IDE IBNU KHALDUN TENTANG KEUNTUNGAN DAN REZEKI

IDE IBN KHALDUN TENTANG KEUNTUNGAN DAN REZEKI

Yuhka Sundaya
Departemen Ekonomi Pembangunan Unisba

atung Ibnu Khaldun di pintu masuk Casbah of Bejaia, Aljazair.(COMMONS)









Sekitar 7 abad yang lalu telah hadir cendekia yang telah mewariskan ilmu bagi bangsa-bangsa di dunia ini. Mewariskan buku yang terus menambah amalannya di alam kubur seiring dengan bertambahnya pembaca dari zaman ke zaman. Ia adalah Ibn Khaldūn, dengan nama lengkap Walī al-Dīn ʿAbd al-Raḥmān ibn Muḥammad ibn Muḥammad ibn Abī Bakr Muḥammad ibn al-Ḥasan Ibn Khaldūn, lahir pada 27 Mei 1332 di Tunis, dan meninggal pada 17 Maret 1406 menginjak usia 74 tahun.  Kita curahkan do'a semoga beliau senantiasa dimuliakan Allah subhanahu wa ta'ala.


https://archive.org/details/MuqaddimahIbnKhaldun/MuqVol1/mode/1up?view=theater
Cover Buku "Muqaddimah" yang beredar di Universitas Toronto





Alhamdulillah, Saya memiliki buku beliau yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ahmadie Thoha, cetakan ketiga, September 2001. Dalam hati Saya ucapkan do'a semoga penerjemah senantiasa hidup bahagia dan berada dalam lindungan Allah subhanahu wa ta'ala. Tanpa pekerjaan beliau, Saya tidak mungkin menikmati ilmu pengetahuan dari bukunya Ibn Khaldun ini. Nikmat bisa mememori kehidupan 7 abad lampau, nikmat atas hidupnya berpikir ulang atas pengetahuan yang telah terakumulasi hingga kini dalam bidang ilmu ekonomi, dan nikmat bisa bertukar pikiran dengan dalam komunitas kesarjanaan. 

Ketika membaca "Muqaddimah", para pembelajar ilmu ekonomi, paling tidak Saya pribadi, seakan masuk gerbang tol, terkoneksi dengan jargon kekinian. Seperti halnya: kesejahteraan, kemakmuran, mikroekonomi, makroekonomi, pembangunan berkelanjutan, ekonomi regional (perdesaan dan perkotaan), serta metodologi riset. Gaya bertuturnya menampilkan kredibilitas seorang pemikir. Sangat cakap dalam merangkap ide pokok dari hasil pengamatan dan tafsiran Al Qur'an, serta cakap berkomunikasi dengan pembacanya ketika berusaha melukiskan suatu peristiwa dan keterkaitannya. Buku terjemahan ini menampilkan enam bab. Secara berurutan menampilkan tentang:
  1. Perubahan ummat manusia;
  2. Peradaban badui, bangsa-bangsa dan kabilah-kabilah luar, serta kondisi kehidupan mereka;
  3. Dinasti, kerajaan, khalifa, pangkat, pemerintahan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu;
  4. Negeri dan kota, serta semua bentuk peradaban lain;
  5. Tentang berbagai aspek mencari penghidupan seperti keuntungan dan pertukangan;
  6. Berbagai macam ilmu pengetahuan, metode-metode pengajarannya;
Dalam kesempatan ini Saya memandang penting untuk coba memahami jargon keuntungan dan rezeki pada Bab 5nya. Karena, dengan segera mengusik pikiran ekonomi yang sejauh ini terparadigma. Menjadi berpikir ulang (rethingking) tentang hal mendasar dalam pembelajaran ilmu ekonomi. Bagaimana tidak, Ibn Khaldun punya definisi yang sistematis, bahwa keuntungan itu bersumber dari usaha atau upaya dan diluar upaya. Sumber keuntungan diluar upaya yang dicurahkan manusia adalah alam semesta. Tanpa air dan cahaya matahari tanaman tidak akan tumbuh, itu contoh sederhananya. Jika kita generalisasi alam semesta yang mengandung sumber daya hayati dan non hayati harus disadari sebagai sumber keuntungan. "...sekalipun begitu, alam ini bertindak sebagai sebagai pembantu yang tidak bisa membuat apa-apa bila orang tidak bekerja sama dengan dia...". Demikian tegas Ibn Khaldun. Manusia harus bekerjasama dengan alam. 

Kerjasama manusia dengan alam, artinya upaya untuk memperoleh keuntungan tidak bisa dilepaskan dengan perhitungan akurat terhadap reaksi alam. Konsep ini harus melekat dalam rencana-rencana usaha produksi, perdagangan, maupun pemerintahan. Dalam jargon sekarang dikenal dengan "pembangunan berkelanjutan" atau "sustainable development". Rencana-rencana usaha harus mempertimbangkan bagaimana alam bisa support terhadap keuntungannya. Proposisi dari ide keuntungan ini adalah "upaya memperoleh keuntungan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan artinya membuka peluang bagi alam untuk menghambat upayanya itu". Melalui Ibn Khaldun, pemikiran moderen sustainable development telah eksis sejak 7 abad lampau. 

Implikasi teoritis terdekatnya diaddress pada mikroekonomi sebagai sebuah advance. Asumsi bahwa keuntungan hanya mempertimbangkan upaya (faktor produksi dan teknologi) dan dibatasi oleh ketersediaan anggaran, perlu direlaksasi sedemikian hingga unsur alam yang terkait menjadi bagian melekat dari keuntungan. Cabang mikroekonomi yang menginsert pemikiran ini adalah ilmu ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. Dalam pelajaran tersebut, pembelajaran ilmu ekonomi akan memahami konsep "bekerja sama" dengan alam semesta.

Penggunaan atau pemanfaatan keuntungan itu disebut Ibn Khaldun sebagai rezeki. "Jika seseorang tidak menggunakan keuntungannya untuk kebutuhannya, keuntungan itu tidak disebut rezeki", demikian tulis Ibn Khaldun. Secara identitas bisa kita tulis:

Keuntungan = rezeki + tabungan 

Rezeki artinya alokasi keuntungan yang diperoleh untuk konsumsi dan investasi. Belanja keuntungan untuk membeli makanan yang halal dan baik, misalnya daging ayam, maka akan memberikan utility bagi metabolisme tubuh berupa protein hewani. Itu adalah wujud dari rezeki dalam aktivitas belanja konsumsi. Pada sisi lain, belanja daging ayam memberikan multiplier effect terhadap perekonomian. Ketika kita membelanjakan uang untuk membeli sekilogram daging ayam, artinya kita memberikan keuntungan terhadap pedagang daging ayam. Keesokan harinya pedagang daging ayam akan memeroleh rezki dengan cara membelanjakan keuntungannya kepada peternak ayam. Peternak ayam akan memeroleh rezki ketika ia membelanjakkannya untuk pakan ayam dan upah pegawai kandangnya. Demikianlah keuntungan dan rezeki menciptakan siklus ekonomi ke depan dan menghasilkan utility dan multiplier effect secara sosial. Ketika keuntungan itu dibelanjakan untuk sumber daya lahan, maka itu disebut investasi, karena memiliki manfaat yang produktif. Orang bisa menggunakannya untuk bercocok tanam, membangan perumahan, atau membangun usaha produksi barang-barang olahan. Uang atau kekayaan yang kita pegang dan miliki hari ini belum bisa disebut rezeki, karena belum alokasikan untuk konsumsi atau investasi.

Bagaimana jika alokasi keuntungan untuk rezeki lebih besar atau lebih kecil dari tabungan ? 

Insya Allah pertanyaan ini akan Saya bahas pada tulisan berikutnya.

Wallahu alam bishawab.


YS








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Verifikasi Google

  google-site-verification: google67145768451a2970.html