LINGKUNGAN DAN SUMBER DAYA DI CEKUNGAN BANDUNG BAGIAN BARAT

 

LINGKUNGAN DAN SUMBER DAYA DI CEKUNGAN BANDUNG BAGIAN BARAT

Bahan Pembelajaran Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan dengan Mahasiswa Tahun Akademik 2020/21

Yuhka Sundaya

Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Islam Bandung

Abstrak. Tulisan ini menampilkan pengetahuan yang disistematisir dari pengamatan dan informasi yang telah dipublikasikan oleh penulis lain sebelumnya. Hasilnya menampilkan bahwa sumber daya ikan, sumber daya air, ekosistem pegunungan, sumber daya mineral, yang berada pada area lingkungan Cekungan Bandung Bagian Barat (CBBB) itu menampilkan ketergantungan. Kelestarian sumber daya ikan pada Waduk Saguling yang seolah open access sangat tergantung pada kualitas air Sungai Citarum. Kelestarian Sungai Citarum memengaruhi produksi energi listrik Indonesia Power. Pencemaran dan sedimentasi terhadap Sungai Citarum dapat mempercepat korosi pada turbin penggerak energi listrik. Ekosistem pegunungan di CBBB memengaruhi kelestarian lingkungan. Kelestarian lingkungan di sekitar pegunungan dimanfaatkan oleh pertanian tanaman pangan (padi, holtikultura dan perkebunan), pemukiman penduduk dan bisnis tambang batuan. Gunung yang berada di samping utara Sungai Citarum seolah menahan tekanan air secara langsung terhadap Sungai Citarum. CBBB berada pada irisan wilayah administratif Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat, sehingga pengelolaan CBBB agar lestari dan memberikan manfaat bagi masyarakat memerlukan koordinasi pengelolaan dari ketiga daerah tersebut.
Keywords:      Q57 Ecological Economics: 
                         Ecosystem Services • Biodiversity Conservation • Bioeconomics • Industrial Ecology

Prolog

Manusia, dengan kapasitasnya, harus memahami cara kerja ekosistem. Ketika kita memahami topik manusia dengan lingkungan pada Tietenberg dan Lewis (2018), kita membatasi pemahaman kita tentang lingkungan. Lingkungan dipandang sebagai komposisi asset. Lingkungan ditampilkan sebagai semesta yang membingkai bagian luar ekonomi yang menyediakan input berupa energi, udara, bahan baku, air dan kenyamanan, sebagai sistem penunjang hidup (life-support systems). Mereka juga mengatakan bahwa sebagai asset, maka nilainya harus terus ditingkatkan dalam menyajikan estetika dan sistem keberlangsungan hidup. Jika kita pahami dari Wikipedia, energi, udara, air, dan kenyamanan (iklim, kelembaban, cahaya, bunyi), dapat dikategorikan unsur ‘abiotik’, sedangkan bahan baku, yang mungkin maksudnya adalah mencakup tumbuh-tumbuhan dan hewan, ini disebut dengan unsur ‘biotik’. Mikrorganisme, seperti virus dan bakteri, juga termasuk unsur ‘biotik’. Pengetahuan manusia tentang lingkungan akan memengaruhi bagaimana mereka memperlakukan lingkungan dimana kita hidup dan berkembang, baik dalam fungsinya sebagai individu maupun pelaksana dan pengambil keputusan pada sebuah lembaga negara, sosial ataupun bisnis.

Unsur biotik dan abiotic saling terkait satu sama lain. Manusia memerlukan makanan, misalnya beras. Beras sumbernya dari tanaman padi. Pertumbuhan padi bergantung pada iklim, mikroorganisme, air, sinar matahari, yang semuanya berkelindan dalam proses biologi. Jika pasokan air irigasi yang bersumber dari daerah lain, tercemar misalnya oleh limbah pabrik, maka akan mengganggu proses biologinya, dan berpengaruh pada hasil panen yang ditargetkan atau diharapkan. Pada contoh sederhana ini, tersirat bahwa pemanfaatan sumber daya air sungai yang bersifat akses terbuka dan sumber daya lahan, tidaklah berdiri sendiri, satu sama lain saling terkait. Jadi pengelolaan sumber daya alam, apapun jenisnya, harus berawal dari cara kerja lingkungan.

Tulisan ini menampilkan hasil pemikiran yang Saya sistematisir dari hasil pengamatan terhadap lingkungan di Cekungan Bandung Bagian Barat. Uraian dari pengamatan tersebut telah dipublikasikan pada tulisan bertajuk “Momotoran Ke Cireundeu: Masyarakat Adat di Tengah Kota”[1]. Lingkungan CBBB memiliki beragam sumber daya, oleh karena itu Saya memandang perlu untuk menampilkan pemahaman dalam konteks ‘lingkungan’ yang menjadi introduksi tulisan ini. Harapannya, pikiran pada pengelolaan sumber daya alam tertentu, tidak berdiri sendiri, melainkan dipahami dalam konteks semesta yang membingkai sumber daya alam tersebut, yaitu apa yang disebut interaksinya dalam ‘sistem lingkungan’.

Interaksi Sub Sistem Lingkungan Cekungan Bandung Bagian Barat

            Interaksi sub system lingkungan di Cekungan Bandung Bagian Barat diperagakan melalui Tabel 1. Lingkungan didefinisikan melalui 11 tema, yaitu pegunungan, sumber daya air, pasar, manufaktur, pertanian, sumber daya ikan, demografi, sumber daya mineral, budaya, energi listrik, dan residu kegiatan ekonomi. Setiap tema direpresentasikan oleh wujud atau keberadaanya masing-masing, sehingga memudahkan untuk menampilkan variabel yang relevan dengan representasinya. Secara keseluruhan diidentifikasi 23 variabel yang berinteraksi dalam lingkungan CBBB. Dari aspek sumber daya alam, CBBB memiliki 5 jenis sumber daya alam, yaitu pegunungan, sumberdaya air, sumber daya perikanan, dan sumber daya mineral. Aktivitas ekonomi di CBBB disederhakan menjadi aktivitas pasar, manufaktur atau industri pengolahan, dan pertanian. Sumber daya air yang dimaksud adalah sumber daya air permukaan dari Sungai Citarum yang berfungsi, di bagian hulunya, sebagai budidaya perikanan dan penggerak turbin pada power house di Indonesia Power. Indonesia Power memroduksi listrik untuk memenuhi kebutuhan Jawa-Bali. Residu kegiatan ekonomi, berupa sampah, limbah dan sedimentasi mengalir melalui Sungai Cimahi dan Sungai Citarum. Sungai Cimahi membentang dari Gunung Burangrang melewati Kota Cimahi, dan mengitari Gunung Lagadar Desa Cikuya, kemudian berakhir di Sungai Citarum.

Tabel 1. Sub Sistem Lingkungan Cekungan Bandung Bagian Barat
Sumber : Hasil Pengamatan











            Pegunungan, sumber daya air, sumber daya ikan, sumber daya mineral, dan sumber daya energi listrik. Terdapat 3 gunung. Secara berurutan adalah Gunung Lagadar, Gunung Salam, dan Gunung Selacau. Setiap gunung memiliki jasa lingkungan atau apa yang disebut Tietenberg dan Lewis (2018) sebagai life-support systems dan punya fungsi rekreasional. Gunung Lagadar dan Selacau menyimpan nilai sumber daya mineral. Sumber daya mineral berupa batuan andesit ini terlihat secara kasat mata telah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan tambang. Batu andesit adalah batuan berbutir halus yang terbentuk saat magma meletus ke permukaan dan mengkristal dengan cepat. Artinya, Cekungan Bandung, ribuan tahun yang lalu adalah sebuah gunung berapi yang besar, sehingga meninggalkan kesuburan lahan dan banyak sumber mineral. Lain halnya dengan Gunung Salam. Mungkin di dalam gunung itu ada batuan andesit juga. Tapi Masyarakat Adat Cireundeu memeliharanya untuk fungsi jasa lingkungan. Disana adalah letak apa yang disebut dengan ‘hutan larangan’. Mata air di Gunung Salam terpelihara, dan masih hidup satwa liar yang menjadi bagian dari siklus hidup hutan. Dari puncak Gunung Salam, terlihat jelas dua tetangga gunung ini, yaitu Gunung Lagadar dan Selacau, seperti membentuk segitiga.

            Interaksi komponen lingkungan CBBB coba dikuantifisir secara kualitatif pada Tabel L1. Table itu Saya sajikan sebagai lampiran tulisan ini, supaya ‘cukup enak’ dilihatnya secara lansekap. Ringkasannya disajikan pada Tabel 2. Ada du acara memahami interaksi pada matrik tersebut. Angka pada matrik tersebut menunjukkan skor. “1” menunjukkan pengaruh yang ‘lemah’, “2” menunjukkan pengaruh ‘cukup kuat’, dan “3” menunjukkan pengaruh yang ‘kuat’. Data intensitas pengaruhnya memang masih dibilang lemah, karena berdasarkan pengamatan empiris selama 2 bulan dan mengandalkan informasi sekunder. Secara baris, dapat diartikan sebagai supply atau memengaruhi, secara kolom dapat diartikan demand atau dipengaruhi. Pada baris pertama, contohnya, keberadaan gunung memengaruhi sungai, kegiatan produksi, aktivitas penduduk, pertambangan, social dan budaya, residual. Gunung memberikan pengaruh ‘kuat’ terhadap kondisi sungai. Di bawah kaki Gunung Lagadar, di sisi sebelah timur dikelilingi oleh Sungai Cimahi, sehingga terdapat limpahan tanah dari lereng gunung yang masuk ke dalam aliran Sungai Cimahi, kemudian menambah sedimentasi terhadap Sungai Citarum. Pengaruh yang ‘kuat’ juga terjadi dengan penduduk dan pertambangan batu andesit. Kenapa? Gunung memberikan kenyamanan bagi penduduk di sekitar Gunung Lagadar, Gunung Salam dan Gunung Selacau. Udara yang sejuk dan pasokan air adalah jasa gunung yang diberikan kepada penduduk. Pengaruh ‘kuat’ keberadaan gunung adalah Gunung Salam bagi Masyarakat Adat Cireundeu. Gunung Salam tidak dieskploitasi sumber daya mineralnya, melainkan dipelihara sebagai hutan lindung dan upacara agama tertentu. Sementara dua gunung lainya dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan saja, sehingga efek kenyamanannya bagi penduduk jauh lebih rendah dibandingkan Gunung Salam. Dengan demikian, pengaruhnya dikategorikan ‘cukup kuat’. Karena 2 gunung dari 3 gunung digunakan untuk pertambangan, maka pengaruh gunung ini ‘kuat’ sebagai sumber daya alam yang memasok produksi batuan andesit.

Tabel 2. Intensitas Interaksi Komponen Lingkungan CBBB
Sumber : Hasil pengamatan dan literasi










Pengaruh gunung ‘cukup kuat’ terhadap komponen lingkungan lain: kegiatan produksi, sosial budaya dan residual.  Gunung Lagadar memengaruhi kegiatan pertanian, yaitu holtikultura, padi, dan perkebunan. Sebelah selatan Gunung Lagadar terdapat kegiatan tanaman pangan holtikultura dan sawah, serta perkebunan. Namun luasnya tidak begitu besar. Hampir sama dengan fungsi Gunung Selacau. Hanya luasan sawah dan perkebunannya cukup luas, sehingga pengaruhnya ‘cukup kuat’ terhadap kegiatan produksi pertanian. Sementara itu, Gunung Salam lebih dominan digunakan untuk kegiatan produksi perkebunan, khususnya singkong atau ketela pohon sebagai makanan pokok Masyarakat Adat Cireunde. Secara keseluruhan, pada Tabel 2, maka pengaruh gunung terhadap kegiatan produksi dan pertambangan dikategorikan ‘cukup kuat’. Gunung juga memberikan residual berupa sedimentasi tanah, hanya pengarunya ‘lemah’.

Pengaruh sungai terhadap lingungan CBBB dinilai ‘kuat’. Sungai Cimahi menambah debit air Sungai Citarum. Sungai Cimahi juga menjadi sumber air untuk kegiatan usaha holtikultura, padi sawah dan perkebunan. Kegiatan perikanan berada di hilir Sungai Citarum atau yang disebut dengan Waduk Saguling. Oleh karena itu pengaruh sungai terhadap  ragam kegiatan produksi tadi dinilai ‘kuat’. Kegiatan penduduk cukup padat di sepanjang Sungai Cimahi dan Sungai Citarum. Residual rumah tangga cukup besar yang dibuang ke Sungai Cimahi. Berbeda dengan sepanjang Sungai Citarum. Sisi utara dan selatan Sungai Citarum dipadati oleh pemukiman penduduk. Aktivitas transaksi cukup padat. Aktivitas wisata tentu saja cukup banyak peminatnya. Semakin sore, semakin banyak motor berdatangan ke lokasi Sungai Citarum untuk ‘wisata atau olah raga mancing’, sehingga pengaruhnya dinilai ‘kuat’ bagi kegiatan penduduk. Namun, kedua sungai itu juga membawa residual kegiatan produksi dan penduduk ke Waduk Saguling. Residual berupa sedimentasi, sampah dan limbah pabrik, sehingga pengaruhnya ‘kuat; terhadap besarnya residual yang dialirkannya.

Selain sungai, terdapat 4 komponen lain yang pengaruhnya ‘kuat’ terhadap kondisi lingkungan CBBB. Yaitu, kegiatan penduduk, pertambangan, energi listrik dan residual aktivitas produksi. Penduduk di CBBB terdiri dari penduduk Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Pertumbuhan penduduk menuntut kebutuhan lahan, sehingga pemukiman penduduk bertambah, dan tidak dapat dihindarkan mengarah pada lahan di pegunungan, terutama di Gunung Lagadar dan Gunung Selacau. Secara intuitif, pengaruhnya dinilai ‘cukup kuat’. Penduduk di sekitar CBBB memenuhi kebutuhannya dari produk yang tersedia di pasar. Pengaruhnya dinilai ‘kuat’ terhadap permintaan pasar untuk banyak jenis komoditi kebutuha rumah tangga. Aktivitas penduduk tentu saja sangat ditunjang oleh energi listri, dimulai dari bagian depan rumah hingga dapur mereka. Oleh karena itu pengaruhnya terhadap permintaan energi listrik yang disuplai oleh Indonesia Power dinilai ‘kuat’.

Kegiatan pertambangan, secara intensitas hanya memengaruhi dua komponen lingkungan CBBB, yaitu Gunung Lagadar dan Gunung Selacau, serta kebutuhan energi listrik.  Kedua gunung itu menyimpan sumber daya mineral berupa batuan andesit. Dan, kegiatan eksploitasinya menggunakan pasokan energi listrik, sehingga pengaruh kegiatan pertambangan terhadap pegunungan dan energi listrik dinilai ‘kuat’.

Indonesia Power, saat kita berkunjung studi tahun 2016 bersama pembelajar ekonomi sumber daya alam dan lingkungan, mengeluhkan buruknya kualitas air dari Sungai Citarum. Kualitasnya buruk, karena ada sedimentasi, sampah rumah tangga dan limbah pabrik. Sehingga pada baris terakhir, residual aktivitas ekonomi dinilai ‘kuat’ pengaruhnya terhadap kelestarian CBBB. Pada kolom 8, ditunjukkan bahwa pengaruh dari kegiatan penduduk dan produksi dinilai ‘kuat’ terhadap produksi energi listrik. Tiga jenis residual tersebut dapat mempercepat korosi turbin, sehingga frekuensi dan biaya pemeliharaanya semakin sering dan mahal. Sementara pada baris 8, energi listri ini dinilai ‘kuat’ untuk menopang banyak komponen lingkungan: pasar, kegiatan produksi, penduduk, pertambangan, dan sosial budaya.

Setelah memahami intensitas interaksi antar komponen lingkungan pada CBBB, lantas muncul pertanyaan, komponen manakah yang dapat dijadikan indikator bagi kelestarian CBBB ? Jawabannya disajikan melalui Gambar 1. Gambar tersebut menampilkan pengaruh dan ketergantungan komponen lingkungan CBBB. Gambar tersebut adalah output dari metode MICMAC. Garis vertical atau tegak menunjukkan intensitas pengaruh, dan garis horizontal atau mendatar menunjukkan intensitas ketergantungan. Semakin ke atas posisi variabel, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Dan semakin ke kanan menunjukkan ketergantungan yang tinggi. Belajar dari Fauzi (2019), MICMAC adalah istilah popular atau kepanjangan dari matrix of cross impact multiplications applied to a classification. Dikembangkan oleh Michel Godet, awalnya dari ‘handbook strategi prospektif dari antisipasi menuju aksi’ Tahun 1991. Ia memperkenalkannya sebagai strategic foresight, fokus pada analisis scenario pembangunan. MICMAC banyak digunakan dalam berbagai studi kasus. Ahmed et al.,(2009) menggunakan MICMAC untuk mencari variabel-variabel atau indikator keberlanjutan yang sesuai dengan kondisi padang pasir di Mesir. Almeida dan Moraies (2013) menggunakannya untuk menentukan variabel-variabel teknologi yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan Arozamena et al.,(2012) menggunakan MICMAC untuk mengembangkan strategi keberlanjutan di wilatah industri. Penggunaan MICMAC untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kapasitas kelembagaan dilakukan oleh Delgado-Serano et al.,(2016) dalam konteks pengelolaan sumber daya alam di Meksiko, Kolombia, dan Argentina. Contoh lain penggunaan MICMAC untuk analisis keberlanjutan adalah model keberlanjutan pariwisata yang dilakukan oleh Jaziri dan Boussafa (2016), serta Paulus dan Fauzi (2017) untuk keberlanjutan masyarakat pesisir Nusa Tenggara. Veltmeyer dan Sahin (2014) menggunakan MICMAC untuk pemodelan adaptasi perubahan iklim, serta Teimouri dan Hodjati (2017) untuk pembangunan ruang terbuka hijau perkotaan.

Sumber : Hasi pengolahan dengan Matrix of Cross Multiplications applied to a Classification.          
Gambar 1. Pengaruh dan Ketergantungan Komponen Lingkungan CBBB

 



















Gambar 1 terdiri dari 4 kuadran. Kuadran 1, kiri atas, menampilkan key driver atau tempat berkumpulnya variabel dengan pengaruh yang tinggi, tapi ketergantungannya rendah dalam system, dalam hal ini adalah system lingkungan CBBB. Kuadran 2, kanan atas, menampilkan relay variabel, yaitu tempat berkumpulnya variabel dengan pengaruh yang tinggi, sekaligus ketergantungannya juga tinggi. Kuadran 3, di bawah kuadran 2 (kanan bawah) menunjukkan variabel dependensi, yaitu tempat berkumpulnya variabel yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap system, dan pengaruhnya rendah. Kuadran 4, kiri bawah, menunjukkan variabel yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang rendah terhadap system. Atau, disebut dengan variabel otonom, atau boleh juga disebut variabel eksogenus. Analisis demikian bekerja dengan menggunakan algoritma matrik Boolean. Matrik Boolean memroses matrik pengaruh langsung yang disajikan pada Tabel 2, dan lengkapnya pada Tabel L1, menjadi matrik yang menampilkan hubungan tidak langsung dari setiap komponen lingkungan CBBB.

            Informasi penting yang dapat kita tarik dari Gambar 1 adalah :

1.  Indikator keberhasilan dari pengelolaan kelestarian lingkungan CBBB adalah produksi pertanian yang mencakup perkembangan produksi holtikultura, perikanan, padi dan perkebunan.

2. Intervensi untuk pengelolaan kelestarian lingkungan CBBB ada pada pengelolaan limbah manufaktur, pengelolaan energi listrik Indonesia Power, kelestarian Sungai Cimahi dan Sungai Citarum, serta agak mengherankan barangkali, yaitu pasar di Kota Bandung. Ketiga pasar lainya, Cimahi-Kabupaten Bandung Barat-Kabupaten Bandung, punya pengaruh yang tinggi juga terhadap kelestarian lingkungan CBBB, tapi pasar tersebut beserta aktivitas penduduk, sangat tergantung juga pada system lingkungan CBBB.           

Pemantauan atau pengamatan terhadap produksi pertanian di CBBB sangat penting. Interpretasi pemantauannya tidak hanya dari aspek ekonomi semata, yaitu untuk memenuhi permintaan pasar, tapi perkembangan hasil panen ikan, padi, holtikultura dan perkebunan, menjadi indicator apakah kualitas lingkungan CBBB membaik atau sebaliknya menurun. Apabila hasil panennya mengalami penurunan, maka memberikan isyarat bahwa kualitas lingkungan CBBB sedang mengalami penurunan.

Pengelolaan kelestarian lingkungan CBBB akan komplek. Pasalnya akan melibatkan lintas otoritas daerah. Harus ada kerjasama terpadu dan padat koordinasi antara Pemerintah Kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Pengelolan lintas otoritas daerah ini optimis dilakukan. Selain itu, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1, banyak sumber daya dari sisi kepemilikannya bersifat open access atau akses terbuka. Sifat akses terbuka inilah yang menjadi sumber eksternalitas negatif. Penduduk dan para pelaku ekonomi merasa punya hak atas sumber daya itu, dan tidak memiliki kewajiban untuk memeliharanya.

Pada bulan Juni 2018 telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung sebagai komitmen pemerintah untuk mewujudkan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung yang berdaya saing dan ramah lingkungan. Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung mempunyai tiga peran utama di tingkat nasional, yaitu peran ekonomi di mana kawasan ini memberikan kontribusi 3,3% dari PDB Nasional; peran lingkungan melalui konservasi air dan tanah ; serta  peran perkotaan untuk menahan urban sprawl melalui konsep pembagian peran dan fungsi kota inti dan kota di sekitarnya melalui pengembangan  Compact  City. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung selain sebagai rencana untuk menahan urban sprawl melalui konsep pembagian peran dan fungsi kota inti dan kota di sekitarnya, juga sebagai salah satu perangkat untuk mengendalikan alih fungsi tanah di hulu dengan menetapkan kawasan hulu sebagai kawasan lindung dan budi daya dengan intensitas rendah. Alasan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 13 Tahun 2017 yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 adalah karena Pemerintah Pusat mempunyai Visi 2037 untuk Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung. Yaitu, “Mewujudkan Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung yang berkelas dunia sebagai pusat kebudayaan, pusat pariwisata, pusat kegiatan jasa dan ekonomi kreatif nasional berbasis pendidikan tinggi dan industri berteknologi tinggi yang berdaya saing dan ramah lingkungan.” Argumentasi elinea ini saya kutip dari Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat (2019).

Epilog

        Padatnya penduduk di CBBB, supaya mereka sehat dan meningkat kualitas kemanusiannya, memerlukan pengelolaan CBBB supaya lestari. Sistem lingkungan CBBB bekerja diantara pegunungan, sumber daya air, pasar, manufaktur, pertanian, sumber daya ikan, demografi, sumber daya mineral, budaya, energi listrik dan residu kegiatan ekonomi. Kelestarian itu optimis untuk ditingkatkan. Indikatornya tidak begitu banyak, yaitu dengan memahami perkembangan produksi komoditi pertanian. Perkembangan produksinya tidak hanya menjadi cermin kemampuan lahan CBBB memasuk komoditi pertanian, lebih dari itu membuka pengetahuan apa yang terjadi dengan kelestarian CBBB. Kerjasama dan koordinasi empat pemerintah daerah yang ‘masagi’ yang dibingkai oleh Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2018 harus dicurahkan untuk mengelola energi listrik secara optimal, pengendalian kebersihan Sungai Cimahi dan Citarum dari limbah manufaktur dan sampah penduduk.

Penutup demikian, tentu masih diragukan tingkat signifikansinya, mengingat intensitas interaksi komponen lingkungan hidup CBBB hanya berdasarkan pengamatan yang acak dan berbasis literatur. Ke depan, untuk meningkatkan signifikansinya, perlu digali metode yang lebih sofistik agar merepresentasikan dengan kuat intensitas interaksinya.


Referensi

Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat. (2019, Juli 23). cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional. Retrieved from Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat: http://dbmtr.jabarprov.go.id/cekungan-bandung-kawasan-strategis-nasional/

Sundaya, Y. (2021, Juli 6). Retrieved from Padepokan Ekonomi: https://yuhkasundaya.blogspot.com/2021/06/momotoran-ke-cireundeu-masyarakat-adat.html

Tietenberg, T., & Lewis, L. (2018). Environmental and Natural Resource Economics (11 ed.). New York: Routledge.

Wikipedia. (2021, Juli 5). Wiki. Retrieved from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Lingkungan











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Verifikasi Google

  google-site-verification: google67145768451a2970.html