahun. Tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan tanda kepulihan, LPEnya sebesar 5,19 persen. Bahkan, pada saat RI 1 dipimpin oleh Megawati, kenaikan harga BBM tidak terbukti diikuti oleh resesi, LPE masih tetap tumbuh dalam kisaran 4 hingga 5 persen. Begitupun halnya ketika RI 1 dipimpin oleh SBY-JK, resesi itupun tidak terbukti, hanya saja tingkat inflasi yang ditimbulkannya lebih besar dari sebelumnya. Karena itu, bila mengamati data historis, mayoritas fenomena kenaikan harga BBM hanya diikuti dengan perlambatan LPE.
Bagaimana dengan inflasi atau kenaikan harga barang secara umum ? Inflasi memang nampak sebagai suatu efek negatif dari kebijakan pencabutan subsidi BBM. Inflasi selalu mengiringi setiap terjadi kenaikan harga BBM, bahkan ketika harga BBM tetap, inflasi selalu terjadi. Hanya saja tingkat inflasi sebagai efek dari pencabutan harga BBM tahun 2005 lebih tinggi dari sebelumnya.
Apa artinya perkembangan LPE itu ? Fenomena yang diuraikan sebelumnya memberikan indikasi bahwa dunia usaha kita sebetulnya cukup adaptable terhadap guncangan harga minyak. Di home page http://www.anggaran.depkeu.go.id, kita dapat mencermati argumentasi dari Bambang Soesatyo (Ketua Komite Tetap Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia), dan dua orang Ketua Apindo : Sofyan Wanandi dan Djimanto. Sebagai representasi dari para pengusaha, mereka mentolelir kenaikan harga BBM tersebut. Hanya saja Djimanto menegaskan, hendaknya kenaikan itu dilakukan secara bertahap. Ia mengusulkan kenaikan harga BBM tidak lebih dari 20 persen, agar ada kepastian pengusaha untuk menghitung biaya produksi. Dengan demikian terlihat bahwa pimpinan pengusaha saja bisa memahami persoalan makroekonomi tersebut.
BLT Plus : Bukan Senjata Ampuh Kemiskinan
Penulis memandang bahwa BLT Plus terlalu jauh bila dikaitkan dengan pengentasan masalah kemiskinan di negeri tercinta ini. Melalui program tersebut pemerintah memberikan uang tunai melalui kantor pos dan menyalurkan gula pasir dan minyak melalui RT/RW. Program ini adalah program kompensasi bagi rumahtangga miskin. Gagasan kompensasi ini muncul dari konsekuensi inflasi akibat kenaikan harga BBM. Penulis yakin bahwasanya pemerintah telah mempertimbangkan besarnya uang yang harus dikompensasikan kepada rumahtangga miskin atas harga-harga yang baru, sehingga mereka tidak merasakan kerugian. Prinsipnya daya beli rumahtangga miskin tidak akan mengalami perubahan selama kenaikan pendapatannya sama dengan inflasi. Disini, tantangan pemerintah adalah menaksir secara akurat kenaikan harga yang akan terjadi paska kenaikan harga BBM. Dengan demikian, penulis tegaskan kembali bahwa BLT Plus bukan senjata untuk mengurangi kemiskinan.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, dan kebijakannya tidak bisa digeneralisir atau disama ratakan. Penulis memandang bahwa untuk memecahkan masalah kemiskinan, pertimbangan awalnya adalah apa jenis mata pencaharian mereka. Perbedaan jenis mata pencaharian tentu saja akan membedakan pola kebijakannya. Hasil studi penulis dalam mengamati rumahtangga miskin usaha tani, memberikan pemikiran bahwa kebijakan yang efektif untuk meningkatkan pendapatannya adalah peningkatan akses terhadap lahan. Ini menjadi tantangan khusus pemerintah untuk mengoperasionalisasikan Undang-Undang Pokok Agraria. Untuk para petani tanaman pangan, dimana mereka bukan produsen murni, kebijakan pemerintah dengan mengotak-atik harga komoditi tanaman pangan diprediksi tidak akan merespon secara kuat terhadap peningkatan produksi. Ringkasnya, senjata untuk mengurangi angka kemiskinan memerlukan beragam pendekatan dan perlakuan kebijakan, dan ini berpotensi dilakukan pemerintah bila ada pengurangan subsidi BBM.
Penutup
Membela orang miskin tidak cukup dengan hati nurani, lebih dari itu memerlukan pemikiran yang keras dari para ahli ekonomi dan pemerintah. Para ahli ekonomi perlu meluangkan waktu untuk mereplika kondisi eksis kemiskinan di Indonesia, sehingga terhindar dari penyakit a priori dan menimbulkan kelemahan dalam efektivitas kebijakan. Dan terlalu dangkal bila analisis kemiskinan hanya sebatas pengukurannya saja.
Seandainya negara ini hanya ada dua orang saja, yaitu Presiden dan satu orang rakyatnya. Penulis yakin, persoalan ekonomi bisa ditransformasikan dengan jelas. Oleh karena itu, sikap kita terhadap kebijakan pemerintah hendaknya dilandasi dengan sikap husnudzan. Tinimbang sebaliknya, yang berpotensi menimbulkan perkara-perkara baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Verifikasi Google

  google-site-verification: google67145768451a2970.html