Prolog
Rencana ‘momotoran’ di Kota Cimahi
bergeser jadi ‘berwisata’. Pasalnya, Faisal, alumni Ekonomi Pembangunan Unisba
2016, mengajak kita ke Masyarakat Adat Cireundeu. Mengingatkan pada rencana
kelas Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Tahun 2018, namun karena kondisi
tidak memungkinkan, saat itu, tidak terealisasi. “Kita” yang dimaksud adalah Saya,
Alfan yang saat ini masih bimbingan riset skripsi J, Faisal, Denis dan Jimly yang berdomisili di Bandung
dan Cimahi. Mereka satu angkatan. Seminggu sebelumnya, kecuali Jimly, teman-teman
ini ngaliwet di rumah Saya, dan
merencanakan ‘momotoran’, Sabtu 22 Mei 2021, ‘yaaa’, niatnya, menyegarkan pikiran
penat saat pandemi ‘lah’. Tapi Faisal malah mengajak berkunjung ke Masyarakat
Adat Cireundeu di daerah Leuwigajah.
Nama Masyarakat Adat Cireundeu ini,
sudah Saya dengar dan pelajari sedikit demi sedikit sejak 4 tahunan lalu. Saya
tertarik dengan hal itu. Kenapa ? Mereka tampak memelihara tatanan hidup yang
harmonis antara alam dan manusia. Mereka mempraktikannya dalam pola hidup
sehari-hari. Mereka sering diberikan label pemelihara local wisdom. Saya kurang setuju ‘sih’ dengan label itu. Pasalnya,
beberapa referensi menunjukkan bahwa ajaran dan amalannya berlaku global ‘ko’.
Terlalu gegabah jika fenomena suatu masyarakat diluar kebiasaan mayoritas
masyarakat saat ini disebut ‘kearifan lokal’, seolah itu tidak berlaku global
dan tidak ada potensi meng’global’. Padahal, banyak orang luar Indonesia yang
mempelajarinya. Artinya mereka telah menjadi perhatian masyarakat luar, tentu
dengan motivasi dan alasan tertentu. Karena itu, istilah ‘local’ tidak perlu dilabelkan
pada suatu masyarakat adat, untuk sekedar menyederhanakan atau memberi
identitas, yang berpotensi membuat perdebatan yang menutup keluasan dan
kelebaran ilmu dan pengetahuan.
Sumber : Google Earth, diakses tanggal 05 Juni 2021 Jam 21.00 Gambar 1. Rute Gerbang Tol Baros ke Masyarakat Adet Cireundeu |
Sumber : Google Earth. Diakses hari selasa, 15 Juni 2020, jam 08.59. Gambar 2. Kebun Pisang di Bekas Pembuangan Sampah Jalan Saptadaya (akses ke Cireundeu) |
Sumber : https://www.teras7.com/ini-tragedi-yang-jadi-asal-mula-peringatan-hari-peduli-sampah-nasional/ Gambar 3. Foto Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, Tahun 2005. |
Itulah pintasan informasi yang memikat keilmuan Saya terhadap Cireundeu. Saya harus segera menuliskan dan mengonduksikan beberapa temuan dan ungkapan-ungkapan ‘anekdotal’ pada lambung pengetahuan ekonomi yang masih dangkal ini. Temuan Saya dan kawan-kawan, meski baru meretas, diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan ecoliteracy. Ungkapan dari sudut pandang ilmu ekonomi Saya, perlu diakui, tidak dapat dihindarkan, karena, kesanalah nantinya akan berlabuh, entah memiliki manfaat disipliner ataukah praktis. Saya menyadari ada proses literari yang belum sempurna, oleh karena itu dari awal Saya harus meminta maaf apabila ada kesalahan tulis dan pemahaman, dan meminta untuk mengoreksinya pada kolom komentar. Terimakasih.
Masyarakat Adat Cireundeu dalam Kasepuhan di Provinsi Jawa Barat dan Banten : Pemelihara dan Perawat Gunung
Cireundeu tercatat sebagai salah satu
Kampung Adat di Provinsi Jawa Barat. Informasi ini dapat kita temukan pada
situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Screen shoot data Masyarakat adat disajikan pada Gambar 4.
Cireundeu adalah salah satu dari 10 ‘Wisata Kampung Adat’ yang ada di Provinsi
Jawa Barat.
Gambar 4. Data Masyarakat Adat di Provinsi Jawa Barat |
Untuk memperluas pengetahuan
masyarakat adat, untungnya, salah seorang mahasiswa Saya, “Gerry Cahya
Mutaqin”, memberikan satu buku yang menunjang kebutuhan pengetahuan Saya,
dikirim dari Cisungsang-Banten. Saya harus berterima kasih pada Gerry. Bukunya
berjudul “Kasepuhan Cisungsang”. Ditulis oleh Yusanto et al.,(2014). “Desa Adat
Cisungsang termasuk ke adalam Desa Kasepuhan Banten Kidul atau Kesatuan Adat
Banten Kidul”, tulis Yusanto et al.,(2014). Mengambil informasi dari Abah Usep,
Yusanto et al.,(2014) menuturkan bahwa “sejarah awal berdirinya Kasepuhan Adat
Banten Kidul dimulai dengan musyawarah para sesepuh pada zaman dahulu. Dari
musyawarah itu, tercipta lima turunan mandiri kasepuhan adat di seputar Banten
Selatan. Satu kasepuhan berada di daerah Bayah, sedangkan saudara serumpun tercipta
di daerah lainnya. Saudara serumpun itu dibagi menjadi dua istilah, yaitu
‘dulur awewe’ (saudara perempuan) dan ‘dulur lalaki’ (saudara lelaki). Saudara
perempuan Kasepuhan Banten Kidul adalah Cicarucub dan Citorek, sedangkan
Saudara Lelakinya adalah Cisungsang (tua), dan Ciptagelar. Kasepuhan Banten
Kidul mencakup beberapa Kasepuhan : Ciptagelar, Cisungsang, Cisitu, Cicarucub,
Citorek, dan Cibedug. Kasepuhan Ciptagelar sendiri mencakup dua Kasepuhan :
Sinaresmi dan Ciptamulya. Kasepuhan Ciptagelar masuk ke Provinsi Jawa Barat,
sedangkan Kasepuhan lainnya masuk ke Provinsi Banten. Pada Gambar 5, lokasi
Kasepuhan ini berada di dalam dan sekitar segitiga besar sebelah kiri.
Berbekal pengetahuan yang masih
dangkal itu, Saya memberanikan diri untuk bercakap-cakap dengan Nonoman
Cireundeu tentang Kasepuhan Banten Kidul. Ternyata, para Nonoman Cireundeu juga
mengetahui dan relates dengan
Kasepuhan Banten Kidul. Saya belum mendalami relatenya dalam konteks apa. Sementara, Saya menduga, relatenya karena ada ‘ajaran’ atau
‘nilai hidup’ atau ‘cara pandang’ yang sama mengenai ‘kehidupan’ dan ‘kesemestaan’.
Saya simpan saja dulu pikiran demikian menjadi ‘pekerjaan rumah’ untuk
kesempatan menulis berikutnya.
Dalam dialog tersebut
“
Pada abad 18 sesepuh Cirendeu atau mamak Haji Ali mempunyai kesadaran untuk tidak terjajah, kemudian mencari
sebuah jawaban atau dukungan hingga ia mengembara dan pada abad 19 sampai di Cigugur Kuningan dan bertemu dengan Pangeran Madrais. Setelah bertemui
dengan Pangeran Madrais, Sesepuh Cirendeu merasa telah menemukan
jawaban dan bertemu dengan orang yang dicari.
Pada abad yang sama, keturunan Sesepuh
Cireundeu menimba ilmu ke Pangeran
Madrais hingga cucu perempuan sesepuhnya yang bernama Ibu Anom atau Ibu Enceu
menikah dengan Pangeran Madrais.
Kemudian sekitar tahun 1930, Pangeran
Madrais pernah mengunjungi Cireundeu.
Pangeran Sepuh pernah mendengar
keinginan warga Cireundeu yang
menimba ilmu kepadanya untuk dapat merdeka lahir batin atau dalam arti untuk
tidak mengkonsumsi nasi beras dari padi.
Hingga kini, masyarakat adat mengonsumsi singkong atau ketela yang
disebut dengan rasi sebagai makanan pokok secara turun temurun. Diawali pada
tahun 1918 ketika sawah-sawah yang mengering. Kemudian para leluhur menyarankan
dan berpesan untuk menanamkan ketela sebagai pengganti padi. Karena tanaman
ketela dapat ditanam pada musim kering maupun musim hujan dan melihat
ketersediaan lahan untuk menanam padi semakin sempit dan kecil, banyak
sawah-sawah yang telah berganti gedung.
Sejak 1924 masyarakat adat Cireundeu
mulai mengonsumsi ketela hingga saat ini. Masyarakat adat mengolah singkong
dengan cara digiling, diendapkan dan disaring menjadi aci atau sagu. Ampas dari
olahan sagu yang dikeringkan juga dibuat menjadi rasi atau beras singkong.
Tidak hanya itu, singkongpun diolah menjadi berbagai camilan seperti opak, egg roll, cireng, simping, bolu, bahkan
dendeng kulit singkong yang dikemas dan dijual sebagai oleh-oleh.
Dengan konsistensi masyarakat adat yang mengonsumsi rasi sebagai makanan
pokok, membuat masyarakat adat tidak pernah mengonsumsi beras. Hal ini bukan
berarti masyarakat adat mengharamkan beras dari padi, namun melestarikan dan
mengikuti pesan sesepuh. Rasa kenyang dari konsumsi ketela lebih lama
dibandingkan dengan padi, sehingga masyarakat adat cukup makan dua kali sehari.
Pada Gambar 5, Saya tampilkan sebagian peta dari Provinsi Jawa Barat dan Banten. Garis patah-patah (dashed) putih tipis sebelah kiri yang memotong segitiga garis putih besar adalah garis pemisah peta, sebelah kirinya Provinsi Banten, dan sebelah kanannya adalah Provinsi Jawa Barat. Segitiga kecil di tengah menunjukkan lokasi Cireundeu, dan segitiga sebelah kanan menunjukkan Kasepuhan Cigugur Kuningan.
Sumber : Google Earth. Diakses 15 Juni 2021 jam 21.00
Gambar 5. Lokasi Kasepuhan atau Masyarakat Adat di Provinsi Banten dan Jawa Barat.
Perkenankan Saya menyampaikan sebuah pemahaman. Kasepuhan tersebut tampak membangun peradaban di sekitar gunung. Segitiga besar sebelah kiri pada Gambar 5 adalah lokasi Gunung Halimun. Cireunde, di tengah, memelihara dan merawat Gunung Salam, dan Kasepuhan Cigugur Kuningan tampak merawat Gunung Ciremai. Pengetahuan yang Saya peroleh dari Nonoman Cireundeu, mereka memelihara dan merawat hutan larangan yang berada di Gunung Salam.
Untuk memahami, sepertinya kita
perlu tanya ke Teh Wiki dulu ‘deh’ (Wikipedia). Gunung adalah sebuah bentuk
tanah yang menonjol di atas wilayah sekitarnya. Gunung adalah bagian dari
permukaan bumi yang menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
sekitarnya. Sebuah gunung biasanya lebih tinggi dan curam dari sebuah bukit,
tetapi ada kesamaaan, dan penggunaan sering tergantung dari adat lokal.
Beberapa otoritas mendefinisikan gunung dengan puncak lebih dari besaran
tertentu; misalnya, Encyclopædia
Britannica membutuhkan ketinggian 2000 kaki (610 m) agar bisa didefinisikan
sebagai gunung. Sebuah gunung biasanya terbentuk dari gerakan tektonik lempeng, gerakan orogenik atau gerakan epeirogenik.
Orang awam dengan masalah gunung
seperti Saya, pengetahuannya terbatas perihal gunung. Gunung yang Saya pahami
berfungsi untuk : (1) sumber tumbuhan pangan, (2) menyimpan sumber daya air,
(3) tempat hidup beragam flora dan fauna sehingga keanekaragaman hayati
terjaga, dan (4) penyangga bumi. Namun dengan pengetahuan terbatas tersebut, Saya
memahami, bahwa masyarakat yang memelihara dan merawat gunung, berarti
memberikan banyak manfaat makro yang lintas batas, tidak hanya bagi
masyarakatnya, tapi bagi masyarakat lain. Gunung yang sehat akan menjadi sumber
pasokan air bersih, memberikan nutrisi kepada sungai tempat beragam spesies
ikan hidup, dan menjadi sumber makanan bagi manusia dan spesies lain. Lahan
tanaman pertanian terjamin pasokan airnya. Kita harus berterima kasih kepada
masyarakat adat yang memelihara dan merawat gunung. Orang kota yang sudah sibuk
dengan aktivitas rutinnya, tidak akan sanggup mencurahkan waktu, pikiran dan
tenaga untuk memelihara lingkungan yang vital bagi kehidupan manusia.
‘Doktrin’ masyarakat adat, dalam pemahaman
sementara Saya, adalah menjaga amanat dari leluhur, yaitu menjaga alam. Dalam
istilah saat ini mungkin disebut dengan ‘konservatif’. Tapi istilah terakhir
tidak cukup merepresentasikan sistem berpikir dan tatanan hidup aktualnya.
Faktanya, masyarakat adat beradaptasi juga dengan perkembangan teknologi.
Seperti contoh di Kasepuhan Ciptagelar. Mereka membangun pembangkit tenaga
listrik sendiri, punya turbin sendiri. Mereka bisa membuat stasiun televisi sendiri,
yang disebut dengan Cigar TV, singkatan dari Ciptagelar Television. Energi
listrik dari tenaga sinar mataharipun mereka gunakan. Ilmu astronomi atau
‘wuluku’ mereka terapkan untuk pengelolaan usaha taninya. Mereka terbuka dan
mengakses juga pendidikan formal yang berkembang saat ini. Artinya, tidak ada
cermin dari mereka untuk mengisolasi aktivitas sosial. Melainkan kekuatan nilai
hidup yang diterjemahkan ke dalam praktik atau amalan hidup sehari-hari
Ketika Saya jalan mendaki Gunung
Salam bersama 4 orang Nonoman Cireundeu, ada temuan anecdotal yang penting dari perspektif ilmu ekonomi sumber daya alam
dan lingkungan. Ketika jalan ke Puncak Gunung Salam dengan ‘telanjang kaki’,
karena aturannya demikian, tidak boleh ‘pake’ sandal atau sepatu, salah seorang
Nonoman menuturkan tentang cara pandang Masyarakat Adat Cireundeu :
Sepanjang jalan ke puncak, yaitu sekitar 868 meter, Saya berbincang untuk coba memahami artinya. Semoga tangkapan artinya benar. “Tilu sapamalu” itu adalah “Gusti anu ngasih, alam anu ngasah, manusa anu ngasuh”. Dalam bahasa Indonesia : “Tuhan yang memberikan, alam yang mengolah, dan manusia yang mengasuh”. Mencermati arti ini, tampak bahwa mereka memahami bahwa alam semesta ini adalah pemberian Tuhan atau Gusti. Alam yang mengolahnya. Misalnya, pisang menjadi masak dan siap dimakan, karena ada proses geologi tertentu yang menumbuhkan dari mulai bunga hingga menjadi bentuk pisang yang siap dikonsumsi. Kemudian, manusia perannya adalah mengasuh atau memelihara alam semesta. Memelihara ini bisa konek dengan konsep ketatanegaraan, dimulai dari ‘salira’ atau tingkat rumah tangga, ‘tata nagara’ atau pemerintahan, dan ‘tata buana’ atau kesemestaan.
“Dua
sakarupa” adalah posisi alam dan manusia itu serupa atau “sakarupa”, ada
kesamaan posisi alam dengan manusia. Alam membantu manusia, dan manusia
membantu alam. Pesan utamanya, manusia jangan merasa lebih superior dari alam.
Artinya harus memandang dan memperlakukan alam setara dengan kehidupan manusia.
Oleh karena itu, spesies non manusia tidak akan diartikan sebagai hama
pengganggu, melainkan punya hak yang sama atas alam yang diberikan Tuhan.
“Hiji eta-eta keneh” artinya “yang
satu adalah itu-itu juga”. Saya agar blur
menangkap penjelasan yang ketiga, tapi dengan ragu Saya artikan sebagai suatu
kesatuan antara Tuhan, alam dan manusia. Oleh karena itu, wajar ada korelasinya
dengan filosofi Kasepuhan Ciptagelar yang telah Saya coba pahami. Mereka tidak
memandang tikus, belalang, wereng serta serangga pemakan tanaman lain itu
sebagai ‘hama’. Mereka dipandang memiliki hak hidup atas tanah dan air, jadi
tidak ada alasan untuk dimatikan dengan obat-obatan atau pestisida. Cukup
berikan hak hidup atas mereka, maka tanaman yang kita perlihara tidak akan
mereka ganggu, karena binatang dan serangga tersebut seolah sudah tahu kapan
mereka mengambil manfaat dari alam yang sama-sama ditinggali manusia.
Lingkungan Seputar Cireundeu
Sumber : Google Earth. 16 Juni 2021 Jam 08.00 Gambar 7. Lingkungan Seputar Cireundeu |
Cireundeu memelihara dan merawat
Gunung Salam (1). Versi ‘aga’ zoomnya
ditampilkan pada Gambar 8. Terdapat dua gunung di area yang berdekatan dengan
kotak putih : Gunung Lagadar (2) dan Gunung ‘Hata’. Saya menggunakan nama
Gunung ‘Hata’, sesungguhnya masih ragu. Itu nama yang Saya dengar dari
mahasiswa Saya ketika kami ‘momotoran’ kesana, seminggu setelah mengunjungi
Cireundeu bersama Faisal, Denis dan Jimly. Di Google Earth juga tidak tampil nama jelas gunung tersebut. Dari
Cireundeu, yaitu Jalan Saptadaya, jika lurus terus, akan menemukan jalan
menurun, kemudian belok kanan, maka akan melalui pemandangan indah. Sebelah
kanan jalan terhampar pesawahan dan perkebunan pisang. Sebelah kirinya bukit
hijau yang dipenuhi tanaman perkebunan. Setelah sekitar 1 kilometer, kita akan
menemukan pemukiman desa. Kemudian tiba di jalan lurus aga berbatu, tapi kanan
dan kirinya adalah sawah dengan latar gunung. Setelah itu, kami, masuk ke area
Gunung Hatta. Di belakang Gunung Hata ada pemukiman desa dan terhampar lahan
pertanian holtikultura tepat di bibir Sungai Citarum. Lewat dari jalan setapak
(warna orange pada Gambar 8), kami menyaksikan di sisi kiri sebuah sungai kecil
mengalir deras yang tercemar. Sisi kanannya lahan holtikultura dan terlihat
juga bentangan Sungai Citarum yang gagah. Sekitar 1 kilometer, kami memasuki
suasana hutan kemudian pemukiman warga Desa Cikuya.
Setelah momotoran ini, kami
menyaksikan perbedaan kualitas gunung. Gunung Salam itu sangat lebat dengan
pohon besar, dan sepanjang jalan setapak menunju puncak, sebelah kanan,
terdapat aliran sugai kecil dari mata airnya di atas. Berbagai jenis tumbuhan
hutan masih banyak. Bahkan ada spesies kucing hutan yang disebut ‘meong congkok’
dan sarang burung elang.
Sumber : Google Earth. Diakses pada 16 Juni 2021 jam 08.30 Gambar 8. Gunung Salam, Gunung Lagadar dan Gunung ‘Hata’. |
Sementara itu, Gunung Lagadar dan Hata, pada Gambar 8, terlihat ada aktivitas pertambangan, yaitu pertambangan batu andesit. Batu andesit digunakan untuk menunjang sektor konstruksi atau bangunan. Tentu kondisi fisik dua gunung ini berbeda dengan Gunung Salam, karena ada aktivitas pertambangan. Kekhawatiran memang muncul ketika kita ‘momotoran’. Khawatir terjadi longsor di area tersebut, mengingat di kaki gunungnya merentang pemukiman warga. Longsor adalah bentuk eksternalitas negatif dari kegiatan pertambangan mineral jenis batuan. Jalanan seputar dua gunung tersebut terasa gersang dan berdebu. Bahkan di hari terpisah, Saya bersama dua anak Saya, berkeliling Gunung Lagadar, jalannya licin dan becek, karena digunakan oleh kendaraan truk besar pengangkut batu. Sepintas, terlihat bahwa gunung tersebut telah dikelola oleh perusahaan swasta. Mungkin diberikan hak pengelolaan sepertinya. |
Kata Teh Wiki (Wikipedia), Waduk
Saguling membendung aliran air dari Sungai Citarum. Pembangunan Waduk Saguling
berawal dari gagasan seorang insinyur berkebangsaan Belanda, Prof. Ir. W.J. van
Blommestein untuk mengintegrasikan seluruh pengairan di Jawa Barat. Ia mulai
mengumpulkan data-data pendukung di aliran Sungai Citarum pada dekade 1920-an.
Hingga suatu ketika pada tahun 1948 muncul makalahnya tentang rencana
pembangunan Waduk di aliran Sungai Citarum. Pembangunan Waduk Saguling dimulai
dengan konstruksi bendungan di Desa Saguling, Kecamatan Saguling pada tahun
1980-1986. Konsultan desain bendungannya dari New JEC (Jepang) serta PT. Indra
Karya sedangkan kontraktor pembangunannya oleh Dummer Travaux Publics (Prancis)
dan PT. Raya Contractor. Biaya pembangunan waduk ini menghabiskan dana 662 968 000
Dollar AS termasuk biaya pembebasan lahan di 49 desa yang didominasi lahan
pertanian.
Semula, Waduk Saguling direncanakan
hanya untuk keperluan menghasilkan tenaga listrik. Pada tahap pertama
pembangkit tenaga listrik yang dipasang berkapasitas 700 mega watt (MW), tetapi
bila di kemudian hari ada peningkatan kebutuhan listrik pembangkit dapat
ditingkatkan hingga mencapai 1400 MW. Badan yang bertanggungjawab dalam pembangunannya adalah Proyek
Induk Pembangkit Hidro (PIKITDRO) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN),
Depatemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia. Selanjutnya, dengan
mempertimbangkan permasalahan lingkungan di daerah itu, Saguling ditata ulang
sebagai bendungan multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan lain seperti
perikanan, agri-akuakultur, pariwisata, dan lain-lain.
Sekarang, waduk ini juga digunakan
untuk kebutuhan lokal seperti mandi, mencuci, bahkan untuk membuang kotoran.
Hal ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang Waduk
Cirata dan Waduk Jatiluhur yang sudah dibangun lebih dahulu. Hal tersebut
terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah semua
kotoran "disaring" untuk pertama kali sebelum kemudian disaring
kembali oleh Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur. Sisa usia Waduk
Saguling diperkirakan tinggal 27 tahun apabila penanganan pencemaran air dan
sedimentasi Sungai Citarum tidak dilakukan secara komprehensif. Seharusnya,
usia Waduk Saguling minimal masih 31 tahun lagi. Laju sedimentasi di Waduk
Saguling mencapai 4,2 juta meter kubik per tahun. Selain itu kandungan bahan
kimia berbahaya dalam air waduk akibat pencemaran limbah rumah tangga dan
pabrik di daerah aliran Citarum rentan memicu korosi alat pembangkit listrik.
Keterangan ini Saya peroleh juga ketika Tahun 2016 bersama mahasiswa Ekonomi
Sumber Daya Alam dan Lingkungan studi lapangan ke Indonesia Power yang
mengelola energi listrik untuk pasokan Jawa-Bali.
Sumber : Dokumentasi mahasiswa ESDAL Tahun 2016. Gambar 9. Studi Mahasiswa Ekonomi Sumber Daya Alam Unisba ke Indonesia Power, 2016 |
Seperti telah kita amati pada Gambar
7, terlihat bahwa Waduk Saguling luas ‘ya’. Akses ke Waduk Saguling juga bisa
via Kota Baru Parahyangan Padalarang. Kita tinggal lurus terus, melewati
jembatan sebelum IKEA, kemudian kita akan menemukan exit perumahan, namanya
Kampung Cikondang. Bersama keluarga, jalan – jalan, dan mengambil gambar budi
daya ikan apung, yaitu dengan menggunakan keramba kayu, sebagaimana bisa
dilihat pada video berikut :
Setelah Saya pelajari lagi di rumah, perjalanan kami ini rupanya menyusuri Cekungan Bandung Bagian Barat. Tiga gunung yang Saya ceritakan sebelumnya berada di Cekungan Bandung (Bandung Basin) Bagian Barat. Pada Gambar 10, “Cekungan Bandung sendiri dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian timur, tengah, dan barat. Cekungan Bandung bagian timur dimulai dari dataran Nagreg sampai dengan Cicalengka; bagian tengah membentang dari Cicalengka hingga Cimahi – kompleks perbukitan Gunung Lagadar, dan cekungan bagian barat terletak di antara Cimahi – Batujajar hingga Cililin dan Waduk Saguling”, tutur Bronto (2006).
Sumber : http://westjavawater.blogspot.com/2005/05/citarum-river-polluted.html. Diakses 17 Juni 2021 Jam 15.00 Gambar 10. Peta Cekungan Bandung |
Pemikiran hasil ‘momotoran’ dan dokumentasi lama ini memberikan pengetahuan empiris sebagai
berikut :
4. Keberadaan Gunung Salam yang lestari
menjadi penyangga bagi kegiatan usaha tani padi dan perkebunan dan mencegah tekanan
erosi kepada Sungai Citarum.
5. Pencemaran dan sedimentasi terhadap Sungai
Citarum menimbulkan eksternalitas negatif berupa terganggunya turbin pembangkit
listrik dan budidaya ikan di sepanjang sungai dan di area Waduk Saguling.
Cireundeu dalam Rezim TPA
Dahulu, sebelum masuk ke pemukiman
Masyarakat Adat Cireundeu, sebagaimana telah diceritakan pada Gambar 2,
terdapat tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Sejarahnya panjang. “TPA ini
sejak dibuka Tahun 1986, menerapkan sistem open
dumping atau penimbungan sampah secara terbuka pada lahan terbuka sehingga menyerupai
gunungan sampah dengan total area seluas 25 hektar. Pada awalnya perencanaan
pembangunan lokasi TPA ini hanya berdasarkan pada potensi fisik saja, yaitu
memanfaatkan kemiringan lereng yang diapit oleh dua buah gunung yaitu Gunung
Aki dan Gunung Leutik tanpa memperhitungkan akibat yang akan timbul dikemudian
hari yang justru dapat merugikan kondisi penduduk dan lingkungan sekitar”,
tutur Nandi (2005).
Pada Tahun 2005, TPA tersebut
longsor. Pikiran Rakyat masih menyimpan kronologinya dalam bentuk digital dari
hari pertama hingga ketiga kejadian longsor :
Senin 21 Februari 2005
o
Hujan
mengguyur selama dua hari berturut-turut sebelum kejadian.
o
Hujan
lebat terjadi sejak Minggu 20 Februari 2005 petang hingga tengah malam.
o
Timbunan
sampah di TPA Leuwigajah longsor sekitar pukul 2.00 WIB, saat warga tertidur
lelap. Tinggi gunungan sampah mencapai 50-70 meter.
o
Longsor
menimpa puluhan rumah di dua wilayah, Kabupaten Bandung (sekarang masuk wilayah
Kabupaten Bandung Barat) dan Kota Cimahi. Persisnya lokasi yang tertimbun
sampah berada di Kampung Cilimus dan Kampung Gunung Aki, Desa Batujajar Timur,
Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung; serta Kampung Pojok, Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
o Permukiman yang terkena
longsoran sampah terseret hingga sekitar 1 kilometer jauhnya.
o
Dugaan
awal, 141 jiwa meninggal.
o
Hingga
Senin malam, baru dtemukan 29 jenazah.
o
Gubernur
Jabar Danny Setiawan: Penimbunan sampah dari wilayah Bandung raya ke TPA
Leuwigajah dihentikan.
o
Data
UPTD Kebersihan Kota Cimahi: Luas TPA Leuwigajah 25,1 hektare; digunakan sejak
1987; sampah yang masuk setiap hari sekitar 3.800 m3; Sistem pengelolaan sampah
open dumping atau buang lalu timbun.
Selasa 22 Februari 2005
o
Jumlah
jenazah yang ditemukan sebanyak 27 orang. Diperkirakan jumlah korban tewas
mencapai 64 orang.
o
Korban
yang ditemukan disemayamkan di Masjid Al-Hidayah.
o
Proses
evakuasi jenazah terganjal medan yang sulit.
o
Warga
yang selamat diungsikan di empat ruang kelas di SDN 2 Batujajar. Para siswa di
SD itu diliburkan.
o
Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Alwi Shihab dan Menteri Sosial
(Mensos) Bachtiar Chamsah berkunjung ke lokasi kejadian.
o
Polda
Jabar melakukan penyelidikan atas kejadian luar biasa itu.
o
Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung, KH Yayat Ruhiyat Sirodj
mengimbau dan mengajak seluruh umat Islam untuk melakukan doa bersama.
o
Warga
Kampung Cilimus, Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung
yang rumahnya tertimpa longsoran sampah akan menuntut pengelola TPA Leuwigajah
ke pengadilan.
Rabu 23 Februari 2005
o
Data
korban yang ditemukan direvisi menjadi 54 orang, tapi 95 orang masih dinyatakan
hilang, 204 orang warga di 3 kampung itu selamat.
o
Sejumlah
pejabat terkait diperiksa Polda Jabar setelah kejadian itu.
o
Solihin
GP: Tragedi TPA Leuwigajah bukti kelalaian pihak berwenang.
o
Cipatat
di Kabupaten Bandung (sekarang Kabupaten Babndung Barat) dan Cijeruk (di
Kabupaten Sumedang) akan ditunjuk sebagai pengganti TPA Leuwigajah untuk TPA.
o
Mensos
minta rumah para korban longsor direlokasi ke tempat yang aman.
o
Bupati
Bandung Obar Sobarna menunjuk Dandim 0609 Letkol TNI AD Ahmad Saefuddin sebagai
ketua koordinator pelaksana lapangan (korlap) penanganan bencana longsor TPA
Leuwigajah.
(Dewanggie Eka Saputra)***
Pada saat Saya dan kawan-kawan mahasiswa berkunjung ke Cireundeu, seakan tersimpulkan bahwa penyebabnya adalah pertimbangan yang “kurang masagi” ketika menetapkan Leuwigajah sebagai TPA pada Tahun 1986. Kang Yana, salah satu nonoman Cireundeu, bertutur “seharusnya, pemerintah waktu itu tidak hanya mempertimbangkan aspek fisik yang cocok untuk pembuangan sampah, melainkan dampak sosial, budaya, ekonomi, ekologi, dan upaya pemulihan lingkungan”. Saya sangat apresiatif terhadap pemikiran Kang Yana. “Masagi”, diartikan harfiah dalam Bahasa Indonesia adalah “mengotak”, artinya, penetapan 25 hektar lahan Leuwigajah untuk TPA tidak mempertimbangkan banyak sendi atau aspek kehidupan. “Jadinya, ya, kita selama 20 tahun masih memperbaiki dampak dari TPA ini”, tutur Kang Yana dengan logat khas Sunda.
Meretas cerita paska longsor, masyarakat menggugat Kepala Daerah saat itu. “Gugatan tersebut diajukan pada tanggal 28 April 2005. Pihak penggugat adalah warga korban longsor TPA Leuwigajah sedangkan tergugat adalah Gubernur Jawa Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. Tiga lokasi yang diajukan penggugat (warga), yaitu TPA yang berada di Kp. Cireundeu RT 05/RW 10 Kel. Leuwigajah, Cimahi Selatan, TPA Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur, Kec. Batujajar, dan TPA Leuwigajah, yang kini dijadikan kuburan massal. Besaran nilai gugatan untuk kerugian materiil mencapai Rp18.6 miliar dan Rp 40 triliun untuk kerugian immateriil. Karenanya, jumlah ganti rugi yang diminta sebesar Rp 41 triliun. Jumlah itu harus dibayar secara tunai, sekaligus, dan seketika saat putusan dibacakan. Seandainya terlambat, pihak tergugat harus membayar uang paksa (dwangsom) sekira Rp 1 000 000 per hari” tulis Rahayu (2012). Pada buku Tietenberg dan Lewis (2018) mengingatkan kita pada pembelajaran tentang valuasi lingkungan. Mulanya dari masalah tumpahnya minyak mentah oleh Exxon Valdez, yang kemudian melibatkan urusan hukum dan pionir teknik bagaimana “menguangkan” atau monetizing kerusakan lingkungan yang diperlukan untuk masalah ganti rugi dampak ekologi dari tumpahan minyak mentah itu.
Rahayu (2012) mengangkat masalah
keadilan ekologis dari bencana sampah TPA Leuwigajah tersebut. “Konsep ecoliteracy ini sebenarnya perlu ada
dalam pandangan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan kasus
lingkungan…ecoliteracy bisa diartikan
sebagai situasi melek huruf, paham, atau memiliki pengertian terhadap
bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di planet bumi”,
tutur Rahayu (2012). Pandangan keadilan tentu berubah, dari antroposentrik ke
biosentrisme, yang menuntut agar komunitas biotis dan ekologis diperlakukan juga
sebagai komunitas moral.
Gagasan Rahayu (2012) tepat sekali.
Mengingat, sejak bencana sampah 2005, Masyarakat Adat Cireundeu berupaya keras
untuk reboisasi kawasan TPA dan sekitarnya. Mereka menanam bambu, dan
tanaman-tanaman keras lainnya. Ini menunjukkan bahwa apa yang disebut dengan eoliteracy telah menjadi pikiran dan
perilaku hidup mereka. Jadi, hingga sekarangpun, mereka masih melakukan
‘penghijauan’, dan tampaknya belum maksimal. Apa artinya ? Bencana longsor
sampah 20 tahun silam menyisakan upaya yang mahal untuk merecovery fungsi ekologis. Bahkan, bukan hanya itu, melainkan recovery budaya masyarakat, dan perubahan
secara mendasar pada peradaban Masyarakat Adat Cireundeu.
Arsitektur bangunan Masyarakat Adat
Cireundeu berubah dari bambu menjadi semen. “Terpaksa kami mengubah rumah
menjadi bertembok”, turur Kang Yana. Jika tidak berubah, bau dari tumpukkan
sampah di TPA sangat menyengat, masuk ke dalam rongga dinding dari bambu.
“Kalau kita mau pergi ke daerah Cimahi ‘nih’, melewati TPA, baunya nempel di
baju” tegas Kang Yana sambal tersenyum. “Bahkan pohon peuteuy pun mati”,
tegasnya lagi. Pohon peuteuy dengan kata lain adalah ‘pete’ yang menjadi bahan
makanan seperti lalaban, adalah pohon besar. Komunitas lalat nempel pada pohon
pete dari bagian bawah hingga atas, sehingga ‘mungkin’ si pohon ini tidak bisa
bernafas karena tertutup lalat, dan akhirnya mati. Tanaman di sekitar rumah
pun, menjadi rumah bagi komunitas lalat, dan senantiasa ikut menikmati makan
pada piring makanan setiap orang, saban hari.
Kata Yuuki (2020), “Berbicara
tentang desain bentuk rumah adat di Cireundeu, ada satu hal yang paling kental
dan wajib ada pada desain bentuk rumah adat Cireundeu, yaitu setiap rumah di
kampung Cireundeu ini harus memiliki pintu samping yang menghadap ke arah timur,
hal ini dikarenakan untuk memaksimalkan cahaya matahari di pagi hari untuk
masuk ke dalam rumah. Desain Bentuk rumah adat di Cireundeu tidak dibatasi oleh
hal-hal tertentu, rata-rata rumah di kampung Cireundeu ini sudah berdinding
batu bata (tembok), menggunakan genteng sebagai penutup atapnya, dan jendela
berkaca. Namun ada salah satu bangunan adat yang kelihatannya cukup tradisional
di kampung Cireundeu ini, yaitu bangunan yang disebut Bale Saresehan, bangunan
ini merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat berkumpul dan
bermusyawarah. Bangunan ini menerapkan arsitektur campuran antara tradisional
dan modern. Desain Bentuk Rumah Adat di Cireundeu ini seperti bentuk balai
pertemuan pada umumnya, yang berbeda adalah bagian di dalamnya dihiasi dengan
empat helai kain yang berbeda warna. Keempat warna ini memiliki filosofi yang
menggambarkan unsur-unsur Bumi, yaitu, Merah berarti api, Hitam berarti bumi,
kuning berarti angin dan putih berarti air.
Perilaku masyarakatpun berubah
setelah Leuwigajah menjadi TPA pada Tahun 1986. Para nonoman menuturkan bahwa
ketika itu, sampah itu menjadi sumber uang. Sampah besi, aluminium, plastik,
obat bekas, dan makanan kemasan yang kadaluarsa, menjadi komoditi yang dapat
dijual kembali. Banyak migrasi masuk ke Leuwigajah, dan mengais rezeki dari bisnis
sampah. Pemulung berdatangan. Premanisme dan cukong-cukong bermunculan.
Perjudian menjadi aktivitas sehari-hari di area TPA. Setelah TPA ditutup, bekas
perilaku ini masih membudaya, terutama pada generasi muda. Tentu saja ada
perjuangan untuk mengembalikan kesadaran generasi tersebut agar lebih
‘beradab’. Perjuangan itu adalah ongkos ajaran dan ideologi yang sangat mahal.
Sekarang, bekas TPA Leuwigajah telah
hijau kembali. Manfaat bagi masyarakat Kota Cimahi, khususnya di Jalan Kerkof
semakin nyata. Gunung Salam dan bekas TPA Leuwigajah dapat kembali
menghembuskan oksigen dan menjadi tempat penyimpanan air (water catchment area). Kekuatan fungsi ekologinya sudah jauh lebih
meningkat dari 20 Tahun silam. Dan, kita yang tinggal di perkotaan, yang
sehari-hari mengurusi kepentingan keluarga masing-masing, pergi pagi pulang
sore, harus berterimakasih atas keberadaan dan aksi Masyarakat Adat Cireundeu
yang telah menghijaukan kembali bekas TPA Leuwigajah. Tanpa terlihat. Tanpa
laporan tahunan. Tanpa ribut atas kompensasi aksi. Akhirnya, kita hanya bisa
melihat terjemah dari “Tilu Sapamalu, Dua Sakarupa, Hiji Eta-Eta Keneh”.
Kekuatan ideologi inilah yang tersembunyi dibalik hijaunya kembali bekas bencana
longsor.
Dari tulisan Rahayu (2012) ‘lah’, Saya
akhirnya menemukan literatur ‘baru tapi
sudah lama. ‘Kuper’ juga Saya ya ? he he kurang pergaulan akademik. Saya harus
membaca buku-bukunya Fritjop Capra. Salah satu bukunya yang direncanakan untuk dibaca
adalah “The Hidden Connections :
Integrating The Biological, Cognitive, and Social Dimensions of Life Into A
Science of Sustainability”. “Hubungan Tersembunyi”, weeeiii, keren nih.
Buku itu dipublish Tahun 2002. Semoga menambah dan memperkuat ecoliterasi bagi para pembacanya.
Gambar 11. Sampul Depan Buku Fritjop Capra |
Ketahanan Pangan dan Mental Masyarakat Adat Cireundeu
Gambar 12. Slogan di Bale Cireundeu |
Perubahan makanan pokok ini tidak
mudah saat itu. Singkong tidak dimakan dalam kondisi mentah, atau dibakar atau
dikukus, melainkan diolah menjadi mirip beras. Ada inovasi teknologi atau
manufakturisasi pada Tahun 1924. Masyarakat tidak begitu saja langsung memakan
rasi. Mereka beradaptasi, bahkan diceritakan oleh para nonoman, saat itu ada
yang keracunan. Entah jenis apa singkong yang mereka makan. Bisa dibayangkan,
yang tadinya berabad-abad lamanya makan nasi, kemudian berubah menjadi rasi
berbahan singkong. Kemudian, salah satu tokoh perempuan saat itu membuat tarian
dengan tujuan, yang dalam logika Saya adalah untuk mengadaptasikan
‘pencernaan’. Entah bagaimana cara memahaminya, cara tersebut berhasil, dan
menjadi ritual rutin hingga kini. Apakah ini salah satu yang disebut ‘hidden connection’ oleh Capra ?
Perubahan makanan pokok, tidak hanya
membangun teknologi pangan baru, lebih dari itu berpengaruh pada budaya
pertaniannya. Lahan tanaman singkong kemudian disiapkan. Diatur pola tanam dan
panennya. Singkong dipanen satu tahun sekali. Dipanen setelah berumur 1 tahun.
Jadi, dari sepetak lahan, kemudian diatur rotasinya. Pada satu petak lahan, ada
petakan yang siap panen, ada petakan yang beberapa bulan lagi panen, dan ada
petakan yang masih baru tumbuh. Siklusnya selalu begitu, sedemikian hingga menjamin
kebutuhan Masyarakat Adat Cireundeu. Rotasi demikian, meski tidak sama sifat
tanamannya, mengingatkan kita pada metode forestry
economics yang berkelanjutan pada buku Tietenberg dan Lewis (2018). Metode
rotasi ini, terkonsepsi sebelum berkembang ilmu pengetahuan yang kita pelajari
sekarang. Artinya, Masyarakat Adat Cireundeu memiliki sistem keilmuan yang
merumpun pada istilah baru yang kita pelajari saat ini, tapi dengan makna yang
sama.
Makan singkong, tapi diejek. Dulu,
ketika para nonoman masih sekolah dasar, mereka mengalami ejekan di sekolahnya.
Ejekan itu membekas hingga kini. Mereka seringkali disebut ‘kaki bagong’ di
sekolah. Sungguh menyakitkan ‘ya’. Bagong adalah sejenis binatang yang kita
sebut sekarang adalah babi hutan, karena babi hutan memakan singkong juga.
Temuan anekdotal ini memberikan informasi bahwa rasisme saat itu demikian kuat.
Apakah hari ini masih tersisa rasisme itu ? Jadi, harus dipahami juga, selain
kita berterimakasih atas terpeliharanya Gunung Salam oleh Masyarakat Cireundeu,
bahwa tekanan masyarakatnya tidak hanya datang ketika era penjajahan, melainkan
dari dalam diri bangsa kita sendiri.
Pemerintah Daerah tampak bersemangat
sekali untuk mempromosikan keunikan Cireundeu. Hingga ada permintaan untuk
meningkatkan produksi ‘rasi’ agar menjadi produk unggulan dan khasanan lokasi
wisata. Tapi, Masyarakat Adat Cireundeu tidak bisa memenuhinya. Alasan mereka
rasional, yaitu mereka khawatir sumber daya lahan singkongya tidak akan cukup
untuk memenuhi kontinuitas produksi dalam rangka memenuhi permintaan yang
mereka prediksi akan melonjak.
Sistem Ilmu Pengetahuan Masyarakat Cireundeu
Dalam perjalanan turun dari puncak
Gunung Salam ke pemukiman Cireundeu, Saya dengan rasa ragu bertanya kepada
nonoman. ‘Kok’ bisa punya ilmu dan praktik hidup yang ‘keren’ menurut Saya.
Jadi, Saya harus bertanya, darimana mereka punya ilmu pengetahuan hidup ini ?.
“Ngaji diri”, jawab Kang Ajat salah seorang nonoman. ‘Nah, dimana kita bisa
baca naskah ‘ngaji diri’ itu Kang ? tanya Saya lebih lanjut. “He he he”,
jawabnya. “Gimana tuh Kang” tanyaku keheranan. “Ngaji diri itu tidak
dituliskan, tetapi harus belajar langsung” jawab Kang Ajat. Dengan membaca
gestur tubuh, dan suasana kebatinan dalam perjalanan turun gunung, dengan
menginjak tanah keras, lumpur dan batu pada jalan setapak, Saya mengunyah
informasi bahwa ilmu pengetahuan Masyarakat Adat Cireundeu berbeda dengan Saya,
dan mungkin kebanyakan ‘orang kota’. Kita yang terbiasa melembagakan ilmu
pengetahuan itu dengan membaca buku, mengujinya dan akhirnya memperluas dan
memperdalam pengetahuan tentang sesuatu, terkadang mengendap terlalu lama pada
apa yang disebut dengan ‘koginisi’. Untuk menjadi praktik, delaynya panjang kepada tahap praktis, kadang harus ‘lebay’
melewati fase kebijakan dulu, he he. Kadang sudah cukup pada posisi sebagai
pembuka solusi dalam bentuk gagasan. Mungkin.
Kenapa tidak ada naskah ‘ngaji diri’
? Saya teringat dengan pelajaran Sundanologinya Budi Dalton. Temen-temen bisa
nonton pada channel youtubenya : https://www.youtube.com/watch?v=3hx-NBBMlqI.
Bahwa sumber ilmu pengetahuan itu bisa dari huruf dan aksara. Hurup adalam
kesemestaan. Tumbuhan, binatang, bintang, air, batu, yaitu berupa kebendaan dan
‘yang hidup’, adalah huruf yang menjadi bahan bacaan juga. Aksara adalah
symbol-simbol komunikasi tertulis, seperti halnya abjad Latin (a, b, c), Arab (ا, ب, ت), Jawa, China, Jepang, dan lain-lain, yang setiap bangsa juga memiliki
produk peradaban ini. Kita sudah sangat terbiasa dengan bacaan aksara demikian.
Contoh sederhana perbedaan hurup dan aksara adalah ‘lalat’ misalnya. ‘Lalat’
adalah hurup. Hurup yang memberikan arti bahwa ‘tempat itu’ kotor, dan supaya
lalat tidak ‘nongkrong’ ditempat itu, solusinya adalah membersihkan tempat itu,
bukan membunuh ‘lalat’nya. ‘Ngaji diri’
sumbernya dari seorang guru yang diturukan dengan lisan dan contoh terapan.
Tidak ada pemisahan pemahaman pada ruang kognisi dan praktik. ‘Ngaji diri’
adalah ilmu pengetahuan yang harus dipahami dan sekaligus dipraktikan. Jadi,
sementara ini, Saya memahaminya bahwa konsep sistem ilmu pengetahuannya harus
langsung menjadi kepribadian. Kepribadian sudah merangkum pemahaman dan
perilaku hidup. Pusat dan orientasi ilmu pengetahuannya adalah pada cara kerja
kesemestaan dimana manusia tunduk pada regulasinya. Ini mengingatkan Saya juga
pada pembelajaran Sejarah Pemikiran Ekonomi, yaitu ketika kita membahas
pemahman Physiocrats (physis = alam, cratos = kekuasaan), sebuah mazhab
dimana keteraturan ekonomi itu mengikuti hukum alam. Ringkasnya demikian.
“Keren, keren, keren”, tidak henti-hentinya hati Saya mengucapkan itu. ‘Keren’,
karena ilmu pengetahuannya tidak hanya bersumber dari apa yang terbaca melalui
aksara, melainkan melalui hurup. Dalam masyarakat Islam, hurup itu mungkin
sepadan dengan apa yang disebut ayat kauliyat, dan apa yang kita sebut sekarang
dengan istilah ‘kuliah’. Jadi aktivitas ‘kuliah’ itu mungkin adalah upaya untuk
meningkatkan sensor diri kita terhadap ucapan dan ungkapan alam semesta.
Mereka yang Tertarik dengan Cireundeu
Banyak orang yang tertarik dengan
Cireundeu. Saya memperoleh catatan kunjungan tahun 2019 sebelum pandemik. Jadi
bisa ‘ngeliat’ siapa saja yang dharmawisata, atau silturrahiim ke Cireundeu,
meminjam istilah dari Kang Budi Dalton ‘mah’. Pada Tabel 1, Saya sajikan
datanya.
Sumber : Kang Yana, Nonoman Cireundeu. Dikirim
via whatsapp pada hari 16 Juni 2021.
Tampak bahwa rentang tipe pengunjungnya sangat lebar. Dari siwa –siswi taman kanak-kanak hingga mahasiswa, dari umum hingga pemerintahan, dari lokal hingga asing, contohnya orang Korea. Sebetulnya tamu ‘umum’ itu mengandung tipe orang asing, tapi mereka tidak pernah menanyakan detail asal-usulnya. Kemungkinan dari negara Asia non Indonesia. Secara fisik aga mirip, tapi bahasanya memang asing kalau berbicara. Masyarakat Hidu dan Kristen pun turut tertarik dengan Cireundeu. Kelompok yang paling sering kesana adalah pelajar dan mahasiswa. Memang demikian, kalau kita search ‘Cireundeu’ di youtube, banyak channel yang menampilkan kehidupan Cireundeu sebagai bentuk tugas dari sekolah atau kampusnya. Cireundeu menjadi sumber ecoliteracy bagi masyarakat.
Epilog
‘Momotoran’ adalah istilah
sehari-hari yang menunjukkan kegiatan jalan-jalan dengan menggunakan kendaraan
roda dua. Bisa dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang. Ada sensasi
nikmat, dan lebih dari itu, mata dan pendengaran merekam apa yang terlihat dan terdengar.
‘Momotoran’ adalah sebuah hiburan sekaligus memperluas dan memperdalam
pengetahuan. Belum tentu menjadi ilmu, karena ada metode khusus untuk dimasak
menjadi ilmu. Tapi, ‘momotoran’ harus hati-hati, dan harus punya keahlian
mengendara dengan etis. Tidak boleh ‘ngejago’, dan toleran dengan jalan dan
orang lain. Pasal ini dilanggar, maka bisa terjadi kecelakaan tunggal atau
ganda atau triple atau ‘apalagi’.
Masyarakat Adat Cireundeu memberikan
banyak informasi yang mengusik ilmu pengetahuan Saya tentang ekonomi sumber
daya alam dan lingkungan. Ketika para ekonom disibukan mencari fakta-fakta
tentang keberlanjutan ekonomi dan lingkungan, ternyata 20 menit dari rumah Saya
ada praktik ecoliteracy yang telah
mapan dan teruji mengatasi masalah kegagalan pasar dan kegagalan perencanaan.
Bahkan di lingkungan Gunung Halimun, Kasepuhan Banten Kidul, menyimpan ilmu
hidup dan peradaban yang masih relevan untuk sains pembangunan berkelanjutan.
Hanya saja tidak tertulis melalui aksara, melainkan kita harus memahaminya
sebagai hurup atau ayat kauliyah. Saya, kadang suka kesal, ketika pengetahuan
demikian dikomunikasikan dengan teman, kemudian fast respons, “oh itu mah
kearifan lokal ya ?”, “oh itu mah budaya ya”. ‘Sensi’ jadinya untuk membongkar
segala sesuatu yang berarti bagi sains untuk kehidupan manusia. Lidah dan jari
menjadi freezy untuk menarasikan
hal-hal yang penting untuk diolah akal budi komunitas ‘akademik’.
Apa yang dapat diambil ? apakah
mengadaptasikan tata cara hidup masyarakat ‘kota’ dengan praktik ecoliteracy yang telah mapan seperti di
Cireundeu ? ataukah ada konsep lain ? Sepertinya kita perlu mengambil konsep
hidup dan peradabannya yang diadaptasikan dengan kenyataan hidup kita sekarang.
Meski dengan pertanyaan yang harus ditelaah “adakah celah-celah peradaban
‘kota’ sekarang untuk menyesuaikan diri ?”. Namun, bukankah mereka juga telah
membuktikan kemampuan merubah kebiasaan 1800 ketika mengubah ‘nasi”
menjadi ‘rasi” sebagai makanan pokoknya ?
Bibliography
Ajat, & Yana. (2021, Mei 22). Memahami
Masyarakat Adat Cireundeu. (Y. Sundaya, Interviewer)
Bronto, S., & Hartono, U. (2006). Potensi Sumber
Daya Geologi di Daerah Cekungan Bandung dan Sekitarnya. Jurnal Geologi
Indonesia, 9-18.
Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa
Barat. (2019, Juli 23). cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional.
Retrieved from Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat:
http://dbmtr.jabarprov.go.id/cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional/
Image, W. (Director). (2015). KASEPUHAN
CIPTAGELAR [Motion Picture].
Jajat. (2021, Mei 22). Survey Cireundeu. (Y.
Sundaya, Interviewer)
Kompas. (2011, Februari 21). Read. (P.
Nugraha, Editor) Retrieved Juni 17, 2011, from Kompas.com: https://news.kompas.com/read/2011/02/21/20382467/leuwigajah.kami.takkan.lupa
Nandi. (2005). Kajian Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Leuwigajah dalam Konteks Tata-Ruang. Jurnal Geografi Gea.
Pemerintah Kota Cimahi. (2021, Juni 16). Artikel.
Retrieved from Cimahi Kota: https://cimahikota.go.id/index.php/artikel/detail/1139-mengenal-kampung-adat-cireundeu
Pikiran Rakyat. (2017, Februari 21). Bandung Raya.
(D. Yudiawan, Editor) Retrieved Juni 17, 2021, from Pikiran Rakyat:
https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01274832/klipingpr-tragedi-longsor-sampah-di-tpa-leuwigajah-394179
Rahayu, M. I. (2012). Keadilan Ekologis Dalam
Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah : Kajian Putusan
Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg. Jurnal Yudisial, 17-35.
Tietenberg, T., & Lewis, L. (2018). Environmental
and Natural. New York: Taylor & Francis.
Wiki.
(2021, Maret 12). Retrieved from Wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/Waduk_Saguling
Wikipedia. (2021, Juni 8). Wiki. Retrieved
from Wikipedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Urban_sprawl
Yusanto, Y., Sihabudin, A., & Hatra, H. (2014). Kasepuhan
Cisungsang : Komunikasi Intra Budaya Komunitas Adat. Serang: Pustaka
Getok Tular dan PT. Kemitraan Energi Industri.
Yuuki. (2021, Juni 18). Rumah Adat. Retrieved
from Rumah Perumahan: https://rumah.iddev.website/2016/08/rumah-adat-cireundeu-dan-penjelasannya.html
Ucapan Terimakasih
[1]
https://humas.bandung.go.id/berita/tragedi-leuwigajah-kisah-kelam-bandung-lautan-sampah.
Diakses pada Hari Selasa, 15 Juni 2021, Jam 09.47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar