MENGAPA 1 + 1 = 2 ?
Yuhka Sundaya
Ekonomi Pembangunan Unisba
Kebanyakan orang, mungkin, termasuk anak-anak saya yang sekolah dasar kelas 2 dan 6, menjawab bahwa 1 + 1 = 2, “karena “aturan”nya begitu di sekolah” jawab mereka. Mereka “ngata-ngatain” ayahnya, menertawakan seolah pertanyaan bodoh. Sama halnya dengan jawaban ibu mereka, dan saya juga, tentunya, yang sama - sama mengalami tradisi pembelajaran matematika dari zaman sekolah dasar. Bahkan, salah satu teman saya, menjawab dengan ekspresi emosional. Mungkin menganggap pertanyaan itu tidak relevan, karena menganggap jawabannya sudah mapan. Bagi mereka yang sudah advance, mungkin akan menggunakan 3 aturan utama atau properti dalam komputasi, yaitu refleksif, simetri, dan transitif. Dimana 1 + 1 sama dengan 2 ditempuh dan dibuktikan dengan proses suksesif bilangan.
Komputasi, bagi manusia, digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ibu rumah tangga menggunakannya untuk mengalokasikan uang belanja, dan komposisi bumbu atau bahan bahan makanan dan kue di rumah. Petani memerlukan perhitungan berapa banyak bibit padi yang harus disediakan, berapa jarak antar bibitnya dalam sepetak lahan yang ia garap. Seorang anak kecil mempraktikkan komputasi untuk mengalokasikan uang jajannya, bahkan dalam mainan yang ia mainkan sendiri atau bersama teman-temannya. Komputasi sudah menjadi praktik dalam kehidupan manusia.
Namun, tatkala dikonsepsikan untuk digeneralisasi sebagai materi pembelajaran, terdapat realitas yang disederhanakan, dihomogenkan. Ini terjadi pada masalah komputasi seperti halnya 1 + 1 = 2. Jawaban tersebut benar dengan asumsi. Asumsi atau anggapan yang mentradisi adalah objek yang diperhitungkan bersifat homogen atau sejenis, memiliki rumpun, dan tidak bergerak atau mati. Misalnya, 1 pensil + 1 pensil = 2 pensil. Jenisnya objeknya sama, yaitu pensil. Kemudian, 1 pensil + 1 penghapus = 2 alat tulis. Bisa dijumlahkan, tapi satuannya berubah menjadi rumpun alat tulis. Contoh serupa, 1 ayam + 1 bebek = 2 unggas. Satuannya berubah menjadi rumpun binatang unggas, yang sifatnya sama - sama herbivora atau binatang pemakan tumbuhan. Aturan penjumlahan demikian berlaku untuk semua objek yang tidak bergerak, sehingga tidak bisa melakukan interaksi. Dalam bahasa orang Jawa Barat disebut dengan objek “cicing”.
Manakala, satuannya kita pertimbangkan serius, maka disana ada sifat dan jenis objek yang melawan asumsi penjumlahan. Untuk objek yang hidup, seperti tumbuhan-binatang-manusia, ada sifat predator yang tidak bisa dihindarkan dalam komputasi. Misalnya, 1 musang + 1 ayam = 1 musang. Dua objek yang mana musang memiliki sifat predator, dan ayam menjadi satu jenis makanannya. Dan tentu, kita tambahkan juga asumsinya, yaitu jika mereka berada dalam satu kandang dan satu waktu dalam upaya untuk menampilkan suatu realitas. Asumsi yang sama dapat kita terapkan pada objek hidup lain yang berinteraksi. Artinya, untuk objek yang hidup, aturan 1 + 1 = 2 mungkin berlaku atau tidak berlaku. Jika 1 musang mati + 1 ayam mati, maka sama dengan 2 binatang yang mati. Aturan penjumlahan homogen berlaku.
Aturan komputasi, oleh karena itu, lekat dengan asumsi. Komputasi menampilkan model yang di dalamnya ada potongan realitas. Namun, ketika asumsi tersebut ditanamkan pada pembelajaran konsepsional dalam waktu yang lama, tanpa dilonggarkan asumsinya menuju realitas, tidak pernah juga ada koreksi, maka konsep kebenarannya tidak bisa toleran terhadap “pertanyaan” yang dialamatkan pada eksistensinya.
Nyatanya, pertanyaan ini telah menjadi materi pembelajaran mathematical biology. Senior saya di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), dengan “gercep” memberikan beberapa buku itu melalui WhatsApp. Mathematical biology menjelaskan teori interaksi antar populasi makhluk “cicing” dan “nyaring”. Ada sifat predator yang dipertimbangkan dalam komputasinya dengan ekspresi logistik. Materi ini menjadi dasar untuk memahami kelestarian lingkungan, yang secara interdisipliner “dibingkai” dalam istilah pembangunan berkelanjutan yang populer saat ini.
Pembelajaran dari penelusuran jawaban “mengapa 1 + 1 = 2?”, setidaknya mencatat nilai kritisisme. Mengoreksi kembali asumsi dari suatu pernyataan akan memberikan manfaat besar bagi ilmu pengetahuan. Membawa kita pada jendela pengetahuan baru. Menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut, yang sesungguhnya untuk kembali mengindera realitas hidup sehari-hari. Dan, memberikan terapi pemikiran untuk membentuk kesabaran, dan toleransi terhadap segala ekspresi pertanyaan.
Semoga ada manfaatnya.
Komentar
Posting Komentar