LINGKUNGAN DAN SUMBER DAYA DI
CEKUNGAN BANDUNG BAGIAN BARAT
Bahan Pembelajaran Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan dengan Mahasiswa Tahun Akademik 2020/21
Yuhka Sundaya
Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Islam Bandung
Ecosystem Services • Biodiversity Conservation • Bioeconomics • Industrial Ecology
Prolog
Manusia,
dengan kapasitasnya, harus memahami cara kerja ekosistem. Ketika kita memahami
topik manusia dengan lingkungan pada Tietenberg dan Lewis (2018), kita
membatasi pemahaman kita tentang lingkungan. Lingkungan dipandang sebagai
komposisi asset. Lingkungan ditampilkan sebagai semesta yang membingkai
bagian luar ekonomi yang menyediakan input berupa energi, udara, bahan baku,
air dan kenyamanan, sebagai sistem penunjang hidup (life-support systems).
Mereka juga mengatakan bahwa sebagai asset, maka nilainya harus terus
ditingkatkan dalam menyajikan estetika dan sistem keberlangsungan hidup. Jika
kita pahami dari Wikipedia, energi, udara, air, dan kenyamanan (iklim,
kelembaban, cahaya, bunyi), dapat dikategorikan unsur ‘abiotik’, sedangkan
bahan baku, yang mungkin maksudnya adalah mencakup tumbuh-tumbuhan dan hewan,
ini disebut dengan unsur ‘biotik’. Mikrorganisme, seperti virus dan bakteri,
juga termasuk unsur ‘biotik’. Pengetahuan manusia tentang lingkungan akan
memengaruhi bagaimana mereka memperlakukan lingkungan dimana kita hidup dan
berkembang, baik dalam fungsinya sebagai individu maupun pelaksana dan
pengambil keputusan pada sebuah lembaga negara, sosial ataupun bisnis.
Unsur biotik
dan abiotic saling terkait satu sama lain. Manusia memerlukan makanan, misalnya
beras. Beras sumbernya dari tanaman padi. Pertumbuhan padi bergantung pada
iklim, mikroorganisme, air, sinar matahari, yang semuanya berkelindan dalam
proses biologi. Jika pasokan air irigasi yang bersumber dari daerah lain,
tercemar misalnya oleh limbah pabrik, maka akan mengganggu proses biologinya,
dan berpengaruh pada hasil panen yang ditargetkan atau diharapkan. Pada contoh
sederhana ini, tersirat bahwa pemanfaatan sumber daya air sungai yang bersifat
akses terbuka dan sumber daya lahan, tidaklah berdiri sendiri, satu sama lain
saling terkait. Jadi pengelolaan sumber daya alam, apapun jenisnya, harus
berawal dari cara kerja lingkungan.
Tulisan ini
menampilkan hasil pemikiran yang Saya sistematisir dari hasil pengamatan
terhadap lingkungan di Cekungan Bandung Bagian Barat. Uraian dari pengamatan
tersebut telah dipublikasikan pada tulisan bertajuk “Momotoran Ke Cireundeu:
Masyarakat Adat di Tengah Kota”[1]. Lingkungan
CBBB memiliki beragam sumber daya, oleh karena itu Saya memandang perlu untuk
menampilkan pemahaman dalam konteks ‘lingkungan’ yang menjadi introduksi
tulisan ini. Harapannya, pikiran pada pengelolaan sumber daya alam tertentu,
tidak berdiri sendiri, melainkan dipahami dalam konteks semesta yang membingkai
sumber daya alam tersebut, yaitu apa yang disebut interaksinya dalam ‘sistem
lingkungan’.
Interaksi Sub Sistem Lingkungan Cekungan Bandung Bagian Barat
Interaksi
sub system lingkungan di Cekungan Bandung Bagian Barat diperagakan melalui
Tabel 1. Lingkungan didefinisikan melalui 11 tema, yaitu pegunungan, sumber
daya air, pasar, manufaktur, pertanian, sumber daya ikan, demografi, sumber
daya mineral, budaya, energi listrik, dan residu kegiatan ekonomi. Setiap tema direpresentasikan
oleh wujud atau keberadaanya masing-masing, sehingga memudahkan untuk
menampilkan variabel yang relevan dengan representasinya. Secara keseluruhan
diidentifikasi 23 variabel yang berinteraksi dalam lingkungan CBBB. Dari aspek
sumber daya alam, CBBB memiliki 5 jenis sumber daya alam, yaitu pegunungan,
sumberdaya air, sumber daya perikanan, dan sumber daya mineral. Aktivitas
ekonomi di CBBB disederhakan menjadi aktivitas pasar, manufaktur atau industri
pengolahan, dan pertanian. Sumber daya air yang dimaksud adalah sumber daya air
permukaan dari Sungai Citarum yang berfungsi, di bagian hulunya, sebagai
budidaya perikanan dan penggerak turbin pada power house di Indonesia Power.
Indonesia Power memroduksi listrik untuk memenuhi kebutuhan Jawa-Bali. Residu
kegiatan ekonomi, berupa sampah, limbah dan sedimentasi mengalir melalui Sungai
Cimahi dan Sungai Citarum. Sungai Cimahi membentang dari Gunung Burangrang
melewati Kota Cimahi, dan mengitari Gunung Lagadar Desa Cikuya, kemudian
berakhir di Sungai Citarum.
Tabel 1. Sub Sistem Lingkungan Cekungan Bandung Bagian Barat Sumber : Hasil Pengamatan |
Pegunungan, sumber daya air, sumber daya ikan, sumber daya mineral, dan sumber daya energi listrik. Terdapat 3 gunung. Secara berurutan adalah Gunung Lagadar, Gunung Salam, dan Gunung Selacau. Setiap gunung memiliki jasa lingkungan atau apa yang disebut Tietenberg dan Lewis (2018) sebagai life-support systems dan punya fungsi rekreasional. Gunung Lagadar dan Selacau menyimpan nilai sumber daya mineral. Sumber daya mineral berupa batuan andesit ini terlihat secara kasat mata telah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan tambang. Batu andesit adalah batuan berbutir halus yang terbentuk saat magma meletus ke permukaan dan mengkristal dengan cepat. Artinya, Cekungan Bandung, ribuan tahun yang lalu adalah sebuah gunung berapi yang besar, sehingga meninggalkan kesuburan lahan dan banyak sumber mineral. Lain halnya dengan Gunung Salam. Mungkin di dalam gunung itu ada batuan andesit juga. Tapi Masyarakat Adat Cireundeu memeliharanya untuk fungsi jasa lingkungan. Disana adalah letak apa yang disebut dengan ‘hutan larangan’. Mata air di Gunung Salam terpelihara, dan masih hidup satwa liar yang menjadi bagian dari siklus hidup hutan. Dari puncak Gunung Salam, terlihat jelas dua tetangga gunung ini, yaitu Gunung Lagadar dan Selacau, seperti membentuk segitiga.
Interaksi
komponen lingkungan CBBB coba dikuantifisir secara kualitatif pada Tabel L1.
Table itu Saya sajikan sebagai lampiran tulisan ini, supaya ‘cukup enak’
dilihatnya secara lansekap. Ringkasannya disajikan pada Tabel 2. Ada du acara
memahami interaksi pada matrik tersebut. Angka pada matrik tersebut menunjukkan
skor. “1” menunjukkan pengaruh yang ‘lemah’, “2” menunjukkan pengaruh ‘cukup
kuat’, dan “3” menunjukkan pengaruh yang ‘kuat’. Data intensitas pengaruhnya
memang masih dibilang lemah, karena berdasarkan pengamatan empiris selama 2
bulan dan mengandalkan informasi sekunder. Secara baris, dapat diartikan
sebagai supply atau memengaruhi, secara kolom dapat diartikan demand
atau dipengaruhi. Pada baris pertama, contohnya, keberadaan gunung memengaruhi
sungai, kegiatan produksi, aktivitas penduduk, pertambangan, social dan budaya,
residual. Gunung memberikan pengaruh ‘kuat’ terhadap kondisi sungai. Di bawah
kaki Gunung Lagadar, di sisi sebelah timur dikelilingi oleh Sungai Cimahi,
sehingga terdapat limpahan tanah dari lereng gunung yang masuk ke dalam aliran
Sungai Cimahi, kemudian menambah sedimentasi terhadap Sungai Citarum. Pengaruh
yang ‘kuat’ juga terjadi dengan penduduk dan pertambangan batu andesit. Kenapa?
Gunung memberikan kenyamanan bagi penduduk di sekitar Gunung Lagadar, Gunung
Salam dan Gunung Selacau. Udara yang sejuk dan pasokan air adalah jasa gunung yang
diberikan kepada penduduk. Pengaruh ‘kuat’ keberadaan gunung adalah Gunung
Salam bagi Masyarakat Adat Cireundeu. Gunung Salam tidak dieskploitasi sumber
daya mineralnya, melainkan dipelihara sebagai hutan lindung dan upacara agama
tertentu. Sementara dua gunung lainya dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan
saja, sehingga efek kenyamanannya bagi penduduk jauh lebih rendah dibandingkan
Gunung Salam. Dengan demikian, pengaruhnya dikategorikan ‘cukup kuat’. Karena 2
gunung dari 3 gunung digunakan untuk pertambangan, maka pengaruh gunung ini
‘kuat’ sebagai sumber daya alam yang memasok produksi batuan andesit.
Tabel 2. Intensitas Interaksi Komponen Lingkungan CBBB Sumber : Hasil pengamatan dan literasi |
Pengaruh
gunung ‘cukup kuat’ terhadap komponen lingkungan lain: kegiatan produksi, sosial
budaya dan residual. Gunung Lagadar
memengaruhi kegiatan pertanian, yaitu holtikultura, padi, dan perkebunan.
Sebelah selatan Gunung Lagadar terdapat kegiatan tanaman pangan holtikultura
dan sawah, serta perkebunan. Namun luasnya tidak begitu besar. Hampir sama
dengan fungsi Gunung Selacau. Hanya luasan sawah dan perkebunannya cukup luas,
sehingga pengaruhnya ‘cukup kuat’ terhadap kegiatan produksi pertanian.
Sementara itu, Gunung Salam lebih dominan digunakan untuk kegiatan produksi
perkebunan, khususnya singkong atau ketela pohon sebagai makanan pokok
Masyarakat Adat Cireunde. Secara keseluruhan, pada Tabel 2, maka pengaruh
gunung terhadap kegiatan produksi dan pertambangan dikategorikan ‘cukup kuat’. Gunung
juga memberikan residual berupa sedimentasi tanah, hanya pengarunya ‘lemah’.
Pengaruh
sungai terhadap lingungan CBBB dinilai ‘kuat’. Sungai Cimahi menambah debit air
Sungai Citarum. Sungai Cimahi juga menjadi sumber air untuk kegiatan usaha
holtikultura, padi sawah dan perkebunan. Kegiatan perikanan berada di hilir
Sungai Citarum atau yang disebut dengan Waduk Saguling. Oleh karena itu
pengaruh sungai terhadap ragam kegiatan
produksi tadi dinilai ‘kuat’. Kegiatan penduduk cukup padat di sepanjang Sungai
Cimahi dan Sungai Citarum. Residual rumah tangga cukup besar yang dibuang ke
Sungai Cimahi. Berbeda dengan sepanjang Sungai Citarum. Sisi utara dan selatan
Sungai Citarum dipadati oleh pemukiman penduduk. Aktivitas transaksi cukup
padat. Aktivitas wisata tentu saja cukup banyak peminatnya. Semakin sore,
semakin banyak motor berdatangan ke lokasi Sungai Citarum untuk ‘wisata atau
olah raga mancing’, sehingga pengaruhnya dinilai ‘kuat’ bagi kegiatan penduduk.
Namun, kedua sungai itu juga membawa residual kegiatan produksi dan penduduk ke
Waduk Saguling. Residual berupa sedimentasi, sampah dan limbah pabrik, sehingga
pengaruhnya ‘kuat; terhadap besarnya residual yang dialirkannya.
Selain sungai, terdapat 4 komponen lain yang pengaruhnya ‘kuat’ terhadap kondisi lingkungan CBBB. Yaitu, kegiatan penduduk, pertambangan, energi listrik dan residual aktivitas produksi. Penduduk di CBBB terdiri dari penduduk Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Pertumbuhan penduduk menuntut kebutuhan lahan, sehingga pemukiman penduduk bertambah, dan tidak dapat dihindarkan mengarah pada lahan di pegunungan, terutama di Gunung Lagadar dan Gunung Selacau. Secara intuitif, pengaruhnya dinilai ‘cukup kuat’. Penduduk di sekitar CBBB memenuhi kebutuhannya dari produk yang tersedia di pasar. Pengaruhnya dinilai ‘kuat’ terhadap permintaan pasar untuk banyak jenis komoditi kebutuha rumah tangga. Aktivitas penduduk tentu saja sangat ditunjang oleh energi listri, dimulai dari bagian depan rumah hingga dapur mereka. Oleh karena itu pengaruhnya terhadap permintaan energi listrik yang disuplai oleh Indonesia Power dinilai ‘kuat’.
Kegiatan pertambangan, secara intensitas hanya memengaruhi dua komponen lingkungan CBBB, yaitu Gunung Lagadar dan Gunung Selacau, serta kebutuhan energi listrik. Kedua gunung itu menyimpan sumber daya mineral berupa batuan andesit. Dan, kegiatan eksploitasinya menggunakan pasokan energi listrik, sehingga pengaruh kegiatan pertambangan terhadap pegunungan dan energi listrik dinilai ‘kuat’.
Indonesia Power, saat kita berkunjung studi tahun 2016 bersama pembelajar ekonomi sumber daya alam dan lingkungan, mengeluhkan buruknya kualitas air dari Sungai Citarum. Kualitasnya buruk, karena ada sedimentasi, sampah rumah tangga dan limbah pabrik. Sehingga pada baris terakhir, residual aktivitas ekonomi dinilai ‘kuat’ pengaruhnya terhadap kelestarian CBBB. Pada kolom 8, ditunjukkan bahwa pengaruh dari kegiatan penduduk dan produksi dinilai ‘kuat’ terhadap produksi energi listrik. Tiga jenis residual tersebut dapat mempercepat korosi turbin, sehingga frekuensi dan biaya pemeliharaanya semakin sering dan mahal. Sementara pada baris 8, energi listri ini dinilai ‘kuat’ untuk menopang banyak komponen lingkungan: pasar, kegiatan produksi, penduduk, pertambangan, dan sosial budaya.
Setelah memahami intensitas interaksi antar komponen lingkungan pada CBBB, lantas muncul pertanyaan, komponen manakah yang dapat dijadikan indikator bagi kelestarian CBBB ? Jawabannya disajikan melalui Gambar 1. Gambar tersebut menampilkan pengaruh dan ketergantungan komponen lingkungan CBBB. Gambar tersebut adalah output dari metode MICMAC. Garis vertical atau tegak menunjukkan intensitas pengaruh, dan garis horizontal atau mendatar menunjukkan intensitas ketergantungan. Semakin ke atas posisi variabel, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Dan semakin ke kanan menunjukkan ketergantungan yang tinggi. Belajar dari Fauzi (2019), MICMAC adalah istilah popular atau kepanjangan dari matrix of cross impact multiplications applied to a classification. Dikembangkan oleh Michel Godet, awalnya dari ‘handbook strategi prospektif dari antisipasi menuju aksi’ Tahun 1991. Ia memperkenalkannya sebagai strategic foresight, fokus pada analisis scenario pembangunan. MICMAC banyak digunakan dalam berbagai studi kasus. Ahmed et al.,(2009) menggunakan MICMAC untuk mencari variabel-variabel atau indikator keberlanjutan yang sesuai dengan kondisi padang pasir di Mesir. Almeida dan Moraies (2013) menggunakannya untuk menentukan variabel-variabel teknologi yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan Arozamena et al.,(2012) menggunakan MICMAC untuk mengembangkan strategi keberlanjutan di wilatah industri. Penggunaan MICMAC untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kapasitas kelembagaan dilakukan oleh Delgado-Serano et al.,(2016) dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Meksiko, Kolombia, dan Argentina. Contoh lain penggunaan MICMAC untuk analisis keberlanjutan adalah model keberlanjutan pariwisata yang dilakukan oleh Jaziri dan Boussafa (2016), serta Paulus dan Fauzi (2017) untuk keberlanjutan masyarakat pesisir Nusa Tenggara. Veltmeyer dan Sahin (2014) menggunakan MICMAC untuk pemodelan adaptasi perubahan iklim, serta Teimouri dan Hodjati (2017) untuk pembangunan ruang terbuka hijau perkotaan.
Sumber : Hasi pengolahan dengan Matrix of Cross Multiplications applied to a Classification. Gambar 1. Pengaruh dan Ketergantungan Komponen Lingkungan CBBB |
1. Indikator keberhasilan dari pengelolaan kelestarian lingkungan CBBB adalah produksi pertanian yang mencakup perkembangan produksi holtikultura, perikanan, padi dan perkebunan.
2. Intervensi untuk pengelolaan kelestarian
lingkungan CBBB ada pada pengelolaan limbah manufaktur, pengelolaan energi
listrik Indonesia Power, kelestarian Sungai Cimahi dan Sungai Citarum, serta
agak mengherankan barangkali, yaitu pasar di Kota Bandung. Ketiga pasar lainya,
Cimahi-Kabupaten Bandung Barat-Kabupaten Bandung, punya pengaruh yang tinggi
juga terhadap kelestarian lingkungan CBBB, tapi pasar tersebut beserta
aktivitas penduduk, sangat tergantung juga pada system lingkungan CBBB.
Pemantauan
atau pengamatan terhadap produksi pertanian di CBBB sangat penting.
Interpretasi pemantauannya tidak hanya dari aspek ekonomi semata, yaitu untuk
memenuhi permintaan pasar, tapi perkembangan hasil panen ikan, padi,
holtikultura dan perkebunan, menjadi indicator apakah kualitas lingkungan CBBB
membaik atau sebaliknya menurun. Apabila hasil panennya mengalami penurunan,
maka memberikan isyarat bahwa kualitas lingkungan CBBB sedang mengalami
penurunan.
Pengelolaan
kelestarian lingkungan CBBB akan komplek. Pasalnya akan melibatkan lintas
otoritas daerah. Harus ada kerjasama terpadu dan padat koordinasi antara
Pemerintah Kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung dan
Kota Bandung. Pengelolan lintas otoritas daerah ini optimis dilakukan. Selain
itu, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1, banyak sumber daya dari sisi
kepemilikannya bersifat open access atau akses terbuka. Sifat akses terbuka
inilah yang menjadi sumber eksternalitas negatif. Penduduk dan para pelaku
ekonomi merasa punya hak atas sumber daya itu, dan tidak memiliki kewajiban
untuk memeliharanya.
Pada bulan
Juni 2018 telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 tentang Rencana
Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung sebagai komitmen pemerintah untuk
mewujudkan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung yang berdaya saing dan ramah
lingkungan. Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung mempunyai tiga peran utama di
tingkat nasional, yaitu peran ekonomi di mana kawasan ini memberikan kontribusi
3,3% dari PDB Nasional; peran lingkungan melalui konservasi air dan tanah ;
serta peran perkotaan untuk menahan
urban sprawl melalui konsep pembagian peran dan fungsi kota inti dan kota di
sekitarnya melalui pengembangan
Compact City. Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung selain sebagai rencana untuk menahan urban
sprawl melalui konsep pembagian peran dan fungsi kota inti dan kota di
sekitarnya, juga sebagai salah satu perangkat untuk mengendalikan alih fungsi
tanah di hulu dengan menetapkan kawasan hulu sebagai kawasan lindung dan budi
daya dengan intensitas rendah. Alasan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.
13 Tahun 2017 yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 45 Tahun
2018 adalah karena Pemerintah Pusat mempunyai Visi 2037 untuk Kawasan Perkotaan
Cekungan Bandung. Yaitu, “Mewujudkan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung yang
berkelas dunia sebagai pusat kebudayaan, pusat pariwisata, pusat kegiatan jasa
dan ekonomi kreatif nasional berbasis pendidikan tinggi dan industri
berteknologi tinggi yang berdaya saing dan ramah lingkungan.” Argumentasi
elinea ini saya kutip dari Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa
Barat (2019).
Epilog
Padatnya
penduduk di CBBB, supaya mereka sehat dan meningkat kualitas kemanusiannya,
memerlukan pengelolaan CBBB supaya lestari. Sistem lingkungan CBBB bekerja
diantara pegunungan, sumber daya air, pasar, manufaktur, pertanian, sumber daya
ikan, demografi, sumber daya mineral, budaya, energi listrik dan residu
kegiatan ekonomi. Kelestarian itu optimis untuk ditingkatkan. Indikatornya
tidak begitu banyak, yaitu dengan memahami perkembangan produksi komoditi
pertanian. Perkembangan produksinya tidak hanya menjadi cermin kemampuan lahan
CBBB memasuk komoditi pertanian, lebih dari itu membuka pengetahuan apa yang
terjadi dengan kelestarian CBBB. Kerjasama dan koordinasi empat pemerintah daerah
yang ‘masagi’ yang dibingkai oleh Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 harus
dicurahkan untuk mengelola energi listrik secara optimal, pengendalian
kebersihan Sungai Cimahi dan Citarum dari limbah manufaktur dan sampah
penduduk.
Referensi
Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa
Barat. (2019, Juli 23). cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional.
Retrieved from Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat:
http://dbmtr.jabarprov.go.id/cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional/
Sundaya, Y. (2021, Juli 6). Retrieved from Padepokan
Ekonomi: https://yuhkasundaya.blogspot.com/2021/06/momotoran-ke-cireundeu-masyarakat-adat.html
Tietenberg, T., & Lewis, L. (2018). Environmental
and Natural Resource Economics (11 ed.). New York: Routledge.
Wikipedia. (2021, Juli 5). Wiki. Retrieved
from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar