HARGA BBM DAN KESEIMBANGAN BIOECONOMIC INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP : Suatu Kerangka Teoritis
Yuhka SundayaArtikel ini Saya tulis ketika memelajari ekonomi produksi yang diaplikasikan pada masalah perikanan tangkap Tahun 2005.
1. Latar Belakang Masalah
Pencabutan subsidi berbagai jenis bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah telah menyebabkan kenaikan harga BBM. BBM merupakan faktor produksi yang digunakan oleh hampir seluruh sektor ekonomi, sehingga kenaikan harga BBM dapat mendorong kenaikan dalam biaya total setiap sektor ekonomi, baik yang terkait dengan biaya produksi maupun biaya distribusinya. Secara aggregat kebijakan tersebut menyebabkan guncangan (shock) terhadap perekonomian nasional.
Dampak kenaikan harga BBM banyak pula dirasakan oleh nelayan dan perusahaan penangkapan ikan sebagai pelaku dalam industri perikanan tangkap. Input ini memengaruhi jarak jangkau pada zona penangkapan ikan tertentu di pesisir maupun samudra. Dikarenakan kekurangan aksesibilitas nelayan terhadap Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan (SPBBN) atau Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN), kenyataannya pelaku harvesting menerima harga BBM yang lebih mahal. Misalnya saja, di daerah Serang harga eceran solar mencapai Rp.2.400,- per liter sedangkan di daerah Kalipucang Kabupaten Ciamis pada tahun 2003 harga eceran solar per liter mencapai Rp.2.500. Sedangkan harga bensin oplosan untuk menghemat penggunaan oli mencapai Rp.3.000,- di daerah Cilacap.[1] Kalaupun harvester tidak membeli dari para tengkulak, maka mereka terpaksa menambah tambahan biaya transportasi. Dengan demikian tidak ada pilihan yang menguntungkan buat nelayan untuk membeli BBM dengan harga standar.
Oleh karena itu Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini mengeluarkan kebijakan, yang salah satunya adalah mempercepat dan memperbanyak pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN). Sementara itu DKP sendiri membangun upaya yang salah satunya adalah mengusulkan alokasi dana subsidi BBM kepada Menko Ekuin dan Menteri BAPPENAS sebesar Rp 600 Milyar.
Pada pihak lain, operasi penangkapan ikan terkait dengan kelestarian biodiversity laut dan pesisir atau cadangan ikan laut. Perilaku harvesting industri perikanan laut ditentukan pula oleh rezim kepemilikan sumberdaya laut dan pesisir (SDLP). Menurut Hardin dalam Daryanto (2004), rezim open access dapat mempercepat pengurasan cadangan suatu sumberdaya dibandingkan dengan rezim private property rights. Sementara rezim yang terakhir, efisien secara ekonomi, namun tidak menjamin adanya pemerataan manfaat suatu sumberdaya. Sementara itu salah satu tujuan pembangunan SDLP di Indonesia adalah memelihara kelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity) laut dan pesisir, sehingga penting untuk dikaji berbagai dampak kebijakan ekonomi dan status kepemilikan SDLP terhadap keseimbangan bioeconomic industri perikanan tangkap.
2. Perumusan Masalah
Secara deduktif, bagaimanakah kenaikan harga BBM pada industri perikanan tangkap dijelaskan secara teoritis dalam konteks yang lebih luas kepada aspek kelestarian sumber daya perikanan laut ?
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam paper ini adalah melakukan ekplorasi teoritis dalam rangka memahami aspek produksi dan kelestarian sumber daya perikanan laut.
4. Manfaat
Hasil eskplorasi teoritis memiliki kontribusi terhadap manfaat disipliner, yaitu pada metode penelitian untuk melakukan penelitian empiris.
4. Kerangka Pemikiran Teoritis
4.1 Konsep Keseimbangan Bioeconomic Industri Perikanan Laut Tangkap dalam Dua Tipe Status Kepemilikan
Keseimbangan bioecnomic yaitu sebuah keseimbangan yang mengkombinasikan faktor biologis dengan faktor ekonomis. Keseimbangan bioeconomic merupakan eksploitasi optimum sektor atau industri perikanan laut dari sudut pandang biologi maupun sosial ekonomi (Fauzi, 2004 dan Hartwick, 1998).
Gambar 1 menjelaskan dengan ringkas konsep keseimbangan bioeconomic industri perikanan tangkap secara grafis. Panel [a] menggambarkan sebuah fungsi produksi atau hasil tangkapan ikan. Dimana fungsi produksi adalah hubungan teknis yang mentransformasi input menjadi output atau dalam hal ini adalah komoditi ikan laut (KIL) (Debertin, 1986, 41). Coelli et al, (1998, 12) mengartikan pula bahwa fungsi produksi merupakan output maksimum yang dapat dicapai dari vektor input tertentu. Fungsi produksi tersebut diasumsikan memiliki sifat diminishing return atau hasil fisik yang semakin berkurang yang menjelaskan hubungan bahwa ketika penggunaan input terus meningkat, maka tambahan output akan semakin menurun. Operasi penangkapan pelaku industri perikanan tangkap diasumsikan hanya dideterminasi oleh BBM (B) dan tenaga kerja (L) saja yang saling melengkapi atau komplementer. Dalam jangka pendek jumlah kapal atau armada dan berbagai jenis dan jumlah alat tangkap yang merupakan komponen effort tidak berubah, sehingga total physical product (TPP) atau jumlah output secara fisik diekspresikan sebagai berikut :
TPP = f(B, L) [a]
Dimana TPP mencerminkan hasil tangkapan ikan dalam satuan ton, B adalah jumlah BBM dalam satuan liter dan L adalah jumlah tenaga kerja dalam satuan orang.
Panel [a] menunjukkan total revenue atau total value product (TVP) dan lebih spesifik lagi diartikan sebagai nilai hasil tangkapan ikan laut yang diperoleh dari penjualan komoditi ikan laut oleh pelaku industri perikanan tangkap, sehingga secara matematis TVP diekspresikan sebagai berikut :
TVP = Po.TPP [b]
Dimana Po adalah harga pasar komoditi ikan laut yang berlaku pada pasar output atau komoditi ikan laut yang bersaing sempurna yang bersifat konstan, sedangkan TPP adalah total physical product atau jumlah output secara fisik yang telah dispesifikasi sebelumnya.
TFC dalam panel [a] adalah total factor cost atau total resource cost yang menunjukkan biaya total penangkapan ikan industri perikanan tangkap. Ketika industri perikanan tangkap hanya menggunakan BBM dan tenaga kerja, dan diasumsikan pasar kedua input ini bersaing sempurna, maka TFC diekspresikan sebagai berikut :
TFC = VBo.B + VLo.L [c]
TFC merupakan penjumlahan dari pengeluaran atas penggunaan sejumlah input B dan L yang digunakan oleh industri perikanan tangkap. Dimana VBo adalah harga input BBM dalam kondisi pasar BBM yang bersaing sempurna dan VLo adalah upah tenaga kerja dalam kondisi pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna.
Panel [b] menggambarkan value marginal product (VMP), average value product (AVP) dan marginal factor cost (MFC) yang akan menjelaskan bagaimana industri perikanan tangkap menentukan jumlah input dan harga outputnya untuk memperoleh keuntungan dari operasi penangkapan ikan. Secara umum VMPi adalah penerimaan uang yang dicapai dari tambahan unit input ke-i atau nilai terhadap pengusaha dari tambahan unit input ke-i, ketika output di jual pada harga yang konstan (Po). Secara matematis VMPi merupakan turunan pertama suatu fungsi produksi terhadap suatu input. AVPi adalah penerimaan rata-rata uang dari penggunaan satu satuan input ke-i. AVPi merupakan rasio antara TVP dengan input ke-i. Sedangkan MFCi adalah tambahan biaya dari tambahan unit input ke-i, yang secara matematis diperoleh dari turunan pertama TFC yang bersifat linear, sehingga MFCi akan bersifat konstan atau secara grafis akan berbentuk garis lurus horizontal (Debertin, 1986; 44)
Pada panel [b], VMPB adalah tambahan penerimaan uang dari tambahan unit penggunaan BBM, AVPB adalah penerimaan rata-rata uang dari penggunaan satu satuan BBM dan MFCB adalah tambahan biaya uang dari tambahan penggunaan satu satuan BBM.[2]
Menurut Hartwick (1997, 104-118) dan Fauzi (2004), jika suatu sumberdaya dimiliki oleh sole owner atau dimiliki secara private (private property rights - PP), maka pelaku industri perikanan tangkap akan memaksimisasi keuntungan ketika tambahan penerimaan (marginal revenue) sama dengan tambahan pengeluaran (marginal cost). Dalam panel [b] marginal revenue sepadan (equivalen) dengan VMP, sedangkan marginal cost sepadan dengan MFC. Dalam pasar input yang bersaing sempurna, MFC bersifat konstan atau sama dengan harga inputnya (V). Dalam pasar BBM, PERTAMINA tidak akan mengubah harganya untuk berapapun jumlah BBM yang dibeli. Dengan demikian dalam status kepemilikan private propverty, pelaku industri perikanan tangkap akan menggunakan BBM (B) sebesar 0B1PP, yaitu ketika VMPB berpotongan dengan MFCB atau VB. Sehingga total cost operasi penangkapan ikan sebesar 0B1PPMVB. Pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan ini akan menetapkan harga komoditi ikan laut sebesar 0P1PP, yang disesuaikan dengan kurva permintaan outputnya atau sepadan dengan kurva AVPB. Dengan demikian pelaku industri perikanan tangkap akan memperoleh penerimaan sebesar 0B1PPNP1PP, sehingga keuntungan yang diperoleh sebesar VBMNP1PP (selisih penerimaan dengan pengeluaran). Dimana nilai hasil tangkapan yang telah mendukung keuntungan tersebut ditunjukkan dalam panel [a], yaitu sebesar 0TVP1PP.[3]
Selanjutnya, jika suatu sumberdaya tidak dimiliki secara private atau terbuka untuk umum (open access-OA) yang berarti siapapun boleh masuk dalam kegiatan penangkapan ikan di laut dan pesisir, maka pelaku industri perikanan tangkap akan memaksimisasi keuntungan ketika total revenue sama dengan total cost. Dalam panel [b] perilaku ini ditunjukkan ketika penerimaan average revenue sama dengan marginal cost. Dimana average revenue tersebut sepadan dengan AVPB dan marginal cost sepadan dengan MFCB. Oleh karena itu ketika AVPB berpotongan dengan MFCB, maka pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open acces akan menggunakan BBM (B) sebanyak 0B1OA. Dan harga komoditi ikan laut yang ditawarkan sama dengan tambahan biaya uang atas penggunaan satu satuan BBM (MFCB). Dengan demikian pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan ini akan memperoleh keuntungan sebesar 0 (nol), karena penerimaan dan pengeluaran sama besarnya yaitu sebesar 0B1OALVB. Dimana nilai hasil tangkapan yang telah mendukung keuntungan tersebut ditunjukkan dalam panel [a] sebesar 0TVP1OA.
Panel [c] mencerminkan kondisi stok ikan laut yang dipengaruhi oleh jumlah tangkapan ikan dalam operasi penangkapan ikan oleh pelaku industri perikanan tangkap dan kondisi biologis ikan Dengan asumsi kapasitas stok ikan laut berada dalam kondisi carrying capacity (0Xcc) atau stok ikan tidak mengalami pertumbuhan lagi (F(x) = 0), maka hasil tangkapan oleh pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open acces sebesar 0TPP1OA akan menghabiskan seluruh stok ikan tersebut, sedangkan hasil tangkapan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private property sebesar 0TPP1PP akan menyisakan stok ikan sebesar 0X1 atau 0XMSY dengan kondisi tingkat pertumbuhan ikan laut mencapai titik yang maksimum (maximum sustainable yield). Dimana pada tingkat hasil tangkapan terakhir ini menyebabkan adanya penurunan persaingan makanan bagi populasi ikan pada ekosistem tertentu, sehingga memungkinkan populasi ikan tumbuh secara maksimum (Fauzi, 2004 dan Harwick, 1997; 101-104).
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa penggunaan BBM oleh pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan laut yang dikelola secara private lebih kecil dibandingkan dengan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan laut open access. Hasilnya, pertama, pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private akan memperoleh keuntungan positif, sedangkan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open access keuntungannya sama dengan nol (0), dan kedua, dilihat dari aspek kelestarian stok ikan laut, nampaknya pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private dapat melestarikan stok ikan laut dibandingkan dengan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open access. Jumlah tangkapan ikan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan laut yang bersifat private lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah tangkapan ikan dengan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open access.
4.2 Pengaruh subsidi BBM dan Perluasan SPDN terhadap Keseimbangan bioeconomic Industri Perikanan Laut Tangkap dalam Status Kepemilikan Private dan Open Acces
Gambar 2. Dampak Subsidi BBM terhadap Keseimbangan bioeconomic Industri Perikanan Laut
Sementara itu jika status kepemilikan bersifat open access (OA), dalam panel [b] ditunjukkan penggunaan BBM pelaku industri perikanan tangkap akan sebesar 0B1OA yang mana harga komoditi ikan setara dengan harga BBM ditambah dengan margin dari tengkulak (VB – S+MT). Penggunaan BBM dalam status kepemilikan open access lebih besar dibandingkan dalam sifat kepemilikan private. Dalam panel [a], dengan penggunaan BBM sebesar 0B1OA, para pelaku industri perikanan tangkap akan memperoleh nilai hasil tangkapan ikan laut sebesar 0TVP1OA, lebih besar dari nilai hasil tangkapan dalam sifat kepemilikan private. Namun demikian dalam panel [b], pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open access tidak akan memperoleh keuntungan positif. Dan dalam panel [c], dengan penggunaan input sebesar 0B1OA, pada tingkat harga komoditi ikan tertentu, maka jumlah fisik hasil tangkapan (TPP) akan sebesar 0TPP1OA. Dimana hasil tangkapan ini diperkirakan akan menyebabkan terjadinya kelebihan tangkap (overfishing), sehingga seluruh stok ikan sebanyak 0XCC akan habis. Operasi penangkapan dalam status kepemilikan open access tidak menyisakan stok ikan laut, sehingga diperkirakan stok ikan di laut akan cepat terkuras habis.
Selanjutnya, ketika pemerintah mencabut subsidi BBM, maka kebijakan ini akan mempengaruhi harga BBM secara langsung. Diasumsikan bahwa subsidi BBM diberikan dalam nilai rupiah per liter BBM atau sebesar “S”. Dengan demikian, jika subsidi BBM dicabut, maka harga BBM menjadi VBMT (VB – S + MT + S), sehingga tambahan biaya uang atas penggunaan satu satuan BBM akan meningkat dari MFCB1 ke MFCB2. Pengaruh kebijakan ini ditunjukkan dalam panel [b] gambar 2. Ketika harga BBM menjadi VBMT, maka pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private akan mengurangi penggunaan BBM menjadi sebesar 0B2PP, yang diputuskan ketika tambahan penerimaan uang atas penggunaan satu satuan BBM (VMPB) sama dengan tambahan biaya uang atas tambahan satu satuan penggunaan BBM tanpa subsidi (MFCB2). Sedangkan bagi pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open access akan menurunkan penggunaan BBM nya menjadi sebesar 0B2OA, yang diputuskan ketika penerimaan rata-rata dari penggunaan satu satuan BBM (AVPB) sama dengan tambahan biaya atas penggunaan satu-satuan BBM (MFCB).
Dengan menurunnya penggunaan BBM dalam dua tipe status kepemilikan tersebut, maka dalam panel [a] ditunjukkan bahwa nilai hasil tangkapan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private sebesar 0TVP2PP. Dimana dalam panel [b] nilai tangkapan ini akan mengurangi keuntungan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private menjadi sebesar VB+MTRSP2PP atau sebesar luas persegi panjang keuntungan 2 PP yang lebih kecil dari keuntungan PPS. Sedangkan dalam status kepemilikan open access, penggunaan BBM sebanyak 0B2OA akan memberikan nilai hasil tangkapan sebesar 0TVP2OA.
Pada tingkat harga komoditi ikan laut tertentu, maka jumlah tangkapan industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private akan menurun dari 0TPP1PP menjadi 0TPP2PP, sedangkan jumlah tangkapan industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open access akan menurun dari 0TPP1OA menjadi 0TPP2OA.
Kondisi stok ikan laut yang diakibatkan oleh pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private setelah dicabutnya subsidi BBM menyebabkan kondisi stok ikan laut tersebut mengalami pertumbuhan yang menurun. Jumlah tangkapan ikan 0TPP2PP adalah jumlah hasil tangkapan yang tidak memaksimumkan pertumbuhan stok ikan. Jika stok ikan berlebihan, maka tingkat persaingan makanan dan ruang menjadi sempit sehingga tidak kondusif untuk meningkatkan pertumbuhan ikan laut. Sedangkan kebijakan pencabutan subsidi terhadap stok ikan laut yang diintroduksi oleh pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan laut open ecces menyebabkan menurunnya tingkat overfising atau kelebihan tangkap.
Selanjutnya, gambar 3 ditampilkan untuk menjelaskan secara grafis pengaruh perluasan sollar packed dealer untuk nelayan (SPDN) terhadap keseimbangan bioeconomic industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private. SPDN adalah tempat penyaluran BBM jenis solar di lokasi penangkapan ikan yang dibangun untuk memudahkan akses pelaku industri perikanan tangkap terhadap BBM. Keberadaan SPDN diharapkan akan mereduksi biaya transportasi yang selama ini dikeluarkan oleh pelaku industri perikanan tangkap karena aksesibilitas terhadap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) cukup jauh. Oleh karena itu, kondisi ini memberikan peluang bagi pelaku ekonomi lainnya (tengkulak) untuk menjual BBM kepada para pelaku industri perikanan tangkap dengan harga yang lebih tinggi.
Ketika program SPDN Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) direalisasikan di seluruh titik pelabuhan penangkapan ikan, maka akibatnya akan meniadakan hubungan tengkulak BBM dengan pelaku industri perikanan tangkap. Oleh karena itu pembangunan SPDN dapat mereduksi harga BBM dari VB+MT menjadi VB, yaitu harga yang telah ditetapkan oleh PERTAMINA.
Dalam panel [b] dampak penurunan harga dari VB+MT menjadi VB,SPDN meyebabkan MFCB turun dari MFCB+MT ke MFCB2SPDN. Penurunan harga tersebut menyebabkan kenaikan penggunaan BBM baik oleh pelaku industri perikanan tangkap pada status kepemilikan private maupun open acces, hanya saja penggunaan BBM dalam private property rights akan lebih kecil dibandingkan dengan open access. Untuk penyederhanaan analisis, sementara peranan status kepemilikan laut open access dalam keseimbangan bioeconomic dikeluarkan dulu.
Dalam panel [b] ditunjukkan bahwa pembangunan SPDN menyebabkan kenaikan permintaan BBM menjadi 0B1SPDN bagi pelaku industri perikanan tangkap pada status kepemilikan private. Dalam panel [a], dengan penggunaan BBM sebesar 0B1SPDN, maka hasil tangkapan ikan dari operasi penangkapan pelaku industri perikanan tangkap akan meningkat menjadi 0TVP1SPDN. Kembali pada panel [b], pelaku industri perikanan tangkap tersebut akan menetapkan harga menjadi P1. Dengan penggunaan BBM sebesar 0B1SPDN, maka biaya penangkapan yang dikeluarkan sebesar 0B1SPDNMVBSPDN, dan penerimaan pada harga P1 sebesar 0B1SPDNNP1, sehingga mereka akan memperoleh keuntungan sebesar VBSPDNMNP1 atau seluas keuntunganSPDN.
Dampak pembangunan SPDN terhadap kondisi stok ikan ditunjukkan dalam panel [c]. Dimana pada tingkat harga tertentu jumlah tangkapan ikan laut akan meningkat menjadi 0TPPSPDN, yang diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan ikan (F(X)) mencapai titik yang maksimum.
5. Hipotesis
Dari kerangka teoritis tersebut diuraikan beberapa kesimpulan sementara sebagai berikut :
- Kebijakan pemerintah dalam mencabut subsidi BBM secara langsung menyebabkan kenaikan harga BBM, yang menyebabkan penurunan penggunaan BBM bagi pelakuindustri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private maupun open access. Hanya saja penggunaan BBM pelaku industri perikanan tangkapdalam status kepemilikan private lebih kecil dibandingkan penggunaan BBM oleh pelaku industri perikanan tangkapdalam ststus kepemilikan open access. Sedangkan dampak perluasan pembangunan SPDN secara langsung dapat mereduksi harga BBM yang menyebabkan kenaikan penggunaan BBM pelaku industri perikanan tangkapdalam dua status kepemilikan laut tersebut.
- Penurunan penggunaan BBM menyebabkan turunnya hasil tangkapan ikan laut dalam operasi penangkapan pelaku industri perikanan tangkapdalam dua status kepemilikan. Hanya saja, hasil tangkapan ikan laut pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan open access lebih besar dibandingkan pelaku industri perikanan tangkapdalam status kepemilikan private, sehingga keuntungan pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private akan menurun, sedangkan keuntungan pelaku industri perikanan tangkapdalam status kepemilikan open access tidak mengalami perubahan, yaitu tetap nol (0), mengingat sifat dari perilaku maksimisasi keuntungannya.
- Menurunnya hasil tangkapan bagi pelaku industri perikanan tangkap dalam status kepemilikan private dapat menyebabkan pertumbuhan stok ikan laut menurun, sedangkan bagi pelaku industri perikanan tangkapdalam status kepemilikan open acces, kebijakan pencabutan subsidi dapat mengurangi tingkat overfishing. Dan ketika pemerintah memperluas pembangunan SPDN, maka penggunaan BBM akan meningkat yang menyebabkan kenaikan hasil tangkapan. Kenaikan tangkapan ini dapat menyebabkan meningkatnya overfishing bagi pelaku industri perikanan tangkapdalam status kepemilikan open access atau tercapainya pertumbuhan stok ikan yang maksimum bagi pelaku industri perikanan tangkapdalam status kepemilikan private.
Daftar Pustaka
Coelli, Tim, Rao, Battese.1998. An Intoduction to Efficiency and Productivity Analysis. Kluwer Academic Publisher, Boston/Dordrecht/London.
Debertin, D. 1986. Agricultural Production Ecoomics. Gollier Macmillan Publisher. London.
Önal, H. 1996. Optimum Management of a Hierarchically Exploited Open Acces Resource : A Multilevel Optimization Approach. AJAE. 78 (May 1996) : 448-159.
Eggert. H and Tveteras, R. 2004. Stochastic Production And Heterogeneous Risk Preference : Commercial Fishers’ Gear Choices. AJAE (February 2004) : 199-212.
Arnason, R at al., 2004. Optimal Feedback Controls : Comparative Evaluation of The Con Fisheries in Denmark, Iceland, and Norway. AJAE (May 2004) : 531-542.
Bjørndal et al, 2000. International Management Strategies for a Migratory Fish Stock : A Bionomic Simulation Model of Norwegian Spring-Spawning Heering Fishery. Centre for Fisheries Norway.
Pearce D.W. and Turner. R.K. 1990. Economic of Natural Resource and The Environtment. Harvester Wheatsheaf. New Yok.
Hartwick. J and Olewiler N.D. 1986. The Economics of Natural Resource Use. Harper & Row, Publisher. New York.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi. Pt. Gramedia. Jakarta.
[1] http://www.tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/03/02/brk,20050302-25,id.html
[3] Fungsi keuntungan IPLT didefinisikan sebagai berikut :
p = TVP – TFC
p = Po.TPP – VB.B – VL .L
p = Po.f(B, L) – VB.B – VL .L
Kondisi perlu turunan pertama (first order necessarry condition-FONC) yang menunjukkan kondisi yang harus dipegang untuk mencapai maksimisai atau minimisasi keuntungan, dimana :
dp/dB = Po.fB – VB = Po.MPPB – MFCB = VMPB – MFCB = 0, sehingga VMPB = MFCB
dp/dL = Po.fL – VL = Po.MPPL – MFCL = VMPL – MFCL = 0, sehingga VMPL = MFCL
Ketika VMPi = MFCi, menunjukkan bahwa tambahan penerimaan uang atas tambahan penggunaan satu satuan input ke-i sama dengan tambahan pengeluaran uang atas tambahan penggunaan satu satuan input ke-i tersebut dalam suatu proses produksi. Dalam panel [b] jumlah B yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan laut yang dikelola secara private ditetapkan ketika VMPB = MFCB, yaitu sebesar 0B1PP.
Untuk mengidentifikasi apakah keuntungannya maksimum atau minimum, maka diperlukan kondisi cukup turunan kedua (second order sufficient condition - SOFC), yaitu :
d2p/dB2 = Po.f’B = Po.(dMPPB/dB) = dVMPB, jika d2p/dB2 > 0, maka akan diperoleh keuntungan minimum, dan ketika d2p/dB2 < 0, maka akan diperoleh keuntungan maksimum. Begitupun halnya dengan turunan kedua fungsi keuntungan terhadap tenaga kerja, dimana :
d2p/dL2 = Po.f’L = Po.(dMPPL/dB) = dVMPL, jika d2p/dL2 > 0, maka akan diperoleh keuntungan minimum, dan ketika d2p/dL2 < 0, maka akan diperoleh keuntungan maksimum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar