MASYARAKAT ADAT DI KOTA CIMAHI

Masyarakat Adat di Kota Cimahi
Yuhka Sundaya
Departemen Ekonomi Pembangunan Unisba
2020

Prolog

Rencana ‘momotoran’ di Kota Cimahi bergeser jadi ‘berwisata’. Pasalnya, Faisal, alumni Ekonomi Pembangunan Unisba 2016, mengajak kita ke Masyarakat Adat Cireundeu. Mengingatkan pada rencana kelas Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Tahun 2018, namun karena kondisi tidak memungkinkan, saat itu, tidak terealisasi. “Kita” yang dimaksud adalah Saya, Alfan yang saat ini masih bimbingan riset skripsi J, Faisal, Denis dan Jimly yang berdomisili di Bandung dan Cimahi. Mereka satu angkatan. Seminggu sebelumnya, kecuali Jimly, teman-teman ini ngaliwet di rumah Saya, dan merencanakan ‘momotoran’, Sabtu 22 Mei 2021, ‘yaaa’, niatnya, menyegarkan pikiran penat saat pandemi ‘lah’. Tapi Faisal malah mengajak berkunjung ke Masyarakat Adat Cireundeu di daerah Leuwigajah.

Nama Masyarakat Adat Cireundeu ini, sudah Saya dengar dan pelajari sedikit demi sedikit sejak 4 tahunan lalu. Saya tertarik dengan hal itu. Kenapa ? Mereka tampak memelihara tatanan hidup yang harmonis antara alam dan manusia. Mereka mempraktikannya dalam pola hidup sehari-hari. Mereka sering diberikan label pemelihara local wisdom. Saya kurang setuju ‘sih’ dengan label itu. Pasalnya, beberapa referensi menunjukkan bahwa ajaran dan amalannya berlaku global ‘ko’. Terlalu gegabah jika fenomena suatu masyarakat diluar kebiasaan mayoritas masyarakat saat ini disebut ‘kearifan lokal’, seolah itu tidak berlaku global dan tidak ada potensi meng’global’. Padahal, banyak orang luar Indonesia yang mempelajarinya. Artinya mereka telah menjadi perhatian masyarakat luar, tentu dengan motivasi dan alasan tertentu. Karena itu, istilah ‘local’ tidak perlu dilabelkan pada suatu masyarakat adat, untuk sekedar menyederhanakan atau memberi identitas, yang berpotensi membuat perdebatan yang menutup keluasan dan kelebaran ilmu dan pengetahuan.

Masyarakat Adat Cireundeu terletak di Kecamatan Cimahi Selatan. Dari pintu tol Baros Cimahi, sebagaimana disajikan pada Gambar 1, mungkin diperlukan waktu 10 hingga 15 menit sampai disana, tergantung dari kepadatan kendaraan di Bundaran Leuwi Gajah. Biasanya, pada pagi dan sore hari terjadi kemacetan diseputar Bundaran Leuwi Gajah, tapi tidak terlalu parah, hanya kepadatan kendaraan pada perlintasan jalan saja menuju Gunung Lagadar dan Jalan Kerkof. Setelah masuk Jalan Kerkof, Anda akan menemukan Borma tempat belanja masyarakat disana. Akses ke Masyarakat Adat Cireundeu melalui Jalan Saptadaya. Dari Borma ke Jalan Saptadaya sekitar 1.1 kilometer, dengan rute lurus saja. Pokoknya, tidak akan mengira ‘deh’, karena suasananya ramai dan cukup padat aktivitas ekonomi. Tapi, setelah masuk Jalan Saptadaya, “nyesss”, perubahan suhu dingin akan dirasakan. Sebelah kiri dan kanan jalan sudah hijau, namun masih ada beberapa bangunan tempat usaha mengolah sampah plastik. Setelah sampai di puncak jalan, sebelah kanan terlihat hamparan kebun pisang. Menutupi bekas tumpukkan sampah 20 tahun silam.

Sumber : Google Earth, diakses tanggal 05 Juni 2021 Jam 21.00
Gambar 1. Rute Gerbang Tol Baros ke Masyarakat Adet Cireundeu





















Kira-kira, seperti ini (Gambar 2) penampakkan Jalan Saptadaya saat ini. Sebelah kanan terlihat hamparan pohon pisang. Dulunya adalah tumpukkan sampah. Terlihat juga ada bangunan seperti pos yang sudah rusak. Itu, dulunya, mungkin adalah bekas pos penjagaan kendaraan truk sampah yang keluar masuk.

Sumber : Google Earth. Diakses hari selasa, 15 Juni 2020, jam 08.59.
Gambar 2. Kebun Pisang di Bekas Pembuangan Sampah Jalan Saptadaya (akses ke Cireundeu)

Untuk memahami dan merasakan situasi dan kondisi sekitar Tahun 2005an, Saya tampilkan foto dokumen Pikiran Rakyat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut, kira-kira disitulah (shape panah ke bawah) tempat Saya mengambil Gambar 2. Terlihat bedanya ‘kan’ ? Sebelah kanan tanda panah terlihat hamparan sampah, berwarna mendekati putih, yang diangkut oleh truk-truk besar. Saat ini tumpukkan sampah itu sudah tidak ada lagi, dan telah menghijau oleh pohon – pohon besar, yang berfungsi untuk menyerap dan menyimpan air.

Gambar 3. Foto Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, Tahun 2005.










            
Pemerintah semakin peduli setelah bencana longsor Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Tahun 2005.  “Dua puluh satu tahun lalu, tepatnya hari Senin, 21 Februari 2005 sekitar pukul 02.00 WIB, tiba-tiba terdengar ledakan keras di kawasan Leuwigajah Kota Cimahi. Ledakan keras itu diikuti menyertai longsor sampah yang ada di TPA Leuwigajah.” Tutur Humas Bandung, Minggu, 21 Februari 2021. Jumlah korban yang meninggal akibat longsor sebanyak 157 jiwa. Tragis. Masyarakat Kota Cimahi dan Kota Bandung, praktis tidak memiliki tempat pembuangan sampah. Pada tahun itu, akibatnya, Kota Bandung sempat ‘diledekin’ sebagai ‘Bandung Lautan Sampah’.[1] Setelah itu pemerintah provinsi dan daerah menjadi sibuk. Harus menyiapkan TPA baru, dan menahan sampah yang setiap hari puluhan ton. Pemerintah juga mencurahkan program dan anggaran untuk memulihkan kondisi di Jalan Saptadaya menuju akses Cireundeu tersebut (Jajat, 2021).

Itulah pintasan informasi yang memikat keilmuan Saya terhadap Cireundeu. Saya harus segera menuliskan dan mengonduksikan beberapa temuan dan ungkapan-ungkapan ‘anekdotal’ pada lambung pengetahuan ekonomi yang masih dangkal ini. Temuan Saya dan kawan-kawan, meski baru meretas, diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan ecoliteracy. Ungkapan dari sudut pandang ilmu ekonomi Saya, perlu diakui, tidak dapat dihindarkan, karena, kesanalah nantinya akan berlabuh, entah memiliki manfaat disipliner ataukah praktis. Saya menyadari ada proses literari yang belum sempurna, oleh karena itu dari awal Saya harus meminta maaf apabila ada kesalahan tulis dan pemahaman, dan meminta untuk mengoreksinya pada kolom komentar. Terimakasih.

Masyarakat Adat Cireundeu dalam Kasepuhan di Provinsi Jawa Barat dan Banten : Pemelihara dan Perawat Gunung

Cireundeu tercatat sebagai salah satu Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat. Informasi ini dapat kita temukan pada situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Screen shoot data Masyarakat adat disajikan pada Gambar 4. Cireundeu adalah salah satu dari 10 ‘Wisata Kampung Adat’ yang ada di Provinsi Jawa Barat.

Gambar 4. Data Masyarakat Adat di Provinsi Jawa Barat











Untuk memperluas pengetahuan masyarakat adat, untungnya, salah seorang mahasiswa Saya, “Gerry Cahya Mutaqin”, memberikan satu buku yang menunjang kebutuhan pengetahuan Saya, dikirim dari Cisungsang-Banten. Saya harus berterima kasih pada Gerry. Bukunya berjudul “Kasepuhan Cisungsang”. Ditulis oleh Yusanto et al.,(2014). “Desa Adat Cisungsang termasuk ke adalam Desa Kasepuhan Banten Kidul atau Kesatuan Adat Banten Kidul”, tulis Yusanto et al.,(2014). Mengambil informasi dari Abah Usep, Yusanto et al.,(2014) menuturkan bahwa “sejarah awal berdirinya Kasepuhan Adat Banten Kidul dimulai dengan musyawarah para sesepuh pada zaman dahulu. Dari musyawarah itu, tercipta lima turunan mandiri kasepuhan adat di seputar Banten Selatan. Satu kasepuhan berada di daerah Bayah, sedangkan saudara serumpun tercipta di daerah lainnya. Saudara serumpun itu dibagi menjadi dua istilah, yaitu ‘dulur awewe’ (saudara perempuan) dan ‘dulur lalaki’ (saudara lelaki). Saudara perempuan Kasepuhan Banten Kidul adalah Cicarucub dan Citorek, sedangkan Saudara Lelakinya adalah Cisungsang (tua), dan Ciptagelar. Kasepuhan Banten Kidul mencakup beberapa Kasepuhan : Ciptagelar, Cisungsang, Cisitu, Cicarucub, Citorek, dan Cibedug. Kasepuhan Ciptagelar sendiri mencakup dua Kasepuhan : Sinaresmi dan Ciptamulya. Kasepuhan Ciptagelar masuk ke Provinsi Jawa Barat, sedangkan Kasepuhan lainnya masuk ke Provinsi Banten. Pada Gambar 5, lokasi Kasepuhan ini berada di dalam dan sekitar segitiga besar sebelah kiri.

Berbekal pengetahuan yang masih dangkal itu, Saya memberanikan diri untuk bercakap-cakap dengan Nonoman Cireundeu tentang Kasepuhan Banten Kidul. Ternyata, para Nonoman Cireundeu juga mengetahui dan relates dengan Kasepuhan Banten Kidul. Saya belum mendalami relatenya dalam konteks apa. Sementara, Saya menduga, relatenya karena ada ‘ajaran’ atau ‘nilai hidup’ atau ‘cara pandang’ yang sama mengenai ‘kehidupan’ dan ‘kesemestaan’. Saya simpan saja dulu pikiran demikian menjadi ‘pekerjaan rumah’ untuk kesempatan menulis berikutnya.

Dalam dialog tersebut (Ajat & Yana, 2021), Saya memperoleh petunjuk, bahwa eksistensi ‘peradaban’ Cireundeu terkait dengan Kasepuhan di Kuningan. Pintasan sejarah dan tradisi Cireundeu dapat kita pahami dari kutipan sebagai berikut :

Pada abad 18 sesepuh Cirendeu atau mamak Haji Ali mempunyai kesadaran untuk tidak terjajah, kemudian mencari sebuah jawaban atau dukungan hingga ia mengembara dan pada abad 19 sampai di Cigugur Kuningan dan bertemu dengan Pangeran Madrais. Setelah bertemui dengan Pangeran Madrais, Sesepuh Cirendeu merasa telah menemukan jawaban dan bertemu dengan orang yang dicari.

Pada abad yang sama, keturunan Sesepuh Cireundeu menimba ilmu ke Pangeran Madrais hingga cucu perempuan sesepuhnya yang bernama Ibu Anom atau Ibu Enceu menikah dengan Pangeran Madrais. Kemudian sekitar tahun 1930, Pangeran Madrais pernah mengunjungi Cireundeu. Pangeran Sepuh pernah mendengar keinginan warga Cireundeu yang menimba ilmu kepadanya untuk dapat merdeka lahir batin atau dalam arti untuk tidak mengkonsumsi nasi beras dari padi.

Hingga kini, masyarakat adat mengonsumsi singkong atau ketela yang disebut dengan rasi sebagai makanan pokok secara turun temurun. Diawali pada tahun 1918 ketika sawah-sawah yang mengering. Kemudian para leluhur menyarankan dan berpesan untuk menanamkan ketela sebagai pengganti padi. Karena tanaman ketela dapat ditanam pada musim kering maupun musim hujan dan melihat ketersediaan lahan untuk menanam padi semakin sempit dan kecil, banyak sawah-sawah yang telah berganti gedung.

Sejak 1924 masyarakat adat Cireundeu mulai mengonsumsi ketela hingga saat ini. Masyarakat adat mengolah singkong dengan cara digiling, diendapkan dan disaring menjadi aci atau sagu. Ampas dari olahan sagu yang dikeringkan juga dibuat menjadi rasi atau beras singkong. Tidak hanya itu, singkongpun diolah menjadi berbagai camilan seperti opak, egg roll, cireng, simping, bolu, bahkan dendeng kulit singkong yang dikemas dan dijual sebagai oleh-oleh.

Dengan konsistensi masyarakat adat yang mengonsumsi rasi sebagai makanan pokok, membuat masyarakat adat tidak pernah mengonsumsi beras. Hal ini bukan berarti masyarakat adat mengharamkan beras dari padi, namun melestarikan dan mengikuti pesan sesepuh. Rasa kenyang dari konsumsi ketela lebih lama dibandingkan dengan padi, sehingga masyarakat adat cukup makan dua kali sehari.

Sumber : https://cimahikota.go.id/index.php/artikel/detail/1139-mengenal-kampung-adat-cireundeu

Pada Gambar 5, Saya tampilkan sebagian peta dari Provinsi Jawa Barat dan Banten. Garis patah-patah (dashed) putih tipis sebelah kiri yang memotong segitiga garis putih besar adalah garis pemisah peta, sebelah kirinya Provinsi Banten, dan sebelah kanannya adalah Provinsi Jawa Barat. Segitiga kecil di tengah menunjukkan lokasi Cireundeu, dan segitiga sebelah kanan menunjukkan Kasepuhan Cigugur Kuningan.




Sumber : Google Earth. Diakses 15 Juni 2021 jam 21.00
Gambar 5. Lokasi Kasepuhan atau Masyarakat Adat di Provinsi Banten dan Jawa Barat.

     
Perkenankan Saya menyampaikan sebuah pemahaman. Kasepuhan tersebut tampak membangun peradaban di sekitar gunung. Segitiga besar sebelah kiri pada Gambar 5 adalah lokasi Gunung Halimun. Cireunde, di tengah, memelihara dan merawat Gunung Salam, dan Kasepuhan Cigugur Kuningan tampak merawat Gunung Ciremai. Pengetahuan yang Saya peroleh dari Nonoman Cireundeu, mereka memelihara dan merawat hutan larangan yang berada di Gunung Salam.

Untuk memahami, sepertinya kita perlu tanya ke Teh Wiki dulu ‘deh’ (Wikipedia). Gunung adalah sebuah bentuk tanah yang menonjol di atas wilayah sekitarnya. Gunung adalah bagian dari permukaan bumi yang menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Sebuah gunung biasanya lebih tinggi dan curam dari sebuah bukit, tetapi ada kesamaaan, dan penggunaan sering tergantung dari adat lokal. Beberapa otoritas mendefinisikan gunung dengan puncak lebih dari besaran tertentu; misalnya, Encyclopædia Britannica membutuhkan ketinggian 2000 kaki (610 m) agar bisa didefinisikan sebagai gunung. Sebuah gunung biasanya terbentuk dari gerakan tektonik lempeng, gerakan orogenik atau gerakan epeirogenik.

Orang awam dengan masalah gunung seperti Saya, pengetahuannya terbatas perihal gunung. Gunung yang Saya pahami berfungsi untuk : (1) sumber tumbuhan pangan, (2) menyimpan sumber daya air, (3) tempat hidup beragam flora dan fauna sehingga keanekaragaman hayati terjaga, dan (4) penyangga bumi. Namun dengan pengetahuan terbatas tersebut, Saya memahami, bahwa masyarakat yang memelihara dan merawat gunung, berarti memberikan banyak manfaat makro yang lintas batas, tidak hanya bagi masyarakatnya, tapi bagi masyarakat lain. Gunung yang sehat akan menjadi sumber pasokan air bersih, memberikan nutrisi kepada sungai tempat beragam spesies ikan hidup, dan menjadi sumber makanan bagi manusia dan spesies lain. Lahan tanaman pertanian terjamin pasokan airnya. Kita harus berterima kasih kepada masyarakat adat yang memelihara dan merawat gunung. Orang kota yang sudah sibuk dengan aktivitas rutinnya, tidak akan sanggup mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memelihara lingkungan yang vital bagi kehidupan manusia.

‘Doktrin’ masyarakat adat, dalam pemahaman sementara Saya, adalah menjaga amanat dari leluhur, yaitu menjaga alam. Dalam istilah saat ini mungkin disebut dengan ‘konservatif’. Tapi istilah terakhir tidak cukup merepresentasikan sistem berpikir dan tatanan hidup aktualnya. Faktanya, masyarakat adat beradaptasi juga dengan perkembangan teknologi. Seperti contoh di Kasepuhan Ciptagelar. Mereka membangun pembangkit tenaga listrik sendiri, punya turbin sendiri. Mereka bisa membuat stasiun televisi sendiri, yang disebut dengan Cigar TV, singkatan dari Ciptagelar Television. Energi listrik dari tenaga sinar mataharipun mereka gunakan. Ilmu astronomi atau ‘wuluku’ mereka terapkan untuk pengelolaan usaha taninya. Mereka terbuka dan mengakses juga pendidikan formal yang berkembang saat ini. Artinya, tidak ada cermin dari mereka untuk mengisolasi aktivitas sosial. Melainkan kekuatan nilai hidup yang diterjemahkan ke dalam praktik atau amalan hidup sehari-hari (Image, 2015).

Ketika Saya jalan mendaki Gunung Salam bersama 4 orang Nonoman Cireundeu, ada temuan anecdotal yang penting dari perspektif ilmu ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. Ketika jalan ke Puncak Gunung Salam dengan ‘telanjang kaki’, karena aturannya demikian, tidak boleh ‘pake’ sandal atau sepatu, salah seorang Nonoman menuturkan tentang cara pandang Masyarakat Adat Cireundeu :

Tilu sapamalu
Dua sakarupa
Hiji eta-eta keneh

Sepanjang jalan ke puncak, yaitu sekitar 868 meter, Saya berbincang untuk coba memahami artinya. Semoga tangkapan artinya benar. “Tilu sapamalu” itu adalah “Gusti anu ngasih, alam anu ngasah, manusa anu ngasuh”. Dalam bahasa Indonesia : “Tuhan yang memberikan, alam yang mengolah, dan manusia yang mengasuh”. Mencermati arti ini, tampak bahwa mereka memahami bahwa alam semesta ini adalah pemberian Tuhan atau Gusti. Alam yang mengolahnya. Misalnya, pisang menjadi masak dan siap dimakan, karena ada proses geologi tertentu yang menumbuhkan dari mulai bunga hingga menjadi bentuk pisang yang siap dikonsumsi. Kemudian, manusia perannya adalah mengasuh atau memelihara alam semesta. Memelihara ini bisa konek dengan konsep ketatanegaraan, dimulai dari ‘salira’ atau tingkat rumah tangga, ‘tata nagara’ atau pemerintahan, dan ‘tata buana’ atau kesemestaan.

Dua sakarupa” adalah posisi alam dan manusia itu serupa atau “sakarupa”, ada kesamaan posisi alam dengan manusia. Alam membantu manusia, dan manusia membantu alam. Pesan utamanya, manusia jangan merasa lebih superior dari alam. Artinya harus memandang dan memperlakukan alam setara dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, spesies non manusia tidak akan diartikan sebagai hama pengganggu, melainkan punya hak yang sama atas alam yang diberikan Tuhan.

“Hiji eta-eta keneh” artinya “yang satu adalah itu-itu juga”. Saya agar blur menangkap penjelasan yang ketiga, tapi dengan ragu Saya artikan sebagai suatu kesatuan antara Tuhan, alam dan manusia. Oleh karena itu, wajar ada korelasinya dengan filosofi Kasepuhan Ciptagelar yang telah Saya coba pahami. Mereka tidak memandang tikus, belalang, wereng serta serangga pemakan tanaman lain itu sebagai ‘hama’. Mereka dipandang memiliki hak hidup atas tanah dan air, jadi tidak ada alasan untuk dimatikan dengan obat-obatan atau pestisida. Cukup berikan hak hidup atas mereka, maka tanaman yang kita perlihara tidak akan mereka ganggu, karena binatang dan serangga tersebut seolah sudah tahu kapan mereka mengambil manfaat dari alam yang sama-sama ditinggali manusia.

Sumber : Google Earth. Diakses 15 Juni 2021 jam 22.00
Gambar 6. Jarak dan Track dari Perumahan Cireundeu ke Puncak Gunung Salam

Jawaban Nonoman, atas pertanyaan bodoh Saya, terurai seiring derap langkah menuju Puncak Gunung Salam. Sekitar 3 kali Saya berhenti menuju puncak dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pada perhentian ketiga, mungkin sekitar 100 meter sebelum puncak, Saya duduk di saung, tapi Nonoman itu mengajak untuk naik ke atas sekitar 10 meter dari tempat Saya duduk. Setelah Saya mendekati posisi berdirinya, lelah hilang seketika. Ia menuturkan bahwa 30 sentimeter di bawah kaki tempat kita berdiri, terdapat batu besar, dan biasanya memang demikian, jika berdiri di atasnya, lelah perjalanan dari kaki gunung hilang seketika.















Lingkungan Seputar Cireundeu

Pada Gambar 7, Saya sajikan screen shoot dari Google Earth untuk memahami lingkungan seputar Cireundeu. Shape kotak dan bidang dengan garis patah-patah, meski tidak presisi, sifatnya, Saya gunakan untuk menunjukkan obyek yang perlu Saya jelaskan saja. Kota pada gambar menunjukkan lokasi Cireundeu. Terlihat bahwa diseputar Cireundeu terdapat pemukiman penduduk, bangunan pabrik, lokasi pertambangan, Sungai Citarum, lahan pertanian, dan perikanan. Scanning yang ‘aga’ dinamis dapat ditonton pada link berikut :
 

Sumber : Google Earth. 16 Juni 2021 Jam 08.00
Gambar 7. Lingkungan Seputar Cireundeu



           












Cireundeu memelihara dan merawat Gunung Salam (1). Versi ‘aga’ zoomnya ditampilkan pada Gambar 8. Terdapat dua gunung di area yang berdekatan dengan kotak putih : Gunung Lagadar (2) dan Gunung ‘Hata’. Saya menggunakan nama Gunung ‘Hata’, sesungguhnya masih ragu. Itu nama yang Saya dengar dari mahasiswa Saya ketika kami ‘momotoran’ kesana, seminggu setelah mengunjungi Cireundeu bersama Faisal, Denis dan Jimly. Di Google Earth juga tidak tampil nama jelas gunung tersebut. Dari Cireundeu, yaitu Jalan Saptadaya, jika lurus terus, akan menemukan jalan menurun, kemudian belok kanan, maka akan melalui pemandangan indah. Sebelah kanan jalan terhampar pesawahan dan perkebunan pisang. Sebelah kirinya bukit hijau yang dipenuhi tanaman perkebunan. Setelah sekitar 1 kilometer, kita akan menemukan pemukiman desa. Kemudian tiba di jalan lurus aga berbatu, tapi kanan dan kirinya adalah sawah dengan latar gunung. Setelah itu, kami, masuk ke area Gunung Hatta. Di belakang Gunung Hata ada pemukiman desa dan terhampar lahan pertanian holtikultura tepat di bibir Sungai Citarum. Lewat dari jalan setapak (warna orange pada Gambar 8), kami menyaksikan di sisi kiri sebuah sungai kecil mengalir deras yang tercemar. Sisi kanannya lahan holtikultura dan terlihat juga bentangan Sungai Citarum yang gagah. Sekitar 1 kilometer, kami memasuki suasana hutan kemudian pemukiman warga Desa Cikuya.

Setelah momotoran ini, kami menyaksikan perbedaan kualitas gunung. Gunung Salam itu sangat lebat dengan pohon besar, dan sepanjang jalan setapak menunju puncak, sebelah kanan, terdapat aliran sugai kecil dari mata airnya di atas. Berbagai jenis tumbuhan hutan masih banyak. Bahkan ada spesies kucing hutan yang disebut ‘meong congkok’ dan sarang burung elang.

 
Sumber : Google Earth. Diakses pada 16 Juni 2021 jam 08.30
Gambar 8. Gunung Salam, Gunung Lagadar dan Gunung ‘Hata’.



Sementara itu, Gunung Lagadar dan Hata, pada Gambar 8, terlihat ada aktivitas pertambangan, yaitu pertambangan batu andesit. Batu andesit digunakan untuk menunjang sektor konstruksi atau bangunan. Tentu kondisi fisik dua gunung ini berbeda dengan Gunung Salam, karena ada aktivitas pertambangan. Kekhawatiran memang muncul ketika kita ‘momotoran’. Khawatir terjadi longsor di area tersebut, mengingat di kaki gunungnya merentang pemukiman warga. Longsor adalah bentuk eksternalitas negatif dari kegiatan pertambangan mineral jenis batuan. Jalanan seputar dua gunung tersebut terasa gersang dan berdebu. Bahkan di hari terpisah, Saya bersama dua anak Saya, berkeliling Gunung Lagadar, jalannya licin dan becek, karena digunakan oleh kendaraan truk besar pengangkut batu. Sepintas, terlihat bahwa gunung tersebut telah dikelola oleh perusahaan swasta. Mungkin diberikan hak pengelolaan sepertinya.


Pada tanggal 12 Juni, bersama istri dan anak-anak, berkeliling dengan mobil, masuk dari Jalan Saptadaya hingga tembus ke Kampung Maroko. Tapi bukan negara di bagian Afrika Utara ‘lho ya’, he he. Setelah melewati Gunung Hata, kemudian lurus terus, tembus ke Jalan Cililin, kemudian belok kiri, dan menyebrang melalui jembatan besar, akhirnya tembus di Desa Cihampelas.  Setelah melewati jembatan, ada pertigaan. Arah kiri tembus ke Cipatik-Soreng, dan arah kanan ke Kampung Maroko melelui Cihampelas. Tapi bukan Cihampelas tempat belanja baju ya, he he he. Sepanjang jalan Cihampelas, sebelah kirinya adalah Sungai Citarum yang berhulu di Bendungan Saguling. Di daerah ini kita menemukan tempat budidaya ikan di sepanjang Sungai Citarum dan Bendungan Saguling. Pada Gambar 7 ditunjukkan dengan garis biru patah-patah. Berpadu dengan wisata kuliner di atas air. Orang sana menyebutnya ‘saung apung’. Sore hari terlihat banyak motor membawa alat pancing. Ini mungkin disebut juga dengan wisata atau olah raga memancing ikan ‘ya’. Bagi pemancing, kegiatanya bisa dibilang menentramkan pikiran dan hatinya, ‘ciee’. Pastilah tentram pikiran dan hatinya, karena berada dipinggir sungai besar, udara segar, dan aliran air yang membuat betah tatapan mata. Tidak ada gossip di kantor atau tempat kerja. “Tiis ceuli, herang mata”, kata orang Jawa Barat ‘mah’. Ikan nyangkut, ya, itu bonus yang menggembirakan sepertinya.

Kata Teh Wiki (Wikipedia), Waduk Saguling membendung aliran air dari Sungai Citarum. Pembangunan Waduk Saguling berawal dari gagasan seorang insinyur berkebangsaan Belanda, Prof. Ir. W.J. van Blommestein untuk mengintegrasikan seluruh pengairan di Jawa Barat. Ia mulai mengumpulkan data-data pendukung di aliran Sungai Citarum pada dekade 1920-an. Hingga suatu ketika pada tahun 1948 muncul makalahnya tentang rencana pembangunan Waduk di aliran Sungai Citarum. Pembangunan Waduk Saguling dimulai dengan konstruksi bendungan di Desa Saguling, Kecamatan Saguling pada tahun 1980-1986. Konsultan desain bendungannya dari New JEC (Jepang) serta PT. Indra Karya sedangkan kontraktor pembangunannya oleh Dummer Travaux Publics (Prancis) dan PT. Raya Contractor. Biaya pembangunan waduk ini menghabiskan dana 662 968 000 Dollar AS termasuk biaya pembebasan lahan di 49 desa yang didominasi lahan pertanian.

Semula, Waduk Saguling direncanakan hanya untuk keperluan menghasilkan tenaga listrik. Pada tahap pertama pembangkit tenaga listrik yang dipasang berkapasitas 700 mega watt (MW), tetapi bila di kemudian hari ada peningkatan kebutuhan listrik pembangkit dapat ditingkatkan hingga mencapai 1400 MW. Badan yang bertanggungjawab dalam pembangunannya adalah Proyek Induk Pembangkit Hidro (PIKITDRO) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Depatemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan permasalahan lingkungan di daerah itu, Saguling ditata ulang sebagai bendungan multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan lain seperti perikanan, agri-akuakultur, pariwisata, dan lain-lain.

Sekarang, waduk ini juga digunakan untuk kebutuhan lokal seperti mandi, mencuci, bahkan untuk membuang kotoran. Hal ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur yang sudah dibangun lebih dahulu. Hal tersebut terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah semua kotoran "disaring" untuk pertama kali sebelum kemudian disaring kembali oleh Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur. Sisa usia Waduk Saguling diperkirakan tinggal 27 tahun apabila penanganan pencemaran air dan sedimentasi Sungai Citarum tidak dilakukan secara komprehensif. Seharusnya, usia Waduk Saguling minimal masih 31 tahun lagi. Laju sedimentasi di Waduk Saguling mencapai 4,2 juta meter kubik per tahun. Selain itu kandungan bahan kimia berbahaya dalam air waduk akibat pencemaran limbah rumah tangga dan pabrik di daerah aliran Citarum rentan memicu korosi alat pembangkit listrik. Keterangan ini Saya peroleh juga ketika Tahun 2016 bersama mahasiswa Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan studi lapangan ke Indonesia Power yang mengelola energi listrik untuk pasokan Jawa-Bali.

Sumber : Dokumentasi mahasiswa ESDAL Tahun 2016.
Gambar 9. Studi Mahasiswa Ekonomi Sumber Daya Alam Unisba ke Indonesia Power, 2016




















Teh Wiki, lebih lanjut menuturkan, “Daerah di sekitar Waduk Saguling berupa perbukitan, dengan banyak sumber air yang berkontribusi pada waduk. Hal tersebut membuat bentuk Waduk Saguling sangat tidak beraturan dengan banyak teluk. Daerah waduk ini asalnya adalah berupa daerah pertanian. Daerah perikanan dari waduk berhadapan dengan tekanan kuat dari populasi penduduk. Hal tersebut terjadi karena 50 persen dari populasi terdiri dari petani dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Peningkatan populasi petani tersebut mengakibatkan berkurangnya lahan yang dapat diolah, sehingga memaksa mereka mengembangkan lahan pertanian mereka dengan melakukan pembabatan hutan. Sebagai konsekuensinya, muncul masalah banjir dan longsor di musim hujan. Institut Ekologi di Bandung telah mempelajari hal ini sejak tahun 1978, terutama tentang kondisi dasar daerah ini dan pemantauan serta pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan standar hidup penduduk” (Wiki, 2021).

Seperti telah kita amati pada Gambar 7, terlihat bahwa Waduk Saguling luas ‘ya’. Akses ke Waduk Saguling juga bisa via Kota Baru Parahyangan Padalarang. Kita tinggal lurus terus, melewati jembatan sebelum IKEA, kemudian kita akan menemukan exit perumahan, namanya Kampung Cikondang. Bersama keluarga, jalan – jalan, dan mengambil gambar budi daya ikan apung, yaitu dengan menggunakan keramba kayu, sebagaimana bisa dilihat pada video berikut :

 

Setelah Saya pelajari lagi di rumah, perjalanan kami ini rupanya menyusuri Cekungan Bandung Bagian Barat. Tiga gunung yang Saya ceritakan sebelumnya berada di Cekungan Bandung (Bandung Basin) Bagian Barat. Pada Gambar 10, “Cekungan Bandung sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian timur, tengah, dan barat. Cekungan Bandung bagian timur dimulai dari dataran Nagreg sampai dengan Cicalengka; bagian tengah membentang dari Cicalengka hingga Cimahi – kompleks perbukitan Gunung Lagadar, dan cekungan bagian barat terletak di antara Cimahi – Batujajar hingga Cililin dan Waduk Saguling”, tutur Bronto (2006).

Gambar 10.  Peta Cekungan Bandung

“Ada peran ekonomi, lingkungan dan perkotaan pada Cekungan Bandung”, informasi dari Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat (2019). Peran Ekonominya adalah sebagai pengembangan kawasan industri skala menengah – besar yang ramah lingkungan, peningkatan kegiatan perekonomian perkotaan sekitar melalui pengembangan industri dan konektivitas infrastruktur, dan pengembangan kawasan ekonomi baru. Peran lingkungannya adalah sebagai pengendalian pemanfaatan lahan untuk pencegahan banjir, mengendalikan kawasan hutang lindung yang berada di ketinggian, serta konservasi air dan tanah. Dan, peran perkotaannya adalah sebagai pengembangan Compact City untuk mengendalikan urban sprawl, memanfaatkan lahan secara efisien akibat kondisi topografi, dan mengembangkan infrastruktur transportasi, termasuk transportasi massal. Urban sprawl adalah pertumbuhan tak terbatas di banyak wilayah perkotaan perumahan, pengembangan komersial, dan jalan di atas lahan yang luas, dengan sedikit perhatian untuk perencanaan kota”, Wikipedia (2011).

Pemikiran hasil ‘momotoran’ dan dokumentasi lama ini memberikan pengetahuan empiris sebagai berikut :

1.     Pada area Gunung Salam terlihat ada upaya merawat kondisi dan memperlakukan alam yang lebih spesial oleh Masyarakat Adat Cireundeu, sehingga lingkungan terlihat dan terasa lestari.

2.     Pada area Gunung Lagadar dan Hata terlihat ada upaya pemanfaatan sumber daya mineral, yaitu pertambangan batu andesit, namun kondisi alamnya terlihat dan terasa kurang lestari dibandingkan lingkungan di area Gunung Salam.

3.     Gunung Salam di Cireundeu adalah bagian dari Cekungan Bandung Bagian Barat dengan yang memiliki peran dalam menjaga ekosistem Cekungan Bandung Bagian Barat.

4.     Keberadaan Gunung Salam yang lestari menjadi penyangga bagi kegiatan usaha tani padi dan perkebunan dan mencegah tekanan erosi kepada Sungai Citarum.

5.     Pencemaran dan sedimentasi terhadap Sungai Citarum menimbulkan eksternalitas negatif berupa terganggunya turbin pembangkit listrik dan budidaya ikan di sepanjang sungai dan di area Waduk Saguling.

Cireundeu dalam Rezim TPA

Dahulu, sebelum masuk ke pemukiman Masyarakat Adat Cireundeu, sebagaimana telah diceritakan pada Gambar 2, terdapat tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Sejarahnya panjang. “TPA ini sejak dibuka Tahun 1986, menerapkan sistem open dumping atau penimbungan sampah secara terbuka pada lahan terbuka sehingga menyerupai gunungan sampah dengan total area seluas 25 hektar. Pada awalnya perencanaan pembangunan lokasi TPA ini hanya berdasarkan pada potensi fisik saja, yaitu memanfaatkan kemiringan lereng yang diapit oleh dua buah gunung yaitu Gunung Aki dan Gunung Leutik tanpa memperhitungkan akibat yang akan timbul dikemudian hari yang justru dapat merugikan kondisi penduduk dan lingkungan sekitar”, tutur Nandi (2005).

Pada Tahun 2005, TPA tersebut longsor. Pikiran Rakyat masih menyimpan kronologinya dalam bentuk digital dari hari pertama hingga ketiga kejadian longsor : 

Senin 21 Februari 2005

o       Hujan mengguyur selama dua hari berturut-turut sebelum kejadian.

o       Hujan lebat terjadi sejak Minggu 20 Februari 2005 petang hingga tengah malam.

o       Timbunan sampah di TPA Leuwigajah longsor sekitar pukul 2.00 WIB, saat warga tertidur lelap. Tinggi gunungan sampah mencapai 50-70 meter.

o       Longsor menimpa puluhan rumah di dua wilayah, Kabupaten Bandung (sekarang masuk wilayah Kabupaten Bandung Barat) dan Kota Cimahi. Persisnya lokasi yang tertimbun sampah berada di Kampung Cilimus dan Kampung Gunung Aki, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung; serta Kampung Pojok, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.

o       Permukiman yang terkena longsoran sampah terseret hingga sekitar 1 kilometer jauhnya.

o       Dugaan awal, 141 jiwa meninggal.

o       Hingga Senin malam, baru dtemukan 29 jenazah.

o       Gubernur Jabar Danny Setiawan: Penimbunan sampah dari wilayah Bandung raya ke TPA Leuwigajah dihentikan.

o       Data UPTD Kebersihan Kota Cimahi: Luas TPA Leuwigajah 25,1 hektare; digunakan sejak 1987; sampah yang masuk setiap hari sekitar 3.800 m3; Sistem pengelolaan sampah open dumping atau buang lalu timbun.

 

Selasa 22 Februari 2005

o       Jumlah jenazah yang ditemukan sebanyak 27 orang. Diperkirakan jumlah korban tewas mencapai 64 orang.

o       Korban yang ditemukan disemayamkan di Masjid Al-Hidayah.

o       Proses evakuasi jenazah terganjal medan yang sulit.

o       Warga yang selamat diungsikan di empat ruang kelas di SDN 2 Batujajar. Para siswa di SD itu diliburkan.

o       Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Alwi Shihab dan Menteri Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsah berkunjung ke lokasi kejadian.

o       Polda Jabar melakukan penyelidikan atas kejadian luar biasa itu.

o       Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung, KH Yayat Ruhiyat Sirodj mengimbau dan mengajak seluruh umat Islam untuk melakukan doa bersama.

o       Warga Kampung Cilimus, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung yang rumahnya tertimpa longsoran sampah akan menuntut pengelola TPA Leuwigajah ke pengadilan.

 

Rabu 23 Februari 2005

o       Data korban yang ditemukan direvisi menjadi 54 orang, tapi 95 orang masih dinyatakan hilang, 204 orang warga di 3 kampung itu selamat.

o       Sejumlah pejabat terkait diperiksa Polda Jabar setelah kejadian itu.

o       Solihin GP: Tragedi TPA Leuwigajah bukti kelalaian pihak berwenang.

o       Cipatat di Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Babndung Barat) dan Cijeruk (di Kabupaten Sumedang) akan ditunjuk sebagai pengganti TPA Leuwigajah untuk TPA.

o       Mensos minta rumah para korban longsor direlokasi ke tempat yang aman.

o       Bupati Bandung Obar Sobarna menunjuk Dandim 0609 Letkol TNI AD Ahmad Saefuddin sebagai ketua koordinator pelaksana lapangan (korlap) penanganan bencana longsor TPA Leuwigajah.

(Dewanggie Eka Saputra)***

Nugraha (2011) menulis laporan di Kompas : “Enam tahun berlalu sejak 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua kampung terhapus dari peta karena tergulung longsoran sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah. Memori itu kian redup seiring perjalanan waktu, tapi tidak bagi masyarakat adat Cirendeu, Kota Cimahi. Bagi mereka, lupa adalah sesuatu yang harus dilawan agar tidak terperosok pada lubang yang sama di masa mendatang. Sekitar 20 orang berbaju serba hitam duduk melingkar di sebuah punggung bukit dan mendengarkan alunan karinding yang dimainkan sebagian dari mereka. Suara alat musik dari bambu itu dimainkan dengan cara menjepitnya di bibir dan ditepuk dengan telapak tangan kanan. Suara yang dihasilkan bernada tinggi, melengking, dan berpadu dengan embusan angin yang berderu kencang. Magis. Usai membaca doa, peserta yang berasal dari Kampung Adat Cirendeu menyusuri jalan setapak, menuruni bukit untuk menuju sebuah tebing yang menghadap sebuah lembah. Dasar lembah itu berwarna hijau oleh tanaman liar, meski tanah yang dipenuhi sampah masih mengintip di sela dedaunan. Di sana, mereka menebarkan bunga dan langsung diterbangkan angin yang mengalir liar”, tutur Nugraha.
 

Pada saat Saya dan kawan-kawan mahasiswa berkunjung ke Cireundeu, seakan tersimpulkan bahwa penyebabnya adalah pertimbangan yang “kurang masagi” ketika menetapkan Leuwigajah sebagai TPA pada Tahun 1986. Kang Yana, salah satu nonoman Cireundeu, bertutur “seharusnya, pemerintah waktu itu tidak hanya mempertimbangkan aspek fisik yang cocok untuk pembuangan sampah, melainkan dampak sosial, budaya, ekonomi, ekologi, dan upaya pemulihan lingkungan”. Saya sangat apresiatif terhadap pemikiran Kang Yana. “Masagi”, diartikan harfiah dalam Bahasa Indonesia adalah “mengotak”, artinya, penetapan 25 hektar lahan Leuwigajah untuk TPA tidak mempertimbangkan banyak sendi atau aspek kehidupan. “Jadinya, ya, kita selama 20 tahun masih memperbaiki dampak dari TPA ini”, tutur Kang Yana dengan logat khas Sunda.

Meretas cerita paska longsor, masyarakat menggugat Kepala Daerah saat itu. “Gugatan tersebut diajukan pada tanggal 28 April 2005. Pihak penggugat adalah warga korban longsor TPA Leuwigajah sedangkan tergugat adalah Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. Tiga lokasi yang diajukan penggugat (warga), yaitu TPA yang berada di Kp. Cireundeu RT 05/RW 10 Kel. Leuwigajah, Cimahi Selatan, TPA Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur, Kec. Batujajar, dan TPA Leuwigajah, yang kini dijadikan kuburan massal. Besaran nilai gugatan untuk kerugian materiil mencapai Rp18.6 miliar dan Rp 40 triliun untuk kerugian immateriil. Karenanya, jumlah ganti rugi yang diminta sebesar Rp 41 triliun. Jumlah itu harus dibayar secara tunai, sekaligus, dan seketika saat putusan dibacakan. Seandainya terlambat, pihak tergugat harus membayar uang paksa (dwangsom) sekira Rp 1 000 000 per hari” tulis Rahayu (2012). Pada buku Tietenberg dan Lewis (2018) mengingatkan kita pada pembelajaran tentang valuasi lingkungan. Mulanya dari masalah tumpahnya minyak mentah oleh Exxon Valdez, yang kemudian melibatkan urusan hukum dan pionir teknik bagaimana “menguangkan” atau monetizing kerusakan lingkungan yang diperlukan untuk masalah ganti rugi dampak ekologi dari tumpahan minyak mentah itu.

Rahayu (2012) mengangkat masalah keadilan ekologis dari bencana sampah TPA Leuwigajah tersebut. “Konsep ecoliteracy ini sebenarnya perlu ada dalam pandangan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan kasus lingkungan…ecoliteracy bisa diartikan sebagai situasi melek huruf, paham, atau memiliki pengertian terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di planet bumi”, tutur Rahayu (2012). Pandangan keadilan tentu berubah, dari antroposentrik ke biosentrisme, yang menuntut agar komunitas biotis dan ekologis diperlakukan juga sebagai komunitas moral.

Gagasan Rahayu (2012) tepat sekali. Mengingat, sejak bencana sampah 2005, Masyarakat Adat Cireundeu berupaya keras untuk reboisasi kawasan TPA dan sekitarnya. Mereka menanam bambu, dan tanaman-tanaman keras lainnya. Ini menunjukkan bahwa apa yang disebut dengan eoliteracy telah menjadi pikiran dan perilaku hidup mereka. Jadi, hingga sekarangpun, mereka masih melakukan ‘penghijauan’, dan tampaknya belum maksimal. Apa artinya ? Bencana longsor sampah 20 tahun silam menyisakan upaya yang mahal untuk merecovery fungsi ekologis. Bahkan, bukan hanya itu, melainkan recovery budaya masyarakat, dan perubahan secara mendasar pada peradaban Masyarakat Adat Cireundeu.

Arsitektur bangunan Masyarakat Adat Cireundeu berubah dari bambu menjadi semen. “Terpaksa kami mengubah rumah menjadi bertembok”, turur Kang Yana. Jika tidak berubah, bau dari tumpukkan sampah di TPA sangat menyengat, masuk ke dalam rongga dinding dari bambu. “Kalau kita mau pergi ke daerah Cimahi ‘nih’, melewati TPA, baunya nempel di baju” tegas Kang Yana sambal tersenyum. “Bahkan pohon peuteuy pun mati”, tegasnya lagi. Pohon peuteuy dengan kata lain adalah ‘pete’ yang menjadi bahan makanan seperti lalaban, adalah pohon besar. Komunitas lalat nempel pada pohon pete dari bagian bawah hingga atas, sehingga ‘mungkin’ si pohon ini tidak bisa bernafas karena tertutup lalat, dan akhirnya mati. Tanaman di sekitar rumah pun, menjadi rumah bagi komunitas lalat, dan senantiasa ikut menikmati makan pada piring makanan setiap orang, saban hari. 

Kata Yuuki (2020), “Berbicara tentang desain bentuk rumah adat di Cireundeu, ada satu hal yang paling kental dan wajib ada pada desain bentuk rumah adat Cireundeu, yaitu setiap rumah di kampung Cireundeu ini harus memiliki pintu samping yang menghadap ke arah timur, hal ini dikarenakan untuk memaksimalkan cahaya matahari di pagi hari untuk masuk ke dalam rumah. Desain Bentuk rumah adat di Cireundeu tidak dibatasi oleh hal-hal tertentu, rata-rata rumah di kampung Cireundeu ini sudah berdinding batu bata (tembok), menggunakan genteng sebagai penutup atapnya, dan jendela berkaca. Namun ada salah satu bangunan adat yang kelihatannya cukup tradisional di kampung Cireundeu ini, yaitu bangunan yang disebut Bale Saresehan, bangunan ini merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah. Bangunan ini menerapkan arsitektur campuran antara tradisional dan modern. Desain Bentuk Rumah Adat di Cireundeu ini seperti bentuk balai pertemuan pada umumnya, yang berbeda adalah bagian di dalamnya dihiasi dengan empat helai kain yang berbeda warna. Keempat warna ini memiliki filosofi yang menggambarkan unsur-unsur Bumi, yaitu, Merah berarti api, Hitam berarti bumi, kuning berarti angin dan putih berarti air.

Perilaku masyarakatpun berubah setelah Leuwigajah menjadi TPA pada Tahun 1986. Para nonoman menuturkan bahwa ketika itu, sampah itu menjadi sumber uang. Sampah besi, aluminium, plastik, obat bekas, dan makanan kemasan yang kadaluarsa, menjadi komoditi yang dapat dijual kembali. Banyak migrasi masuk ke Leuwigajah, dan mengais rezeki dari bisnis sampah. Pemulung berdatangan. Premanisme dan cukong-cukong bermunculan. Perjudian menjadi aktivitas sehari-hari di area TPA. Setelah TPA ditutup, bekas perilaku ini masih membudaya, terutama pada generasi muda. Tentu saja ada perjuangan untuk mengembalikan kesadaran generasi tersebut agar lebih ‘beradab’. Perjuangan itu adalah ongkos ajaran dan ideologi yang sangat mahal.

Sekarang, bekas TPA Leuwigajah telah hijau kembali. Manfaat bagi masyarakat Kota Cimahi, khususnya di Jalan Kerkof semakin nyata. Gunung Salam dan bekas TPA Leuwigajah dapat kembali menghembuskan oksigen dan menjadi tempat penyimpanan air (water catchment area). Kekuatan fungsi ekologinya sudah jauh lebih meningkat dari 20 Tahun silam. Dan, kita yang tinggal di perkotaan, yang sehari-hari mengurusi kepentingan keluarga masing-masing, pergi pagi pulang sore, harus berterimakasih atas keberadaan dan aksi Masyarakat Adat Cireundeu yang telah menghijaukan kembali bekas TPA Leuwigajah. Tanpa terlihat. Tanpa laporan tahunan. Tanpa ribut atas kompensasi aksi. Akhirnya, kita hanya bisa melihat terjemah dari “Tilu Sapamalu, Dua Sakarupa, Hiji Eta-Eta Keneh”. Kekuatan ideologi inilah yang tersembunyi dibalik hijaunya kembali bekas bencana longsor.

Dari tulisan Rahayu (2012) ‘lah’, Saya akhirnya menemukan literatur  ‘baru tapi sudah lama. ‘Kuper’ juga Saya ya ? he he kurang pergaulan akademik. Saya harus membaca buku-bukunya Fritjop Capra. Salah satu bukunya yang direncanakan untuk dibaca adalah “The Hidden Connections : Integrating The Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life Into A Science of Sustainability”. “Hubungan Tersembunyi”, weeeiii, keren nih. Buku itu dipublish Tahun 2002. Semoga menambah dan memperkuat ecoliterasi bagi para pembacanya.

Gambar 11. Sampul Depan Buku Fritjop Capra










Ketahanan Pangan dan Mental Masyarakat Adat Cireundeu

Pukul 13an, kami dengan Nonoman Cireundeu mendaki ke puncak Gunung Salam dengan ketinggian 900 mdpl. Tidak boleh menggunakan alas kaki. Puncak Gunung Salam itu lansekapnya datar. Ada saung kecil yang dikelilingi ilalang atau ‘bera’. Di arah timur, kita bisa melihat Gunung Lagadar yang separuh masih hijau. Sekitar kurang dari 100 meter menuju puncak, ada saung untuk istirahat. Saung ini dikelilingi pohon pinus, adem dan segar. Para nonoman membawa bekal berupa ‘rasi’, daging ayam, sambal, tahu dan tempe. Daging ayam mentah itu kami bakar sendiri diperapian. Daging ayamnya beda dengan daging ayam kampu yang cukup mahal, bahkan jauh beda dengan rasa daging ayam broiler he he. Memang lebih kenyal, mungkin seratnya lebih bagus. Tekstur dagingnya berbeda dengan daging ayam yang biasa dimakan masyarakat umum, karena pakan ayam di Cireundeu bersumber dari singkong juga. Setelah daging ayam bakar matang, langsung kita santap makanan yang telah disediakan. ‘Rasi’ dituangkan ke dalam mangkok yang terbuat dari daun pisang berwarna hijau tua. Saya sampai 3 kali nambah he he. Biasanya setelah makan nasi, kita ‘the’ suka ngantuk. Makan ‘rasi’ tidak membuat perut seperti tertekan dan tidak menimbulkan kantuk. Kandungan karbohidratnya sedikit sekali sepertinya. Warnanya aga coklat dikit. Tapi rasanya langsung ‘paten’ di lidah. Sepertinya mereka merahasiakan juga teknologi pengolahan ‘terbaru’ he he, karena tidak seperti cerita Tahun 1924an yang mana mereka harus beradaptasi dulu dengan jenis singkong waktu itu.


Makanan pokok Masyarakat Adat Cireundeu mengalami perubahan dari ‘nasi’ menjadi ‘rasi’. Sebelum Tahun 1924, Masyarakat Adat Cireundeu mengonsumsi ‘nasi’, dan setelah itu hingga kini, makanan pokoknya adalah ‘rasi’. Nasi berbahan baku beras, dan beras berasal dari padi, sedangkan rasi berbahan baku singkong atau ketela pohon. Perubahan makanan pokok ini merespons kondisi saat itu. Dimana orang Eropa yang sedang konflik pada Perang Dunia 1 memerlukan pasokan bahan makanan yang cukup, salah satunya adalah beras. Imbasnya adalah pada permintaan beras dari bangsa kita, termasuk Cireundeu ini. Konflik di Eropa, tentu menjadi desakan bagi bangsa kita, sampai akhirnya harus mengambil paksa sumber makanan, termasuk beras. ‘Penjajahan’ akibat konflik di Eropa, direspons unik oleh generasi Cireundeu saat itu. Mereka tidak lagi menanam padi, dan sebagai gantinya adalah memakan singkong, sehingga tidak perlu bersitegang lagi dengan Bangsa Eropa untuk menolak memberikan beras, karena memang sudah tidak ada lagi. Ini strategi keren ‘sih’.

Sumber : Dokumentsi penulis

Gambar 12. Slogan di Bale Cireundeu

 



 

 






Perubahan makanan pokok ini tidak mudah saat itu. Singkong tidak dimakan dalam kondisi mentah, atau dibakar atau dikukus, melainkan diolah menjadi mirip beras. Ada inovasi teknologi atau manufakturisasi pada Tahun 1924. Masyarakat tidak begitu saja langsung memakan rasi. Mereka beradaptasi, bahkan diceritakan oleh para nonoman, saat itu ada yang keracunan. Entah jenis apa singkong yang mereka makan. Bisa dibayangkan, yang tadinya berabad-abad lamanya makan nasi, kemudian berubah menjadi rasi berbahan singkong. Kemudian, salah satu tokoh perempuan saat itu membuat tarian dengan tujuan, yang dalam logika Saya adalah untuk mengadaptasikan ‘pencernaan’. Entah bagaimana cara memahaminya, cara tersebut berhasil, dan menjadi ritual rutin hingga kini. Apakah ini salah satu yang disebut ‘hidden connection’ oleh Capra ?

Perubahan makanan pokok, tidak hanya membangun teknologi pangan baru, lebih dari itu berpengaruh pada budaya pertaniannya. Lahan tanaman singkong kemudian disiapkan. Diatur pola tanam dan panennya. Singkong dipanen satu tahun sekali. Dipanen setelah berumur 1 tahun. Jadi, dari sepetak lahan, kemudian diatur rotasinya. Pada satu petak lahan, ada petakan yang siap panen, ada petakan yang beberapa bulan lagi panen, dan ada petakan yang masih baru tumbuh. Siklusnya selalu begitu, sedemikian hingga menjamin kebutuhan Masyarakat Adat Cireundeu. Rotasi demikian, meski tidak sama sifat tanamannya, mengingatkan kita pada metode forestry economics yang berkelanjutan pada buku Tietenberg dan Lewis (2018). Metode rotasi ini, terkonsepsi sebelum berkembang ilmu pengetahuan yang kita pelajari sekarang. Artinya, Masyarakat Adat Cireundeu memiliki sistem keilmuan yang merumpun pada istilah baru yang kita pelajari saat ini, tapi dengan makna yang sama.

Makan singkong, tapi diejek. Dulu, ketika para nonoman masih sekolah dasar, mereka mengalami ejekan di sekolahnya. Ejekan itu membekas hingga kini. Mereka seringkali disebut ‘kaki bagong’ di sekolah. Sungguh menyakitkan ‘ya’. Bagong adalah sejenis binatang yang kita sebut sekarang adalah babi hutan, karena babi hutan memakan singkong juga. Temuan anekdotal ini memberikan informasi bahwa rasisme saat itu demikian kuat. Apakah hari ini masih tersisa rasisme itu ? Jadi, harus dipahami juga, selain kita berterimakasih atas terpeliharanya Gunung Salam oleh Masyarakat Cireundeu, bahwa tekanan masyarakatnya tidak hanya datang ketika era penjajahan, melainkan dari dalam diri bangsa kita sendiri.

Pemerintah Daerah tampak bersemangat sekali untuk mempromosikan keunikan Cireundeu. Hingga ada permintaan untuk meningkatkan produksi ‘rasi’ agar menjadi produk unggulan dan khasanan lokasi wisata. Tapi, Masyarakat Adat Cireundeu tidak bisa memenuhinya. Alasan mereka rasional, yaitu mereka khawatir sumber daya lahan singkongya tidak akan cukup untuk memenuhi kontinuitas produksi dalam rangka memenuhi permintaan yang mereka prediksi akan melonjak.

Sistem Ilmu Pengetahuan Masyarakat Cireundeu

Dalam perjalanan turun dari puncak Gunung Salam ke pemukiman Cireundeu, Saya dengan rasa ragu bertanya kepada nonoman. ‘Kok’ bisa punya ilmu dan praktik hidup yang ‘keren’ menurut Saya. Jadi, Saya harus bertanya, darimana mereka punya ilmu pengetahuan hidup ini ?. “Ngaji diri”, jawab Kang Ajat salah seorang nonoman. ‘Nah, dimana kita bisa baca naskah ‘ngaji diri’ itu Kang ? tanya Saya lebih lanjut. “He he he”, jawabnya. “Gimana tuh Kang” tanyaku keheranan. “Ngaji diri itu tidak dituliskan, tetapi harus belajar langsung” jawab Kang Ajat. Dengan membaca gestur tubuh, dan suasana kebatinan dalam perjalanan turun gunung, dengan menginjak tanah keras, lumpur dan batu pada jalan setapak, Saya mengunyah informasi bahwa ilmu pengetahuan Masyarakat Adat Cireundeu berbeda dengan Saya, dan mungkin kebanyakan ‘orang kota’. Kita yang terbiasa melembagakan ilmu pengetahuan itu dengan membaca buku, mengujinya dan akhirnya memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang sesuatu, terkadang mengendap terlalu lama pada apa yang disebut dengan ‘koginisi’. Untuk menjadi praktik, delaynya panjang kepada tahap praktis, kadang harus ‘lebay’ melewati fase kebijakan dulu, he he. Kadang sudah cukup pada posisi sebagai pembuka solusi dalam bentuk gagasan. Mungkin.

Kenapa tidak ada naskah ‘ngaji diri’ ? Saya teringat dengan pelajaran Sundanologinya Budi Dalton. Temen-temen bisa nonton pada channel youtubenya : https://www.youtube.com/watch?v=3hx-NBBMlqI. Bahwa sumber ilmu pengetahuan itu bisa dari huruf dan aksara. Hurup adalam kesemestaan. Tumbuhan, binatang, bintang, air, batu, yaitu berupa kebendaan dan ‘yang hidup’, adalah huruf yang menjadi bahan bacaan juga. Aksara adalah symbol-simbol komunikasi tertulis, seperti halnya abjad Latin (a, b, c), Arab (ا, ب, ت), Jawa, China, Jepang, dan lain-lain, yang setiap bangsa juga memiliki produk peradaban ini. Kita sudah sangat terbiasa dengan bacaan aksara demikian. Contoh sederhana perbedaan hurup dan aksara adalah ‘lalat’ misalnya. ‘Lalat’ adalah hurup. Hurup yang memberikan arti bahwa ‘tempat itu’ kotor, dan supaya lalat tidak ‘nongkrong’ ditempat itu, solusinya adalah membersihkan tempat itu, bukan membunuh ‘lalat’nya.  ‘Ngaji diri’ sumbernya dari seorang guru yang diturukan dengan lisan dan contoh terapan. Tidak ada pemisahan pemahaman pada ruang kognisi dan praktik. ‘Ngaji diri’ adalah ilmu pengetahuan yang harus dipahami dan sekaligus dipraktikan. Jadi, sementara ini, Saya memahaminya bahwa konsep sistem ilmu pengetahuannya harus langsung menjadi kepribadian. Kepribadian sudah merangkum pemahaman dan perilaku hidup. Pusat dan orientasi ilmu pengetahuannya adalah pada cara kerja kesemestaan dimana manusia tunduk pada regulasinya. Ini mengingatkan Saya juga pada pembelajaran Sejarah Pemikiran Ekonomi, yaitu ketika kita membahas pemahman Physiocrats (physis = alam, cratos = kekuasaan), sebuah mazhab dimana keteraturan ekonomi itu mengikuti hukum alam. Ringkasnya demikian. “Keren, keren, keren”, tidak henti-hentinya hati Saya mengucapkan itu. ‘Keren’, karena ilmu pengetahuannya tidak hanya bersumber dari apa yang terbaca melalui aksara, melainkan melalui hurup. Dalam masyarakat Islam, hurup itu mungkin sepadan dengan apa yang disebut ayat kauliyat, dan apa yang kita sebut sekarang dengan istilah ‘kuliah’. Jadi aktivitas ‘kuliah’ itu mungkin adalah upaya untuk meningkatkan sensor diri kita terhadap ucapan dan ungkapan alam semesta.

Mereka yang Tertarik dengan Cireundeu

Banyak orang yang tertarik dengan Cireundeu. Saya memperoleh catatan kunjungan tahun 2019 sebelum pandemik. Jadi bisa ‘ngeliat’ siapa saja yang dharmawisata, atau silturrahiim ke Cireundeu, meminjam istilah dari Kang Budi Dalton ‘mah’. Pada Tabel 1, Saya sajikan datanya.

Tabel 1.          Tamu Pengunjung Cireundeu Tahun 2019
Bulan            Tamu/Kegiatan
Januari
o   Universitas Negeri Jakarta

o   SMA Tarakan Nita Tanggerang 3 hari 2 malam

o   Serikat Buruh Bandung
o   Calon-calon pendeta, Kota Malang
o   Serikat Buruh Bandung
Februari
o   SDN 7 Cibeureum
o   Pariwara
o   HPSN (Hari Peduli Sampah Nasional)
o   Study Banding Departemen Agama
o   SMA Islam Lembang
o   Kunjungan Umum Bandung
o   Lintas Iman Bandung Jakarta
o   Umum, Mahasiswa Dan Pelajar
Maret
o   Mahasiswa PGSD UPI , 3 hari
o   Melasti Hindu
o   Cinta mulya tanggerang, 2 hari 1 malam
o   Kemping Genpi seJabar 2 hari 1 malam
o   Umum, Mahasiswa dan Pelajar
April
o   Pengabdian Unpad
o   Studi banding Provinsi Sumbar
o   AKPER RSPAD, Jakarta 2 hari 1 malam
o   Umum, Mahasiswa dan Pelajar
Mei
o   UPI PGSD, 2 hari 1 malam
o   Pendeta PGI Bandung Jakarta
o   Umum, Mahasiswa dan Pelajar
Juni
o   Umum
o   Umum, Mahasiswa dan Pelajar
Juli
o   STIKES
o   Umum
Agustus
o   Darma Wanita
o   Umum
o   Turis Korea
o   Anak Sekolah SMP
o   Umum
September
o   Umum
o   Mahasiswa dalam negri dan asing
o   SMAN Kota Suka Bumi
o   Livein
o   SD 1 Pandu
o   Jakarta
o   Pelatihan SMK Pertanan Jogya
o   Kegiatan Tutup Taun Ngemban Taun 3 hari
Oktober
o   TK Senyum Ananda Bandung
o   SMA Bina Bakti
o   Mahasiswa Keperawatan jawa, bali, jakarta
o   Peserta Seminar STP
o   Pelatihan
o   SD Yos Sudarso
o   WIC Grup
o   Umum, Mahasiswa dan Pelajar
November
o   Umum Kota Bekasi
o   SD Selamat Riyadi
o   SD Cendikia
o   Pelatihan
o   SD Cendikia
o   UPI PGSD
o   PKBM Kopo
o   Umum, Mahasiswa dan Pelajar
Desember
o   TK Santa Agatha
o   PKK Cihanjuang
o   Umum, Mahasiswa dan Pelajar

Sumber : Kang Yana, Nonoman Cireundeu. Dikirim via whatsapp pada hari 16 Juni 2021.

Tampak bahwa rentang tipe pengunjungnya sangat lebar. Dari siwa –siswi taman kanak-kanak hingga mahasiswa, dari umum hingga pemerintahan, dari lokal hingga asing, contohnya orang Korea. Sebetulnya tamu ‘umum’ itu mengandung tipe orang asing, tapi mereka tidak pernah menanyakan detail asal-usulnya. Kemungkinan dari negara Asia non Indonesia. Secara fisik aga mirip, tapi bahasanya memang asing kalau berbicara. Masyarakat Hidu dan Kristen pun turut tertarik dengan Cireundeu. Kelompok yang paling sering kesana adalah pelajar dan mahasiswa. Memang demikian, kalau kita search ‘Cireundeu’ di youtube, banyak channel yang menampilkan kehidupan Cireundeu sebagai bentuk tugas dari sekolah atau kampusnya. Cireundeu menjadi sumber ecoliteracy bagi masyarakat.

Epilog

‘Momotoran’ adalah istilah sehari-hari yang menunjukkan kegiatan jalan-jalan dengan menggunakan kendaraan roda dua. Bisa dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang. Ada sensasi nikmat, dan lebih dari itu, mata dan pendengaran merekam apa yang terlihat dan terdengar. ‘Momotoran’ adalah sebuah hiburan sekaligus memperluas dan memperdalam pengetahuan. Belum tentu menjadi ilmu, karena ada metode khusus untuk dimasak menjadi ilmu. Tapi, ‘momotoran’ harus hati-hati, dan harus punya keahlian mengendara dengan etis. Tidak boleh ‘ngejago’, dan toleran dengan jalan dan orang lain. Pasal ini dilanggar, maka bisa terjadi kecelakaan tunggal atau ganda atau triple atau ‘apalagi’.

Masyarakat Adat Cireundeu memberikan banyak informasi yang mengusik ilmu pengetahuan Saya tentang ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. Ketika para ekonom disibukan mencari fakta-fakta tentang keberlanjutan ekonomi dan lingkungan, ternyata 20 menit dari rumah Saya ada praktik ecoliteracy yang telah mapan dan teruji mengatasi masalah kegagalan pasar dan kegagalan perencanaan. Bahkan di lingkungan Gunung Halimun, Kasepuhan Banten Kidul, menyimpan ilmu hidup dan peradaban yang masih relevan untuk sains pembangunan berkelanjutan. Hanya saja tidak tertulis melalui aksara, melainkan kita harus memahaminya sebagai hurup atau ayat kauliyah. Saya, kadang suka kesal, ketika pengetahuan demikian dikomunikasikan dengan teman, kemudian fast respons, “oh itu mah kearifan lokal ya ?”, “oh itu mah budaya ya”. ‘Sensi’ jadinya untuk membongkar segala sesuatu yang berarti bagi sains untuk kehidupan manusia. Lidah dan jari menjadi freezy untuk menarasikan hal-hal yang penting untuk diolah akal budi komunitas ‘akademik’.

Apa yang dapat diambil ? apakah mengadaptasikan tata cara hidup masyarakat ‘kota’ dengan praktik ecoliteracy yang telah mapan seperti di Cireundeu ? ataukah ada konsep lain ? Sepertinya kita perlu mengambil konsep hidup dan peradabannya yang diadaptasikan dengan kenyataan hidup kita sekarang. Meski dengan pertanyaan yang harus ditelaah “adakah celah-celah peradaban ‘kota’ sekarang untuk menyesuaikan diri ?”. Namun, bukankah mereka juga telah membuktikan kemampuan merubah kebiasaan 1800 ketika mengubah ‘nasi” menjadi ‘rasi” sebagai makanan pokoknya ?

 

Bibliography

Ajat, & Yana. (2021, Mei 22). Memahami Masyarakat Adat Cireundeu. (Y. Sundaya, Interviewer)

Bronto, S., & Hartono, U. (2006). Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah Cekungan Bandung dan Sekitarnya. Jurnal Geologi Indonesia, 9-18.

Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat. (2019, Juli 23). cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional. Retrieved from Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat: http://dbmtr.jabarprov.go.id/cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional/

Image, W. (Director). (2015). KASEPUHAN CIPTAGELAR [Motion Picture].

Jajat. (2021, Mei 22). Survey Cireundeu. (Y. Sundaya, Interviewer)

Kompas. (2011, Februari 21). Read. (P. Nugraha, Editor) Retrieved Juni 17, 2011, from Kompas.com: https://news.kompas.com/read/2011/02/21/20382467/leuwigajah.kami.takkan.lupa

Nandi. (2005). Kajian Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah dalam Konteks Tata-Ruang. Jurnal Geografi Gea.

Pemerintah Kota Cimahi. (2021, Juni 16). Artikel. Retrieved from Cimahi Kota: https://cimahikota.go.id/index.php/artikel/detail/1139-mengenal-kampung-adat-cireundeu

Pikiran Rakyat. (2017, Februari 21). Bandung Raya. (D. Yudiawan, Editor) Retrieved Juni 17, 2021, from Pikiran Rakyat: https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01274832/klipingpr-tragedi-longsor-sampah-di-tpa-leuwigajah-394179

Rahayu, M. I. (2012). Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah : Kajian Putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg. Jurnal Yudisial, 17-35.

Tietenberg, T., & Lewis, L. (2018). Environmental and Natural. New York: Taylor & Francis.

Wiki. (2021, Maret 12). Retrieved from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Waduk_Saguling

Wikipedia. (2021, Juni 8). Wiki. Retrieved from Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Urban_sprawl

Yusanto, Y., Sihabudin, A., & Hatra, H. (2014). Kasepuhan Cisungsang : Komunikasi Intra Budaya Komunitas Adat. Serang: Pustaka Getok Tular dan PT. Kemitraan Energi Industri.

Yuuki. (2021, Juni 18). Rumah Adat. Retrieved from Rumah Perumahan: https://rumah.iddev.website/2016/08/rumah-adat-cireundeu-dan-penjelasannya.html

Ucapan Terimakasih

Saya mengucapkan terimakasih kepada Nonoman Masyarakat Adat Cireundeu yang telah memberikan informasi, dan mengajak mengamati lingkungan sekitar, termasuk ke puncak Gunung Salam. Keramahan para nonoman membekas dalam hati dan ingatan Saya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Akang semuanya.
Kepada mahasiswa Saya, Gerry Cahya Mutaqin, terimakasih telah memberikan buku Kasepuhan Cisungsang. Buku ini membuka informasi kepada Saya untuk mengindeks kata kunci yang perlu dibuka.
Kepada mahasiswa Saya, Alfan, Faisal, Denis, dan Jimly, terimakasih telah ikut momotoran dan berdiskusi.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDE IBNU KHALDUN TENTANG KEUNTUNGAN DAN REZEKI

IDE IBN KHALDUN TENTANG KEUNTUNGAN DAN REZEKI Yuhka Sundaya Departemen Ekonomi Pembangunan Unisba Sekitar 7 abad yang lalu telah hadir cende...