MODEL DASAR BAGI HASIL : EKSPLOITASI TENAGA KERJA DAN EFISIENSI
Topik bagi hasil-bagi biaya merupakan
fenomena yang telah diketahui secara umum. Prakteknya telah diterapkan secara
luas pada beberapa aktivitas perekonomian, dan tidak hanya di negara-negara
muslim saja. Topik tersebut menjadi pemikiran yang mendalam oleh pekerjaan
Marshall (1920) dan Cheung (1968). Mereka mengembangkan analisa mikroekonomi
dengan menginkorporasikan praktek bagi hasil. Praktek bagi hasil-bagi biaya
mereka internalisasikan ke dalam model ekonomi produsen. Analisa Marshall
(1920) memberikan intuisi bahwa praktek bagi hasil-bagi biaya berpotensi untuk
menimbulkan gejala eksploitasi terhadap tenaga kerja dan gejala inefisiensi
produksi. Karena itu, isitilah populer lain terhadap model bagi hasil Marshall adalah Marshallian
inefficiency. Sedangkan Cheung (1968), mengemukakan antitesa terhadap Marshallian
inefficiency. Cheung (1968) mengemukakan bahwa
praktek bagi hasil-bagi biaya tidak mengandung gejala ekploitasi tenaga kerja
dan inefisiensi. Marshall (1920) dan Cheung (1968) mengemukakan analisa pada
obyek yang sama, yakni usaha tani yang menggunakan input dominan berupa lahan
dan tenaga kerja. Dua pelaku ekonomi yang dianalisisnya adalah pemilik lahan (landlord)
dan petani (tenant).
Alinea berikutnya menunjukkan
bagaimana tesis dan antitesis tersebut mengemuka. Kita dapat mempelajari model bagi hasil Marshall
dan Cheung melalui pemikiran Bell (1977) serta Brandao dan Schuh (1979). Keduanya mengawali pembahasan bagi hasil dengan mengulas terlebih
dahulu model dasarnya.
Diasumsikan terdapat dua pelaku ekonomi, pemilik
lahan dan petani penyewa. Keduanya terlibat dalam suatu
kegiatan produksi, misalnya pertanian. Petani diasumsikan berpendirian rasional yang diwujudkan dalam bentuk
memaksimisasi keuntungan. Dimana keuntungan tersebut diperoleh dari hasil
penjualan panen dikurangi dengan pengeluaran atas penggunaan sejumlah input,
misalnya tenaga kerja atau buruh petani. Selanjutnya asumsikan bahwa hasil
panen dan pasar buruh tani sebagai input tenaga kerja ditransaksikan dalam
struktur pasar persaingan sempurna. Melalui asumsi ini, banyaknya buruh tani
yang digunakan dalam kegiatan produksi tergantung dari tambahan produktivitas
masing-masing buruh tani. Intuisinya dapat dituntun oleh persamaan (1) dan (2).
Maksimisasi : π = (1 –
r) Q(, L) – w.L.......................................... (1)
dimana π menunjukkan keuntungan, Q menunjukkan
jumlah output yang diproduksi melalui fungsi produksi Q(, L),
dimana H dan L secara berurutan menunjukkan luas lahan (diasumsikan konstan)
dan jumlah buruh tani yang digunakan dalam kegiatan produksi. Simbol r
menunjukkan parameter dalam sistem bagi hasil, yaitu bagian atau proporsi
output yang merupakan hak pemilik lahan, istilah lazimnya adalah share.
Sebaliknya (1 – r) menunjukkan share output yang diterima oleh petani
penyewa. Dan w menunjukkan besarnya upah per orang buruh tani yang
digunakan dalam kegiatan produksi.
Turunan
pertama persamaan (1) disajikan pada persamaan (2).
∂π/∂H = (1 – r) ∂Q/∂H
= 0, atau (1 – r) MPH = 0.............................. (2.a)
∂π/∂L = (1 – r) ∂Q/∂L
= w, atau (1 – r) MPL = w............................ (2.b)
Petimbangan utama terfokus pada persamaan (2.b),
yang menunjukkan bahwa petani penyewa akan optimal dalam penggunaan buruh tani,
hingga produktivitas buruh tani mereka sama dengan tingkat upah per orang buruh
tani. Karena penerimaan dihasilkan dari produktivitas buruh tani, Marshall
(1920) menafsirkan bahwa MPL tidak lain menunjukkan tambahan
penerimaan (marginal revenue) dalam ukuran fisik, yang sebagian
merupakan hak pemilik lahan dan sebagian lagi hak petani penyewa.
Gambar
1 berfungsi untuk memperjelas analisa bagi hasil dalam kegiatan produksi. Dalam
gambar tersebut, tambahan penerimaan pemilik lahan ditunjukkan oleh kurva AGFJ
dan tambahan penerimaan petani ditunjukkan oleh kurva BDEJ. Tambahan penerimaan
pemilik lahan tersebut dipetakan secara imajiner dari kondisi tambahan
penerimaan petani penyewa. Dan magnitudenya akan selalu lebih tinggi
dari petani penyewa. Konsekuensi logisnya, semakin rendah share output
yang dipungut pemilik lahan, ekstrimnya hingga nol, maka tambahan penerimaan
petani penyewa akan sama dengan pemilik lahan. Dalam kasus tersebut tidak
terjadi praktek bagi hasil, karena kondisi itu akan menimbulkan kenyataan
dimana petani memiliki posisi sebagai pemilik dan pengolah lahan.
Gambar 1. Keseimbangan Petani di Bawah Praktek
Bagi Hasil
Dengan memegang asumsi bahwa pemilik lahan
dan petani keduanya berpikir rasional, maka muncul dua pertimbangan yang
berbeda mengenai alokasi jumlah buruh tani dalam kegiatan produksi. Dalam
perspektif pemilik lahan, jumlah buruh tani yang bisa digunakan adalah sebanyak
0LO, sedangkan dalam perspektif petani sebanyak 0LS.
Dalam Gambar 1, jumlah buruh tani dalam perspektif pemilik lahan lebih banyak
dibandingkan dengan perspektif petani,
0LO > 0LS. Prediksi ini, menurut Stiglitz
(1974), dipandang oleh kebanyakan ahli ekonomi sebagai persoalan under
supply of labor yang timbul dari praktek perjanjian bagi hasil.
Isu efisiensi produksi dapat dikaji dengan
membandingkan output yang dihasilkan tanpa praktek bagi hasil dan output yang
dihasilkan dari praktek bagi hasil. Tanpa bagi hasil, output bersih yang akan
diperoleh ditunjukkan oleh ruang OAFLO, sedangkan dengan bagi hasil
akan diperoleh output kotor sebesar OAGLS. Terlihat bahwa OAGLS
< OAFLO. Dalam praktek bagi hasil, pemilik lahan akan menerima
bagian output sebesar ABDG, dan sisanya BCD adalah bagian output petani
penyewa. Segitiga DFG yang diarsir ditafsirkan Marshall sebagai kesejahteraan
yang hilang (welfare loss). Atau dalam istilah teknisnya adalah jumlah
output yang tidak tercapai karena terhambat oleh perjanjian (contract).
Inilah alasan Marshall menyatakan bahwa bagi hasil akan menghasilkan
inefisiensi dalam produksi.
Sementara itu, Cheung (1968) memandang
bahwa keseimbangan produksi yang sesungguhnya terjadi pada titik F, bukan pada
titik D sebagaimana dianalisa Marshall. Ia memandang bahwa ruang BCD
menunjukkan jumlah produksi yang diterima petani penyewa di atas dan di bawah alternatif
pendapatannya (ruang OCDLS). Cheung (1968) menafsirkan bahwa
ruang BCD merupakan sisa penerimaan (residual earning) petani
penyewa. Keberadaannya tidak konsisten dengan keseimbangan. Dimana di bawah
kepemilikan lahan secara private, menurutnya, pemilik lahan dapat
menggali (extracting) sisa penerimaan petani penyewa atau pemilik lahan
dapat menetapkan perjanjian dimana input buruh tani yang digunakan sebanyak 0LO.
Sehingga ruang DFG yang dipandang sebagai welfare loss oleh Marshall
(1920) tidak akan timbul. Dengan demikian, dalam cara pandang Cheung (1968),
praktek bagi hasil tetap akan menghasilkan efisiensi dalam
produksi.
Perbedaan pendapat mengenai isu efisiensi
dalam model dasar Marshall (1920) dan Cheung (1968), bila diamati lagi,
tergantung dari posisi tawar (bergaining position) antara pemilik lahan
dengan petani penyewa. Cheung (1968) secara implisit memandang bahwa pemilik
lahan memiliki kekuatan yang tidak terbatas untuk menentukan share bagi
hasil, sebaliknya Marshall (1920) secara implisit memandang bahwa pemilik
lahan tidak memiliki kekuatan penuh untuk menetapkan share bagi hasil.
Referensi
Bell, C. 1977. Theories of Sharecropping : Some
Tests Using Evidence from Northeast India. Journal of Development Studies, 13:
317-346. Makalah ini menjelaskan teori Cheung (1968) dan Marshall (1920).
Stiglitz, J.E. 1974. Incentives and Risk Sharing
in Sharecropping. Reprinted from The Review of Economic Studies. Vol. XLI (2).
Brandao, A.S and Schuh, G.E. 1979. Entrepreneurial
Talent, Sharecropping, Resource Allocation and Land Ownership. Staf Paper
Series. Department of Agricultural and Applied Economics University of
Minnesota. St. Paul, Minnesota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar