Kekurangan Pangan : Perlukah Koreksi Kebijakan Ekonomi ?

Kekurangan Pangan : Perlukah Koreksi Kebijakan Ekonomi ?

Yuhka Sundaya

Program Studi Ilmu Ekonomi, Universitas Islam Bandung, 2008

Kekurangan pangan merupakan masalah ekonomi yang klasik. Fenomena kekurangan pangan selalu muncul dan nampaknya kian serius. Komoditi pangan beragam macamnya. Namun beras dan kacang-kacangan (kedelai misalnya) merupakan komoditi pangan yang banyak dipersoalkan. Ya, karena beras merupakan bahan makanan pokok dan kedelai merupakan bahan makanan olahan kesukaan orang Indonesia, misalnya tempe, tahu dan susu kedelai. Pada pihak lain, kebijakan ekonomi tidak kurang diarahkan untuk mengatasi kekurangan pangan. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004 misalnya, masalah ketahanan pangan merupakan salah satu sasaran dari kebijakan revitalisasi pertanian. Meski perekonomian Indonesia (kita) khas dengan ciri negara agraris, namun kita masih ketergantungan dengan komoditi impor. Sekurang-kurangnya komoditi beras dan kedelai. Impor beras dan kedelai kita masih besar untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan produsen makanan olahan. Fenomena ini merupakan indikasi tegas bahwa usaha pertanian kita masih sulit untuk dikategorikan maju.  Masalah tersebut, membuat saya tergelitik untuk menyampaikan beberapa gagasan seputar kebijakan pertanian kita. Masalah tersebut dengan segera memunculkan pertanyaan dalam benak saya, apakah spesifikasi kebijakan ekonomi kita sudah memadai atau belum ? sehingga usaha pertanian sulit untuk dikategorikan maju. Sebelum menuju pada pertanyaan tersebut, tulisan ini dimulai dengan pemahaman terhadap fitur usaha tani kita.  Ciri Usaha Tani : Mereka Bekerja di Bawah Ketidaksempurnaan Pasar Mungkin terkesan a priori, bahwa usaha tani kita masih termasuk dalam kategori usaha tradisional atau usaha kecil. Menurut Ellis (1988) istilah yang lebih tepatnya adalah “peasant” atau usaha rumahtangga. Definisi Ellis, peasant adalah rumahtangga pertanian yang mengakses lahan untuk mata pencahariannya, menggunakan tenaga kerja keluarga dalam produksi pertanian, mereka bagian dari aktivitas ekonomi yang luas atau dari sistem ekonomi yang luas, tapi secara mendasar dicirikan oleh keterlibatan parsial dalam pasar yang cenderung berfungsi tidak sempurna (imperfect).  Terdapat tiga kata kunci dalam definisi tersebut, yakni lahan, tenaga kerja keluarga dan ketidaksempurnaan pasar. Saat ini lahan pertanian mengalami desakan dari kebutuhan lahan untuk industri dan permukiman. Hal ini ditegaskan Menteri Pertanian pada acara Semiloka Kebijakan Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi di Makassar Desember 2007. Ia menginformasikan bahwa rata-rata penguasaan lahan oleh petani masih sempit. Lebih dari itu, pasar input berupa lahan dan tenaga kerja dialokasikan di bawah sifat pasar yang tidak sempurna, begitupun halnya dengan pasar komoditinya, misalnya beras. Petani sulit untuk keluar dari usaha taninya, karena adanya asimetri kesempatan kerja (utamanya kualifikasi) pada lapangan usaha lain. Petani seringkali memiliki posisi tawar yang lemah, ia cenderung sebagai pengambil harga. Dan informasi harga komoditi beras dan kedelai sulit untuk diakses, sehingga berpengaruh pada rencana produksinya yang optimal. Dengan demikian, kebijakan ekonomi yang memberikan toleransi terhadap asumsi pasar persaingan sempurna, akan menghasilkan keluaran kebijakan ekonomi yang tidak tepat sasaran : tidak ada jaminan kenaikan produksi, dengan demikian tidak ada pula jaminan kesejahteraan bagi petani. Lahan dan tenaga kerja jarang sekali dialokasikan dengan pertimbangan produktivitasnya masing-masing. Sebagai contoh, alokasi tenaga kerja tidak didasarkan pada mekanisme pengupahan. Alokasi kedua macam input penting pertanian tersebut seringkali dialokasikan berdasarkan pertimbangan subyektif rumahtangga petani. Pertimbangan tersebut memang terakomodasi dalam RPJM, tapi tidak secara perlu sesuai dengan spesifikasi kebijakan operasionalnya. Petani beras khususnya, mereka bukan produsen murni, sehingga kebijakan ekonomi yang menganggap mereka seperti itu, diperkirakan tidak akan mampu memacu untuk memenuhi kebutuhan pasar. Mereka adalah usaha rumahtangga, tidak sepenuhnya komersil atau cenderung bersifat subsisten, dimana keputusan konsumsinya terkait dengan keputusan produksi. Tidak semua hasil panen mereka jual ke pasar, sebagian mereka gunakan sendiri dan sebagian lagi disimpan sebagai benih atau persediaan pada musim paceklik. Banyak ahli ekonomi di bawah mazhab ”New Home Economics” atau ”Household Economics” memprediksi bahwa kebijakan ekonomi yang mengutak-ngatik harga komoditi pertanian, dalam hal ini beras, kurang efektiv untuk meningkatkan penawaran mereka ke pasar komoditi pertanian. Secara sepintas, namun perlu diuji lebih lanjut, nampak bahwa kebijakan harga yang digerakan oleh Bulog tidak cukup efektif untuk memacu produksi petani. Oleh karena itu, senjata atau instrumen pemerintah untuk meningkatkan produksi tanaman pangan tidak cukup dengan hanya mengatur harga. Eksisnya kegagalan pasar pada usaha tani merupakan syarat syah pemerintah untuk melakukan campur tangan dengan beragam senjata canggih. Para ahli ekonomi di bawah mazhab tersebut memprediksi, baik secara deduktif maupun dengan beragam penelitian empiris, bahwa produksi petani tidak peka terhadap perubahan harga. Karena itu, kebijakan harga bukanlah senjata pamungkas untuk meningkatkan memenuhi kebutuhan pasar dari produksi komoditi pertanian.  Dari beberapa penelitian yang pernah kami lakukan di Provinsi Jawa Barat, nampak bahwa petani seringkali memiliki posisi tawar yang rendah. Dalam pasar komoditi pertanian, petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Posisi bandar atau pengumpul nampak dominan dalam pasar komoditi pertanian. Pihak pengumpul tersebut biasanya memiliki banyak informasi pasar dibandingkan petani. Ketidakseimbangan posisi tawar juga biasanya dipicu oleh hubungan hutang piutang antara petani dengan bandar. Fenomena ini juga memberikan indikasi bahwa petani cenderung bekerja di bawah pasar monopsoni.   Senjata Pemerintah yang Dikebiri Kami punya dugaan bahwa perubahan produksi beras dan kedelai tidak bersumber dari kebijakan pemerintah. Perubahannya cenderung didorong aspek internal rumahtangga petani, kondisi lahan dan iklim. Bagaimana mungkin produksi dan penawaran hasil panen petani mengalami peningkatan drastis, sementara telah banyak senjata pemerintah yang dikebiri.  Menurut Krisnamurthi (2003), khusus untuk beras, kebijakan integratif dibangun dalam kebijakan swasembada dengan berbagai perangkat penunjangnya (KLBI dan KUT, monopoli Bulog, catu beras pegawai negeri, peran KUD, subsidi pupuk, pestisida dan pembangunan irigasi, peran swasembada sebagai program daerah, dll) sudah banyak yang tidak dapat dipertahankan dan sudah tidak efektif. Hal itu sebagian karena memang keinginan kita untuk menghilangkan aspek sentralistik, serba pemerintah, dan serba-seragam; disamping juga karena tekanan pihak lain terutama untuk aspek keterbukaan perdagangan internasional dan pengurangan subsidi. Sisa yang ada tinggal kebijakan harga dasar, itupun sudah dirubah menjadi kebijakan harga dasar pembelian pemerintah, dan sedikit subsidi. Perubahan komprehensif yang telah dibangun (Inpres 9/2001) belum ditindak-lanjuti secara komprehensif. Konsekwensinya pengelolaan areal tanam tidak lagi dapat dijaga secara konsisten karena berkaitan dengan otonomi daerah untuk mengelola air dan wilayah. Subsidi berjalan tersendat-sendat, penyuluh tidak lagi menjadi perangkat pengelolaan yang terkontrol, dan kredit tidak lagi tersedia dengan mudah; sehingga akhirnya produksipun berjalan seolah tanpa pengelolaan. Impor menjadi demikian terbuka, baik karena ketidak-mampuan menegakkan peraturan akibat praktek KKN maupun karena memang pembatasan impor seolah tidak diinginkan. Publikpun cenderung bersifat mendua, selalu mempermasalahkan harga naik (misalnya karena impor ditutup) tetapi jika harga turun juga akan dipeributkan (misalnya karena impor membanjir). Hal-hal tersebut plus berbagai faktor lainlah yang akhirnya menyebabkan harga yang tidak stabil, bukan melulu “kesalahan” Bulog. Komersialisasi Pertanian ! Subsistensi perilaku ekonomi rumahtangga petani dapat menjadi kendala untuk memacu produksi tanaman pangan, serupa beras dan kedelai. Oleh karena itu, konsentrasi awal kebijakan ekonomi hendaknya diarahkan untuk mengurangi tekanan subsistensi pada usaha pertanian. Beberapa ahli ekonomi menyebutnya sebagai kebijakan komersialisasi usaha tani. Komersialisasi pada usaha tani memiliki efek ganda. Hasil akhir kebijakan tersebut berpotensi untuk mendorong produksi usaha tani sekaligus meningkatkan pendapatan mereka.  Akses terhadap pasar dan informasi pasar, menurut Eskola (2005) merupakan aspek penting untuk mendukung kebijakan komersialisasi usaha tani. Keterpencilan petani dari pasar komoditi pertanian menimbulkan tingginya biaya transportasi. Kendala ini akhirnya memposisikan keputusan petani untuk tetap mempertahankan perilaku subsisten. Oleh karena itu, perluasan dan perbaikan infrastruktur sekurang-kurangnya dapat menjadi pra kondisi untuk mengurangi tekanan subsistensi.   Selain itu, mencermati adanya gejala monopsoni pada pasar komoditi pertanian hendaknya menjadi pertimbangan kebijakan pemerintah untuk mendorong upaya komersialisasi pertanian. Menurut Dariah dan Sundaya (2007), upaya pemerintah untuk memperluas pembangunan pasar lelang komoditi pertanian sekurang-kurangnya dapat meredam gejala monopsoni tersebut. Pasar lelang memiliki potensi untuk meningkatkan posisi tawar petani. Disana terdapat kepastian informasi harga, sehingga dapat memberikan stimulus kepada petani untuk memperbaiki performa usahanya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Verifikasi Google

  google-site-verification: google67145768451a2970.html