PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF DAN ADAM SMITH


 PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF DAN ADAM SMITH

Yuhka Sundaya

Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung

1. Pendahuluan

Mencermati perkembangan ilmu ekonomi, dewasa ini cukup marak kiranya akan kemunculan literatur-literatur ekonomi dalam perspektif Islam. Hal ini membuktikan bahwa ekonomi dalam perspektif Islam memiliki daya tarik tersendiri, sehingga diwujudkan kembali semangatnya dalam karya-karya ilmiah. Kemunculannya didorong oleh beberapa alasan, seperti Muhammad (2000) mengemukakan bahwa teori-teori ekonomi yang saat ini berkembang tidak dapat mengatasi krisis ekonomi. Dalam kata pengantar buku Nazori (2003), Muhammad mengangkat dua faktor munculnya kembali Sistem Ekonomi Islam (SEI) dalam wacana ilmiah publik, pertama, perkembangan SEI tidak dapat dilepaskan dari ikatan kesejarahan perkembangan ummat Islam. Islam pernah mengalami masa kejayaan yang memiliki pengaruh yang besar ke negara Eropa, Cina, India bahkan Indonesia. Kejayaan itu berakhir, dimulai sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 1258 ke tangan Jengis Khan dan Ku Bilai Khan, dan kedua, kemunculan kembali SEI tidak lepas dari kepenatan orang menanti sebuah sistem alternatif, ketika mereka sudah tidak sabar melihat kegagalan-kegagalan sistem yang ada dan berlaku selama ini, seperti ; fasisme, sosialisme, komunisme, kapitalisme dan bahkan kombinasinya yang selama ini digambarkan dalam bentuk welfare state. Terdapat beberapa kelompok opini negatif yang dikutip dari Arif (1985) oleh Muhammad, a.l ;
1.      Ada yang berpendapat bahwa sistem ekonomi Islam sama saja dengan kapitalisme, dengan sedikit perbedaan yang tidak mendasar.
2.      Ada yang berpandangan bahwa ada perbedaan dan kekuarangan dalam SEI, dan kekurangan ini membuktikan bahwa ajaran Islam tidak dapat ditransformasikan dalam sebuah sistem ekonomi yang konsisten dengan fungsi dan strukturnya. Sistem kapitalisme (konvensional) merupakan sistem yang paling ilmiah dan sekaligus dapat berjalan baik.
3.      Ada yang berpendapat bahwa SEI tidak mempunyai dasar pijakan ilmiah. SEI merupakan refleksi sistem kepercayaan tertentu.
Sedangkan Abdullah Zakiy Al-Kaaf (2002) dalam pengantarnya mengemukakan sedikit alasan mengapa ekonomi dalam perspektif Islam harus diaplikasikan. Hal tersebut didorong oleh kelemahan-kelemahan dalamm sistem ekonomi kapitalisme dan komunisme. Dan Muhammad Saddam (2003) menulis bahwa terdapat senggang waktu yang tak terbahas dalam penulis buku ekonomi terkemuka-J.A. Schumpeter yang berjudul “Encyclopedia History of Economic”. Demikian pula bukunya Umer Chapra (2000) yang berjudul “The Future of Economics ; An Islamic Perspective[1] dalam pengantarnya mengatakan bahwa ekonomi konvensional telah gagal dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umum.
            Dalam kontek sejarah pengakuan kuat akan ekonomi Islam dan Ekonomi Islami dibuktikan dengan telah diaplikasikannya pada masa pemerintahan baginda Nabi Muhammad SAW dan pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
            Ekonomi konvensional yang dimaksud adalah para ekonom yang melahirkan teori-teori dari mazhab klasik, neo klasik, Keynesian, neo Keynes, Marxisme dan ekonom-ekonom lain yang membentangkan sistem liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan komunisme. Dengan demikian kelahiran ekonomi konvensional berkembang pesat dari karya-karya Adam Smith dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya yang kemudian dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya maupun penentang-penentangnya sampai dengan saat ini. Memang demikian pula adanya, ketika kita membuka literatur-literatur “Historical Economic Thought” pembahasan mengenai teori ekonomi biasanya berpangkal pada pandangan-pandangan moral filosof Yunani, Merchantilists, Physiocrats dan Smith. Pengalaman penulis hampir tidak menemukan sama sekali perkembangan ilmu ekonomi yang membongkar pemikir-pemikir atau fuqaha-fuqaha Islam yang membuat kitab muamalah adabiyah (salah satunya adalah hubungan manusia dengan manusia yang diikat oleh kepentingan materi) apalagi sejarah keemasan Islam dalam bidang pembangunan ekonomi masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW (Ekonomi Islam) dan Khulafaur Rasyidin.
            Oleh karena itu dalam makalah ini penulis tertarik untuk mendiskusikan pemikiran Abu Yusuf yang menulis kita Al-Kharaj dengan Adam Smith yang diakui sebagai “Father of Economic” dengan kitab monumentalnya yang berjudul “An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation” (Wealth of Nation). Dalam kajian ini penulis banyak terbantukan dengan tesis dan desertasi dari Nazori (2003) dan Sony Keraf (2000) yang telah dikemas dalam bentuk buku teks.

2. Ekonomi dan Iqtishad

            Istilah ekonomi dikemukakan oleh Aristoteles yang secara harfiah berarti aturan rumah tangga (“oikos” berarti rumah dan “nomos” berarti aturan). Dengan kata lain, ekonomi adalah aturan-aturan untuk menyelenggarakan kebutuhan hidup manusia dalam rumah tangga, baik rumah tangga terkecil, yakni individu maupun skala keluarga terbesar, yaitu negara. Ilmu ekonomi merupakan ilmu tentang memilih, karena setiap manusia didapkan pada masalah ekonomi, yaitu gap antara sifat kebutuhan manusia dengan sifat alat pemuas kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia bersidat tak terbatas (unlimited), sedangkan sifat alat pemuas kebutuhan adalah terbatas (limited). Berdasarkan pada pengertian inilah ilmu ekonomi berkembang.
            Dalam termonologi Islam, aturan-aturan tentang pergaulan dan hubungan manusia dalam kebutuhan hidupnya disebut dengan istilah “iqtishad”. Menurut  Abdullah Zaky Al Kaaf (2002;19) iqtishad ditakrifkan sebagai suatu cara untuk mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya. Iqtishad termasuk kedalam bentuk muamalah maddiyah, yaitu hubungan kebutuhan hidup yang dipertalikan oleh materi. Sesuatu diupayakan untuk hemat menunjukkan bahwa sesuatu (materi) itu bersifat terbatas, sehingga perlu adanya batasan-batasan dalam pemakaiannya, dan sesuatu (materi) itu harus digunakan secara cermat, menunjukkan arti bahwa materi itu harus tepat sasaran dalam memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Dengan demikian istilah “hemat” dan “cermat” berasosiasi dengan istilah “efisien” dan efektif. Demikian pula, kita dapat simpulkan bahwa istilah “ekonomi” berpadanan dengan “iqtishad”.
            Namun demikian terdapat perbedaan “ekonomi”  dengan “iqtishad” dalam makna pengertian masing-masing. Islam memandang bahwa iqtishad merupakan bagian dari muamalah, yaitu muamalah maddiyah. Dimana takrif dari muamalah maddiyah adalah hubungan antara manusia yang diikat oleh kebutuhan materi. Muamalah merupakan pengejawantahan dari habluminannaas atau hubungan antar manusia. Oleh karena itu habluminannaas syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga kegiatan iqtishad tidak terlepas dari rencana sosial manusia setelah menyelesaikan perkara ekonominya.

3. Al-Kharaj

Nazori (2003) dalam tesisnya menempatkan bahwa kitab Al-Kharaj yang ditulis Abu Yusuf tidak kalah penting dari ekonom-ekonom klasik, neo klasik dan keynesian. Kemudian rumusan masalah yang diajukannya a.l ;

  1. Apakah Islam memiliki prinsip-prinsip ekonomi tersendiri ?
  2. Apakah prinsip-prinsip tersebut pernah dipraktekan sejak munculnya Islam pada 14 abad silam ? atau prinsip-prinsip tersebut hanya sekedar teori usang atau legenda belaka ?
Menurut Nazori dalam bentangan sejarah tersebut nama Abu Yusuf yang menulis kita Al-Kharaj (1200 tahun lalu) yang didalamnya mengupas kajian dalam bidang public finance yang erat kaitannya dengan kebijakan fiskal. Abu Yusuf berbicara masalah pajak proporsional atas hasil pertanian dari tanah Kharaj, sedangkan dalam sektor pembelanjaan ia lebih menekankan akan pentingnya pembangunan infrastruktur yang diperlukan masyarakat, spt; irigasi, jembatan dlsb. Sepintas lalu, menunjukkan ahwa pemikiran Abu Yusuf menggunakan interpretasi al-Qur’an dan as-Sunnah yang dianalisis dengan metodologi qiyas, yang dinilai mampu untuk menemukan jawaban-jawaban rasional dan lebih agamis, etis, serta berkeadilan dan manusiawi dalam merespon beberapa problematika.

4. Sejarah Singkat Abu Yusuf dan Al-Kharaj

Abu Yusuf dilahirkan di Kufah yang masih keturunan Ansor. Abu  Yusuf (113 H) telah berjasa dalam merumuskan fungsi “pure practical reason” dalam kaitannya dengan dunia ide, ilmu pengetahuan dan dunia empiris. Ia pernah menyandang gelar ahli hukum (Qodhi al-Qudhat) pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia adalah murid sekaligus tangan kanan Hanafi (Mazhab Hanafian). Imam Abu Hanifah dalam terminologi Sunny diartikan sebagai mujathid mutlak.
Al-Kharaj sempat menjadi panduan manual perpajakan pada masa khalfah Harun al-Rasyid yang dicetak pada tahun 1302H/1885M. Al-Kharaj secara terminologis berasal dari kata “kharaj” yang secara lingustik berarti “keluar” atau “mengeluarkan dari tempatnya”, sementara “kharj” atau “kharaj” dapat dimaknai dengan “apa yang dikeluarkan”, atau kebalikan dari bahasa “upaya untuk mengeluarkan”. Hal ini terinspirasi dari firman Tuhan dalam QS.18:94 dan QS.23:72. Al Kharaj dapat dartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Pada bagian lain kharaj diartikan dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak jasil bumi. Jika dilihat dari beberapa aspek penggarapannya yang melingkupi beberapa bentuk dari perpajakan yaitu pajak bumi, jizyah dan ushr, maka pengertian Kharaj dapat  dikembangkan ke arah pengertian yang lebih luas, yaitu hasil karya ilmu ekonomi yang meliputi segala bentuk sumber kekayaan umum.
Terdapat dua topik yang dibahas dalam al-Kharaj :
1.      Terfokus pada  hal-hal yang erat kaitannya dengan perluasan kekuasaan (ekspansi), dan ini terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu hal yang berkaitan dengan panklukan dan konsekuensinya, dan kemudian diikuti dengan 5 bagian yang menceritakan tentang pertempuran Qodisiyah dan 4 bagian tentang pertempuran di Nihawand.
2.      Terfokus pada hal yang berkenaan dengan pajak tertentu yang diberlakukan atas inisiatif Ummar, sebelas hadists yang menceritakan tentang aktivitas Umar, tanah wilayah Syam (syria) dan Jazirah, pendistribusian yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar, memberikan informasi dan penjelasan tentang Qatha’I, dan setelah itu dilanjutkan kembali dengan uraian tentang tanah-tanah Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman dan Arab, tanah mati dan hukum yang berkenaan dengan orang-orang murtad, tanah Madinah dan penduduknya, tanah Usry dan kaitannya dengan Kharaj, hal yang berkaitan dengan kekayaan laut, hasil produksi binatang spt; madu dan sejenisnya yang dikaitkan dengan pajak, shadaqah dan mekanisme pasar, pendapatan negara, keuangan, serta beberapa penegasan pada keterangan-keterangan sebelumnya.
Harun al-Rasyid merupakan Khalifah paling besar dan cemerlang dalam kurun pemerintahan dinasti Abbasiyah. Catatan sejarah menginformasikan bahwa beliau telah memerintah selama 23 tahun, dan telah membangun sebuah kemajuan dan kejayaan yang luar biasa di bidang politik, ekonomi, perdagangan dan ilmu pengetahuan serta peradaban Islam, sehingga banyak kisah yang menceritakan tentang keagungannya. Dibawah pemerintahannya Baghdad menjadi kota metropolitan dan kota utama bagi dunia Islam yang dijadikan sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran dan peradaban Islam, serta pusat perdagangan ekonomi dan politik.
Dalam sejarah di ceritakan bahwa kekayaan negara begitu berlimpah yang dialokasikan sebagian besar untuk keperluan sosial, hal ini terbukti dari menjamurnya lembaga-lembaga sosial yang didirikan, seperti lembaga pendidikan, rumah sakit, sekolah kedokteran dan farmasi, tempat pemandian umum, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan. Baghdad menjadi negara yang sangat terpandang di dunia internasional pada masa itu. Karena secara tidak langsung hal ini mendorong terjadinya proses asimilasi dari kaum muslimin pendatang dan musli setempat.

5. Pemikiran Ekonomi Islami Abu Yusuf

Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid terjadi krisis nilai etis dan ekonomi yang tidak stabil yang seringkali memunculkan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada kelompok kecil. Pos-pos perekonomian negara akan menjaga kestabilan ekonomi dan keberlangsungan sebuah kerajaan. Sedangkan pemerintah memerlukan income negara yang dipungut dari setoran pajak masyarakat. Jika ini terjadi, maka pendapatan dan pengeluaran negara menjadi tidak seimbang. Oleh karena itu kebijakan terhadap penarikan pajak seringkali terjadi tanpa adanya pertimbangan nilai-nilai etika moral dan asas keseimbangan. Di tengah kondisi seperti ini, di kalangan ulama lahirlah sikap untuk menjauhi kelompok penguasa dan berpihak kepada kelompok kecil dalam upaya menentang kebijakan penguasa yang sifatnya menindas.
Masalah besar yang dihadapi negara, dalam pandangan Abu Yusuf harus diselesaikan dengan upaya mengedepankan nilai keseimbangan antara output dan input, maka etika pemerintah dan moral masyarakat perlu dibenahi. Sebab kestabilan ekonomi hanya akan dapat dicapai bila komponen etika yang memuat beberapa sistem dalam pandangan Abu Yusuf tersebut mampu disosialisasikan di tengah individu dan masyarakat.

Tentang Mekanisme

Abu Yusuf melihat bahwa sektor negara sebagai satu mekanisme yang memungkinkan warga negara melakukan campur tangan atas proses ekonomi. Bagaimana mekanisme pengaturan tersebut dalam menentukan : (1) tingkat pajak yang sesuai dan seimbang dalam upaya menghindari perekonomian negara dari ancaman resesi, dan (2) sebuah arahan yang jelas tentang pengeluaran pemerintah untuk tujuan yang diinginkan oleh kebijaksanaan umum. Pengaturan tersebut bergantung pada beberapa aspek penting sebagai variabel yang mesti dibenahi ;  income, expenditure dan mekanisme pasar. Mekanisme yang dikembangkan Abu Yusuf adalah :
1.      Menggantikan sistem Wazifah dengan sistem Muqosomah
Wazifah dan Muqosomah merupakan istilah dalam membahasakan sistem pemungutan pajak. Wazifah memberikan arti bahwa sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan, sedangkan Muqosomah merupakan sistem pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional.
2.      Membangun felksibilitas sosial
Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap kelompok Harbi, Musta’min dan kelompok Zimmi. Kelompok Harbi adalah kelompok asing bagi muslimin. Musta’min dan Zimmi adalah kelompok asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam dan membutuhkan perlindungan keamanan dari pemeerintahan Islam, serta tunduk dengan segala aturan hukum yang berlaku. Ketiga kelompok tersebut diatur dengan beberapa ketetapan khusus yang berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan pedagangan, serta ketentuan hukum lainnya
Kaum non muslim wajib membayar jijyah, namun jika mereka meninggal, maka jijyah tersebut tidak boleh dibayar oleh ahli warisnya. Jijyah dalam terminologi konvensional disebut dengan pajak perlindungan, yakni jasa keamanan yang diberikan negara Islam kepada kaum non muslim. Mengenai pertanyaan kritis tentang bagaimana jika mereka tidak membayar jijyah ? Abu Yusuf mengatakan :

“Tidak boleh melakukan kekerasan terhadap fisik, seperti memukul, menjemur mereka di terik matahari atau bentuk-bentuk lain yang sifatnya menyiksa, untuk mendapatkan jijyah dari mereka, dianjurkan memperlakukan mereka secara manusiawi bahkan sebagaimana layaknya teman”.

Sedangkan bagi kaum non muslim yang ikut berperang, maka bagi mereka tidak dibebankan untuk membayar jijyah. Berdasarkan klasifikasi strata masyarakat maka jijyah bagi golongan kaya sebesar 4 dinar, golongan menengah 2 dinar dan kelas miskin 1 dinar.
Kebijakan ini memberikan pengaruh positif akan bertambahnya simpati kaum non muslim terhadap Islam.
3.      Membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan
Dengan adanya transparansi, maka akan terlihat peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan (al-Adalah), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun) dan berbuat baik (al-Ikhsan).
Abu Yusuf memandang terdapat dua sifat penerimaan negara, a.l :
  1. Penerimaan yang bersifat insidental ; ghanimah dan fay’;
  2. Penerimaan yang bersifat permanen ; kharaj, jijyah, ushr, dan sadaqah/zakat.
Penerimaan yang bersifat insidental diinterpretasikan dari al-Qur’an dalam surat al-Anfal ayat 41 :

“… ketika engkau mengambil setiap barang rampasan, seperlima darinya adalah milik Allah dan Rasul, saudara-saudara dekatnya, anak yaitm, orang-orang miskin dan musafir..”
Dengan demikian melihat dari sistem pembagiian harta yang dilaksanakan, maka akan terlihat dari empat bagiannya disistrbusikan untuk prajurit, sedanglan seperlimnya disimpan pada bendahara umat atau Baitu al-Mal.
4.      Menciptakan sistem ekonomi yang otonom
Abu Yusuf mengungkapkan bahwa jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tapi ada kekuatan lain yang lebih menentukan. Berdasarkan pada hadist-hadis Rasul yang menyatakan bahwa :
a.       “…Tinggi dan rendahnya barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan tersebut” Riwayat Abdu a-Rahman bin Abi Laila dari Hikan bin ‘Utaibah)
b.      “…Sesungguhnya urusan tinngi dan rendahnya harga suatu barang punya kaitan erat dengan kekuasaan Allah. Aku berharap dapat bertemu dengan Tuhanku di mana salah seorang diantara kalian tidak akan menuntutku karena kezaliman” (Hadis Tsabit Abu Hamzah al-Yamani dari Salim bin Abi Ja’ad)
c.       “…Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta” (riwayat Sufyan bin Uyainah, dari Ayub, dari Hasan)
Disimpulkan Nazori (2003), bahwa pemikiran Abu Yusuf menggambarkan adanya batasan-batasan tertentu bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan harga.

Landasan Pemikiran dan Visi Ekonomi Abu Yusuf

Nazori (2003) mengambil kesimpulan bahwa Abu Yusuf lebih banyak mengedepankan ra’yu dengan menggunakan perangkat analisis Qiyas dalam upaya mencapai kemaslahatan ‘Ammah sebagai tujuan akhir hukum. Dalam Mazhab Hanafi menetapkan hukum sebagai berikut :
“Dalam menetapkan hukum aku berpegang kepada kitab Allah, hal itu jika aku temukan di dalamnya. Dan jika aku tidak menemukannya dalam al-Qur’an, maka kau berpegang kepada Sunnah Rasul, dan Atsar shohih yang diriwayatkan para rawi yang terpercaya, jika aku tidak mendapatkan dalam keduanya, aku berpegang kepada pendapat sahabat yang aku sukai, hal ini aku lakukan bukan untuk meninggalkan pendapat mereka untuk mengambil pendapat lainnya. Dan apabila masalahnya telah sampai kepada Ibrahim al-Sa’abi, al –Hasan Sirin, dan Said bin Musayyah, maka kau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.

Tujuan kebijakan ekonomi Abu Yusuf dalah untuk mencapai Maslahah ‘Ammah. Maslahah adalah kesejahteraan yanng sifatnya individu (mikro) maupun golongan (makro). Secara mikro, diharapkan manusia dapat menikmati hidup sevara berarti dan penuh makna (meaning full). Secara makro juga diharapkan agar masyarakat dapat menikmati kedamainan dan ketenangan dalam hubungan interaksi sosial antar sesama, dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Lebih lanjut alat ukur untuk mencapai Maslahah tersebut adalah :
  1. Keseimbangan (al-Tawazun);
  2. Kehendak bebas (al-Ikhtiyar)
  3. Tanggungjawab/keadilan (al-Adalah); dan
  4. Berbuat baik (al-Ikhsan).

6. Tema-Tema Pemikiran Adam Smith

Dalam disertasi Sonny Keraf (1996) yang berjudul “Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah ; Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smithdapat dikemukakan beberapa ide Smith tentang sistem alam, teologi, sistem sosial, hakekat manusia, keadilan dan pertumbuhan ekonomi.
      Pertama, dalam buku Smith yang berjudul "The History of Ancient Physics" tertera ajaran yang mendasari; etika, filsafat hukum, politik dan ekonomi. Smith berasumsi bahwa alam adalah suatu sistem yang mirip dengan mesin. Alam semesta adalah sistem yang koheren yang dijalankan oleh hukum-hukum umum yang bertujuan umum, yakni untuk mempertahankan keberadaan sistem itu sendiri dan kejayaanya, serta keberadaan dan kejayaan semua spesies yang ada di dalamnya.Telaah Smith terhadap alam memandang bahwa "masing-masing bagian dari alam bekerja secara spontan dan otomatis, tanpa memperdulikan satu sama lain, tetapi terkait satu dengan yang lainnya secara harmonis". Sehingga bagi Smith, alam adalah sebuah mesin raksasa. Terdapat dua alur pemikiran, mengapa Smith berasumsi demikian :
a.       Dipengaruhi oleh Teori Hukum Kodrat Stoa dan Moral Sense yang menyatakan bahwa "alam dipimpin oleh yang maha kuasa, yaitu Tuhan yang maha bijaksana"
b.      Fakta-Fakta empiris, terutama telaah Smith atas Astronomi, dimana dengan menggunakan metode ilmiah Newton Smith meyakini akan adanya Yang Maha Esa.
Kedua, menurut Smith Alam yang alamiah adalah ;
a.       Alam adalah perintah Tuhan, dimana alam mengungkapkan dirinya melalui hasrat manusia, keinginan untuk membuat keadaanya menjadi lebih baik, untuk bersimpati dengan orang lain, untuk mendapat persetujuan moral dari orang lain".
b.      Alam adalah norma atau kaidah yang bersifat deskriptif dan normatif.
c.       Alam adalah prinsip internal yang menciptakan dorongan internal.
d.      Alam adalah apa yang sudah ada sejak semula; spontan, normal dan naluriah.
Di bidang ekonomi, alam dan yang alamiah adalah kekuatan penggerak yang menggerakan manusia untuk membuat keadaanya menjadi lebih baik dan dengan demikian mewujudkan kemajuan sosial dan memungkinkan sejarah terjadi. Jadi kecenderungan alamiah manusia untuk membuat kondisinya menjadi lebih baik itulah yang melahirkan kemajuan sosial dan sejarah. Dengan demikian Smith tidak memandang masyarakat dan sejarah sebagai sesuatu yang bersifat materialistis. Tujuan alam adalah kelangsungan hidupnya serta kelangsungan kehidupan (dari segala yang ada dalam alam).
Terdapat pernyataan Smith yang kontroversial mengatakan bahwa terdapat kekeliruan besar jika kita memperlakukan setiap individu hanya seperti sebuah skrup dari mesin sosial, karena sesungguhnya manusia mempunyai satu "prinsip penggeraknya sendiri" yang memungkinkannya bergerak sesuai dengan dorongan alamiahnya dan bukannya digerakkan dari luar seperti pion-pion' (TMS, VI.ii.2.17).
            Ketiga, masyarakat adalah sebuah tatanan yang harmonis menyerupai dan didasarkan pada model tatanan kosmis yang harmonis. Masyarakat, dan juga akhirnya manusia adalah bagian integral dari sebuah panggung alam yang makro kosmis, yang telah dimaksudkan oleh Sang Pencipta Alam untuk kebahagiaan dan kesempurnaan seluruh jagat. Masyarakat dan manusia adalah jagat kecil dari alam sebagai jagat besar, dan dengan demikian mencontoh dan berkembang mengikuti model alam, dan bahwa hidup dalam masyarakat adalah sebuah kehidupan kodrati yang telah dikehendaki olah alam.
Keempat, Smith memandang bahwa "manusia...secara kodrati menginginkan adanya masyarakat, dan ingin agar persatuan umat manusia harus dilanggengkan demi persatuan itu sendiri, walaupun ia sendiri tidak memperoleh manfaat apa pun darinya. Keadaan masyarakat yang teratur dan berkembang subur sungguh menyenangkan baginya, dan ia merasa gembira ketika mengamati hal itu. Sebaliknya, kesemrawutan dan kekacaubalauannya membuatnya menjadi muak, dan ia merasa sedih atas apa saja yang membuat masyarakat kacau balau dan tidak teratur. Ia juga benar-benar merasa bahwa kepentingannya terkait dengan kejayaan masyarakat, dan bahwa kebahagiaan...juga kelangsungan hidupnya tergantung pada kelestarian masyarakat. Karena itu, atas pertimbangan apa saja, ia mau tidak mau benci dengan apa saja yang cenderung menghancurkan masyarakat, dan siap mengerahkan segala daya dan upaya demi mencegah peristiwa yang sedemikan dibenci dan menakutkan itu”. Manusia memiliki dua kecenderungan bawaan yang membuatnya:
a.       disatu pihak untuk mempertahankan hidupnya, dan
b.      pada pihak lain untuk peduli terhadap situasi dan kehidupan sesamanya.
Kecederungan yang pertama mendorong manusia untuk bekerja keras dan untuk menabung; "prinsip yang mendorong manusia untuk menabung untuk membuat keadaanya menjadi lebih baik, suatu keinginan yang walaupun umumnya tenang dan tidak menggebu-gebu lahir bersama kita dari rahim ibu, dan tak pernah meninggalkan kita sampai masuk lubang kubur". Kecenderungan tersebut memungkinkan adanya kemakmuran pribadi serta kemakmuran dan kejayaan bersama. Sedangkan kecenderungan yang kedua, yaitu kecenderungan kodrati untuk mempertahankan masyarakat, bahkan mempertahankan hidup umat manusia seluruhnya. Kejayaan dan keamanan individu tergantung akan kejayaan dan keamanan masyarakat. Manusia memiliki kecenderungan kodrati untuk hidup dalam masyarakat dan menjaga keutuhan masyarakat. Dimana hasrat dasar yang mendorong manusia untuk hidup dalam masyarakat serta menjaga kehidupan sesamanya tidak lain adalah "perasaan setia kawan" (fellow-feeling) atau simpati. Dimana simpati merupakan rantai penghubung moral yang mempersatukan manusia di dalam masyarakat. Sehinga dalam bidang ekonomi, kecenderungan dasar manusia adalah mengadakan perdagangan dan pertukaran antara satu barang yang dimilikinya dengan barang lain dari orang lain. Oleh karena itu manusia adalah makhluk sosial yang hanya bisa bertahan hidup dalam masyarakat. Dan dalam buku The Theory of  Moral Sentimen, Smith memberikan pernyataan sebagai berikut :
"Manusia harus memandang dirinya bukan sebagai bagian yang terpisah dan terlepas dari sesamanya, melainkan sebagai seorang warga dunia, seoarang anggota kerajaan besar dari alam"
Bagi Smith alam tidak menciptakan kejahatan, alam pada akhirnya akan melahirkan suatu keharmonisan dalam hidup manusia. Smith meyakini hal ini, sehingga baginya dirumuskan dalam ajarannya mengenai "tangan gaib" (invisible hand) yang menyangkut seluruh bidang kehidupan manusia. Keyakinan ini sedemikian kuatnya sehingga dijadikan dasar ontologis dan teori moral serta ekonominya. Bagi Smith, kita tidak bisa memecahkan masalah mengenai asal usul kejahatan. Yang bisa kita lakukan ialah berkepala dingin menghadapi kejahatan itu sambil percaya akan kebaikan universal.
            Kelima, pasar bebas adalah syarat mutlak bagi pertumbuhan ekonomi. Tetapi pasar sendiri bukanlah satu-satunya syarat yang memadai bagi pertumbuhan ekonomi. Ada banyak situasi seperti; pertanian dengan panen yang baik, penduduk, kemajuan ekonomi, keadaan tenaga kerja dlsb. Teori Smith tentang "Pembagian Kerja" didasarkan pada 3 pertimbangan :
a.            Pembagian kerja menjiwai setiap hubungan ekonomis antara pelaku ekonomi dalam pasar bebas yang menentukkan eksistensi atau kedudukan setiap orang dalam hubungan dagang.
b.            Pembagian kerja merupakan unsur pokok dalam pasar bebas.
c.            Pasar bebas adalah motor atau sebab kemakmuran sebuah negara dan juga kemakmuran individu
Tenaga kerja tahunan setiap bangsa adalah modal yang sesungguhnya menyediakan kebutuhan dan kenyamanan hidup dari bangsa tersebut yang dikonsumsinya setiap tahun, dan yang selalu terdiri dari produk langsung tenaga kerja, atau terdiri dari apa yang dipertukarkan dengan produk bangsa lain. Pembagian kerja sebagai motor pasar bebas. Pembagian kerja (division of labour) merupakan penyebab kemajuan sosial dalam peradaban moderen dan mendorong manusia kedalam ekonomi moderen. Kemajuan tersebut dapat dijelaskan dalam kaitan dengan tiga fenomena sebagai berikut :
(a)      Pembagian kerja menyebabkan meningkatnya kerajinan pada setiap pekerja (dexterity) khusus tertentu yang pada gilirannya tidak hanya membuat kondisinya menjadi lebih baik tetapi juga membuat kondisi sosial dan ekonomi seluruh masyarakat menjadi lebih baik.
(b)      Pembagian kerja juga menyebabkan penghematan waktu yang biasanya terbuang percuma karena harus pindah dari satu jenis pekerjaan ke jenis pekerjaan yang lain dan karena itu meningkatkan produktivitas dan hasil setiap pekerja per satuan waktu.
(c)      Pembagian kerja mendorong dan menimbulkan penemuan sejarah besar mesin baru yang mempermudah dan menghemat tenaga kerja dan memungkinkan seseorang untuk melakukan pekerjaan banyak orang dan konsekuensinya memajukan masyarakat yang bersangkutan.
Pasar bebas akan memperluas atau meningkatkan permintaan, untuk kemudian hal ini akan mendorong peningkatan penawaran (produksi). Produksi akan menciptakan output yang maksimal, jika proses produksi tersebut berdasarkan pada "pembagian kerja". Dimana dengan pembagian kerja akan menghasilkan output yang tinggi oleh peranan pekerja, dan secara bersamaan laju pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai hasil-hasil produksi (komoditi) pekerja yang dijual kedalam pasar pada periode tertentu.

7. Simpulan

1.      Latar belakang pemikiran Abu Yusuf dan Smith sama-sama didorong oleh distabilisasi sosial karena paradigma kapitalisme. Sebelum Harun Al Rasyid menempati tampuk pimpinan negara, sebelumnya di negara Irak dan Iran menganut sistem monarkhi yang identik dengan kapitalisme. Sedangkan latar belakang Smith didorong oleh distabilitas sosial akibat paradigma Merchantilists yang membangun kapitalisme komersial.
2.      Abu Yusuf dan Smith memiliki perbedaan dalam hal proses kreatifnya, dimana Abu Yusuf memakai metodologi Qiyas sedangkan Smith memiliki corak Induktif-Empiris.
3.      Terdapat kesamaan dalam gagasan pasar bebas, namun demikian dalam konteks hukum permintaan dan penawarannya Abu Yusuf berpendapat bahwa harga tidak ditentukan oleh dua kekuatan tersebut, justru hargalah yang menentukan permintaan dan penawaran. Harga yang tinggi akan memberikan insentif kepada produsen untuk meningkatkan produksinya, begitupun dalam hal sebaliknya. Sedangkan Smith dengan teori nilai kerjanya memiliki pandangan bahwa harga ditentukan oleh aspek produksi (supply)
4.      Dalam aspek kebijakan ekonomi Abu Yusuf lebih mengedepankan peran anggaran negara dalam mencapai 4 tujuan utama (maslahah);   keseimbangan (al-Tawazun), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), tanggungjawab/keadilan (al-Adalah); dan berbuat baik (al-Ikhsan). Sedangkan Smith memandang pentingya konservasi kehendak bebas manusia dalam mewujudkan interdependensi dalam struktur sosial masyarakat.
5.      Dalam menentukan jumlah dan nilai pungutan negara kepada masyarakat, pemikiran Abu Yusuf lebih fleksible dengan melihat secara empiris kondisi ekonomi wajib pajak, status kewarganegaraannya (muslim atau non muslim) serta peranannya. Sedangkan Smith tidak membuka lebar peran negara dalam perekonomian. Smith memandang bahwa hal terpenting yang harus dilakukan oleh negara adalah menjamin keamanan negara (negara peronda malam). Namun ia pun mengakui bahwa perlu peran negara dalam mengangkat kondisi ekonomi individu yang lemah dengan perangkat pajak.
6.      Peranan ilmu statistik dan matematik sangat penting dalam berbagai sistem ekonomi, dalam hal ini sistem ekonomi Islami maupun sistem ekonomi konvensional. Contohnya adalah bahwa di dalam Al-qur’an dan Sunnah memberikan ruang ijtihad bagi Abu Yusuf untuk menentukan berapa besarnya Kharaj dan Jijyah yang harus dibayar oleh muslim dan non muslim. Untuk itu diperlukan abstraksi struktur golongan ekonomi dan metode kuantitatif yang akurat.
7.       Perbedaan yang paling mendasar antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi liberal terdapat dalam aspek tujuan dan metodologi penarikan teori dan kesimpulan.


Referensi :

Abdullah Zaky Al Kaaf,2002, “Ekonomi Dalam Perspektif Islam”, CV. Pustaka Setia, Bandung.

George Soule, 1994, "Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka : Dari Aristoteles Hingga Keynes", Kanisius, Yogyakarta

Ikhwan Hamdani, 2003, “Sistem Pasar & Pengawasan Ekonomi (Hisbah) dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Nur Insani, Jakarta.

Muhammad Saddam, 2003, “Ekonomi Islam”, Taramedia, Jakarta. Diterjemahkan oleh Harry Kurniawan.

M. Nazori Majid, 2003, “Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf; Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian”, PSEI STIS Yogyakarta, Yogyakarta.

M. Umer Chapra, 2001, “Masa Depan Ilmu Ekonomi ; Sebuah Tinjauan Islam”, Gema Insani Press & Tazkia Cendekia, Jakarta. Diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin.

Muhammad, 2002, “Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami”, PT Salemba Empat, Jakarta.

Sumitro Djodjohadikusumo, 1991, "Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Buku I Dasar Teori Dalam Ekonomi Umum", Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Steven Pressman, 2000, "Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia", PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sonny Keraf, 1996"Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah; Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith", KANISIUS, Jakarta

Zimmerman, 1955, "Sedjarah Pendapat-Pendapat Tentang Ekonomi", W.Van Hoeve, Bandung,




[1] Diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri yang diartikan “Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan Islam”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDE IBNU KHALDUN TENTANG KEUNTUNGAN DAN REZEKI

IDE IBN KHALDUN TENTANG KEUNTUNGAN DAN REZEKI Yuhka Sundaya Departemen Ekonomi Pembangunan Unisba Sekitar 7 abad yang lalu telah hadir cende...